Sunday, October 12, 2008
Hasan Tiro Seorang Nasionalis?
Ibnu Hasyim CATATAN PERJALANAN:
SAYA kini di Banda Aceh. Kepulangan Teungku Muhammad Hasan Di Tiro pada Sabtu (11/10) sekitar pukul 11.15 WIB ke Aceh di Bandara Blang Bintang Aceh Besar dihntar oleh 140 rombongan dari Malaysia dan Sweden. Rombongan tertsebut mengantar Hasan Tiro ke kampung halamannya berangkat dengan dua pesawat Fokker Firefly yang disewa dari salah satu perusahaan penerbangan di Malaysia.
Pernah seorang bernama Ahmad Sudirman menulis dari Stockholm - Sweden, mengenai perkembangan fikiranTgh Hasan Di Tiro (9 Mei 2004) dan perjuangan rakyat Aceh. Antaranya mengulas kenyataan Tgk Lamkaruna yang menyanggah pandangannya...
"Pendapat Bapak Ahmad Sudirman yang menolak konversi pemikiran Hasan Tiro, menurut hemat saya perlu untuk ditelaah lebih lanjut. Artinya, bukti sejarah menunjukkan bahwa Hasan Tiro dengan penuh kesadaran dan pemikiran yang matang telah menulis sebuah buku sebagai wujud semangat nasionalismenya yang telah tertanam sejak masa muda, sebagaimana yang telah saya jelaskan sebelumnya. Kalau dikatakan bahwa pada saat itu Hasan Tiro belum mempunyai kematangan berfikir, ini sungguh aneh.
Artinya orang sekaliber Hasan Tiro kok justru tidak memahami betul sejarah endatu bangsa Aceh. padahal pada waktu itu tidak sedikit pemuda-pemuda seusia Hasan Tiro (Ketika berumur belasan) justru sudah mempunyai ruh perjuangan bangsa Aceh yang sudah terbina sejak lama pada sanubari pemuda Aceh, tetapi kenapa Hasan Tiro tidak memahaminya, ini kan hal yang aneh. Bukankah ia berdarah Tgk. Thjik Di-Tiro (dari pihak ibu) yang paham betul dengan perjuangan bangsa Aceh, tetapi kenapa bapak Ahmad Sudirman mengatakan Hasan Tiro waktu belum mempunyai kematangan berfikir?"
(Tgk. Lamkaruna Putra, abupase@... , Sun, 9 May 2004 07:39:52 -0700 (PDT)).
Kata Ahmad Sudirman lagi...
"Terimakasih Teungku Lamkaruna Putra di Medan, Indonesia. Jelas kelihatan pemuda Teungku Hasan Muhammad di Tiro, lahir pada tanggal 4 September 1930, dengan bekal pendidikan dari Madrasah Blang Paseh pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh, dan dari Sekolah Normal di Bireuen pimpinan Moehammad El-Ibrahimy, ditambah dengan pengaruh propaganda yang dilancarkan oleh pihak RI (Republik Indonesia) Soekarno melalui Teuku Mohammad Hassan, diamini oleh teuku Nyak Arief, Teungku Muhammad Daud Beureueh, Teungku Hasan Krueng Kalee, Teungku Jakfar Siddiq Lamjabat, Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri, maka pemuda Teungku Hasan Muhammad di Tiro yang masih berusia 15 tahun, pada saat RI diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta itu, dengan mudah diombang ambing oleh pengaruh propaganda Soekarno dari RI.
Kemudian, pengaruh propaganda kebijaksanaan politik yang terus dilancarkan oleh pihak Soekarno dari RI ini makin kuat merasuk kedalam pikiran pemuda Teungku Hasan Muhammad di Tiro setelah pindah ke Yogyakarta dan belajar di Universitas Islam Indonesia (YII) di Yogyakarta dari tahun 1950 sampai 1951. Perkembangan pemikiran pemuda Teungku Hasan Muhammad di Tiro yang baru menginjak usia 20 tahun dan mendapat pendidikan di UII Yogyakarta, pusat kekuasaan Pemerintah Negara RI atau RI-Jawa-Yogya, dengan ide-ide dan pemikiran-pemikiran Soekarno yang setiap saat terus merasuk kedalam pikiran dan jiwa pemuda Teungku Hasan Muhammad di Tiro ini, makin menambah tertutupnya pintu pengetahuan tentang sejarah panjang Negeri Aceh yang dari sejak tanggal 14 Agustus 1950 telah ditelan oleh Presiden RIS (Republik Indonesia Serikat) Soekarno masuk kedalam tubuh RIS dan diteruskan masuk kedalam perut RI yang menjelma menjadi NKRI (Negara Kesatuan RI) pada tanggal 15 Agustus 1950.
Nah, sejarah yang menyangkut proses penelanan, pencaplokan, pendudukan, dan penjajahan Negeri Aceh oleh Presiden RIS Soekarno ini tidak pernah keluar dan tidak pernah sampai untuk dipelajari dan dianalisa di UII, sehingga pemuda Teungku Hasan Muhammad di Tiro tidak mengetahui bahwa dari sejak tanggal 14 Agustus 1950 Negeri Aceh telah masuk kedalam perut RI yang menjelma menjadi NKRI. Pemuda Teungku Hasan Muhammad di Tiro yang sedang kuliah di UII tidak menyadari dan tidak mengetahui dengan pasti, bahwa sebenarnya pada tanggal 17 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat, bukan mengakui kedaulatan RI, malahan pada tanggal yang sama kedaulatan RI diserahkan kepada RIS.
Dimana sebenarnya Negeri Aceh berada diluar Negara-Negara Bagian RIS. Belanda tidak menyerahkan Negeri Aceh kepada RIS, melainkan RIS itulah yang menelan, mencaplok, menduduki, dan menjajah Negeri Aceh pada tanggal 14 Agustus 1950, yang masih berada diluar daerah wilayah kekuasaan de-facto dan de-jure RIS. Memang wajar kalau pemuda Teungku Hasan Muhammad di Tiro yang baru berusia 20 tahun, sedang digodok di UII, pusat kekuasaan Negara RI, Negara Bagian RIS, yang tidak mendapatkan informasi yang benar mengenai status hukum Negeri Aceh sebelum tanggal 14 Agustus 1950 dan sesudah tanggal 14 Agustus 1950.
Kemudian menulis tentang semangat nasionalisme hasil pengaruh propaganda ide-ide Soekarno yang masih hangat-hangatnya menjalankan taktik dan strategi kebijaksanaan politik, pertahanan, dan keamanan mengenai penelanan dan pencaplokan Negara-Negara dan Negeri-Negeri yang berada diluar wilayah kekuasaan de-facto dan de-jure RIS. Jadi dalam perkembangan pikiran pemuda Teungku Hasan Muhammad di Tiro yang telah sampai ketingkat nasionalisme akibat pengaruh ide nasionalisme Seokarno dari RI atau RI-Jawa-Yogya telah menutup kemungkinan untuk menggali sejarah panjang Negeri Aceh yang sebenarnya.
Negara Islam Indonesia di Negeri Aceh
Ketika pemuda Teungku Hasan Muhammad di Tiro pada usia 21 tahun, yaitu pada tahun 1951 meninggalkan NKRI menuju Amerika untuk tujuan belajar, pengaruh nasionalisme Soekarno masih cukup membekas dalam pikirannya. Kemudian, dalam perkembangan pikiran pemuda Teungku Hasan Muhammad di Tiro selanjutnya selama di Amerika, terutama setelah dimaklumatkan Negara Islam Indonesia di Negeri Aceh pada tanggal 20 September 1953 oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh, ternyata membawa masukan baru bagi perkembangan pikiran Teungku Hasan Muhammad di Tiro di luar Negeri. Dimana semangat nasionalisme yang sebelumnya begitu memenuhi pikiran Teungku Hasan Muhammad di Tiro menjadi berkurang akibat lahirnya Negara Islam Indonesia di Negeri Aceh.
Apalagi setelah lahirnya deklarasi pembentukan Republik Persatuan Indonesia (RPI) yang berbentuk federasi yang anggota Negaranya adalah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara dan M. Natsir Cs, NII Teungku Muhammad Daud Beureueh, Perjuangan Semesta (Permesta) yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara pada tanggal 8 Februari 1960, maka banyak mempengaruhi perkembangan pikiran Teungku Hasan Muhammad di Tiro. Dimana negara Republik Persatuan Indonesia (RPI) yang berbentuk federasi itu yang tidak ada hubungannya dengan RI atau NKRI Soekarno telah menjadi pupuk bagi perkembangan pikiran Teungku Hasan Muhammad di Tiro.
Hanya dalam proses perjuangan Republik Persatuan Indonesia (RPI) selanjutnya ternyata menghadapi benturan benteng RI atau NKRI Soekarno. Dimana pada tanggal 29 Mei 1961 pencetus proklamasi PRRI Kolonel Achmad Husein dengan pasukannya, disusul oleh Kolonel Simbolon dengan pasukannya menyerahkan diri kepada pihak Soekarno dari Negara RI atau RI-Jawa-Yogya, ditambah banyak para pimpinan dari Permesta yang kebanyakan dari PSI (Partai Sosialis Indonesia) menyerahkan diri kepada pihak Soekarno, maka kekuatan Negara Republik Persatuan Indonesia mulai berkurang dan melemah.
Seterusnya Perdana Menteri Mr. Sjafruddin Prawiranegara memutuskan penghentian perlawanan terhadap Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1961, akhirnya keberadaan Negara Republik Persatuan Indonesia (RPI) yang berbentuk federasi ini lenyap. Disamping itu, kelemahan pihak RPI ini disebabkan pada tanggal 17 Agustus 1960, Soekarno dengan Keputusan Presiden Nomor 200 tahun 1960 dan Nomor 201 tahun 1960 membubarkan partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dengan pertimbangan bahwa organisasi (partai) itu melakukan pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dengan Republik Persatuan Indonesia.
Sebelum Republik Persatuan Indonesia ini hilang keberadaannya pada tanggal 17 Agustus 1961, Teungku Muhammad Daud Beureueh pada tanggal 15 Agustus 1961 mendeklarkan bahwa NII yang sebelumnya menjadi anggota Federasi Negara Republik Persatuan Indonesia memisahkan diri dan menjadi Republik Islam Aceh yang berdiri sendiri. Selanjutnya, nasib dari Republik Islam Aceh inipun mengalami benturan benteng NKRI lainnya, yaitu Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang diselenggarakan pada bulan Desember tahun 1962 dan diikuti oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh yang diselenggrakan Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin.
Dimana prosesnya adalah ketika Soekarno memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang dianggap memberontak kepada NKRI dengan batas akhir 5 Oktober 1961. Pada tanggal 4 Oktober 1961 datang 28 orang delegasi dari wakil-wakil semua lapisan masyarakat, para ulama, pemuda, pedagang, tokoh-tokoh adat, termasuk wakil pemerintah resmi sipil dan militer menjumpai Teungku Muhammad Daud Beureueh di Markasnya dengan misi meminta kepada Teungku Muhamad Daud Beureueh demi untuk kepentingan masyarakat Aceh seluruhnya agar sudi kembali ketengah-tengah masyarakat untuk memimpin mereka.
Batas waktu tanggal 5 Oktober berakhir, dengan mempertimbangkan harapan rakyat Aceh yang tulus dan jaminan-jaminan kebebasan beliau untuk melanjutkan perjuangan telah membuka pintu untuk perundingan. Dimana perundingan-perundingan ini berlangsung sampai sepuluh bulan. Pada tanggal 9 Mei 1962 Teungku Muhammad Daud Beureueh bersama stafnya kembali ketengah-tengah masyarakat .
(S.S. Djuangga Batubara, Teungku Tjhik Muhammad Dawud di Beureueh Mujahid Teragung di Nusantara, Gerakan Perjuangan & Pembebasan Republik Islam Federasi Sumatera Medan, cetakan pertama, 1987, hal. 97-98)
Berarti dengan kembalinya Teungku Muhammad Daud Beureueh ke Masyarakat dan mengikuti Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang diselenggarakan pada bulan Desember tahun 1962 oleh Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin, secara de-facto dan de-jure RIA yang diperjuangkannya telah hilang. Teungku Muhammad Daud Beureueh telah kena jerat Soekarno Penguasa Negara Pancasila alias NKRI. Nah dengan berakhirnya secara de-facto dan de-jure Republik Persatuan Indonesia, dan lenyapnya Republik Islam Aceh secara de-facto dan de-jure, telah membawa perkembangan pikiran Teungku Hasan Muhammad di Tiro ketingkat kesadaran dan keyakinan bahwa perjuangan pembebasan rakyat Aceh yang negerinya telah ditelan, dicaplok, diduduki, dan dijajah oleh pihak NKRI wajib diteruskan dan diperjuangkan.
Dimana puncak dari perkembangan pikiran Teungku Hasan Muhammad di Tiro, seperti yang telah saya tuliskan sebelum ini, yaitu disaat-saat akhir Teungku Hasan Muhammad di Tiro akan meninggalkan Amerika, tahun 1976, telah menggelora dalam dada dan pikirannya mengenai tanggung jawab dirinya sebagai rakyat Aceh yang memiliki hubungan darah dengan keluarga di Tiro yang gagah berani berjuang melawan penjajah Belanda. Dimana semangat dan gelora perjuangan penentuan nasib sendiri bagi rakyat Aceh bebas dari pengaruh kekuasaan Negara Pancasila atau NKRI ini terlukis dalam untaian kata-kata:
"my conviction about my duty in life came from my country's long history, from my education and breeding, and these being confirmed by the reaction of my people in my daily life in Acheh Sumatra. That is I have been made to feel what my family and my people expected from me."
(Keyakinan saya mengenai tanggung jawab dalam hidup datang dari sejarah panjang negeriku, pendidikan, dan kehidupanku, dan ini telah dibenarkan oleh reaksi dari rakyatku dalam kehidupan sehari-hari di Acheh, Sumatra. Apa yang saya rasakan inilah yang diharapkan oleh keluargaku dan rakyatku.)
(The Price of Freedom: the unfinished diary of Tengku Hasan di Tiro, National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984, hal. 1)
Perjuangan rakyat Aceh yang telah sadar untuk menentukan nasib sendiri bebas dari pengaruh kekuasaan Negara Pancasila atau NKRI adalah bukan perjuangan pembebasan kesukuan Aceh, melainkan kelanjutan pembebasan Negeri yang sebelumnya di jajah Belanda kemudian dari sejak 14 Agustus 1950 dijajah oleh RIS dan diteruskan oleh RI atau NKRI. Sekarang, kesimpulan yang dapat diambil adalah proses perkembangan pikiran Teungku Hasan Muhammad di Tiro diawali oleh adanya pengaruh ide nasionalisme Soekarno, diteruskan oleh pengaruh kuat maklumat berdiri Negara Islam Indonesia di Aceh yang bebas dari pengaruh Negara Pancasila atau NKRI, ditambah dengan pengaruh Negara federasi Republik Persatuan Indonesia dimana NII merupakan salah satu Negara Bagian RPI, lalu pengaruh lenyapnya secara de-facto dan de-jure RPI, ditambah pengaruh lahirnya Republik Islam Aceh, kemudian adanya pengaruh Teungku Muhammad Daud Beureueh yang dijerat oleh Soekarno dengan jeratan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, lalu terakhir pengaruh hilangnya secara de-facto dan de-jure Republik Islam Aceh.
Dari tahapan-tahapan proses perkembangan pikiran Teungku Hasan Muhammad di Tiro diatas itulah yang melahirkan kesadaran melanjutkan perjuangan untuk menentukan nasib sendiri bebas dari pengaruh kekuasaan Negara Pancasila atau NKRI dengan memproklamasikan Negara Aceh Sumatera pada tanggal 4 Desember 1976.
Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@... agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad
Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin. Wassalam.
Ahmad Sudirman http://www.dataphone.se/~ahmad ahmad.swaramuslim.net ahmad@..."
Demikian tulisan Ahmad Sudirman. Kita akan sambung lagi, insya Allah!
Catatan Perjalanan ke Indonesia:
ibnuhasyim.com
(e-mail: ibnuhasyim@gmail.com)
Oktober12, 08 Jalan Panglima Polim
BandaAcah.
Lihat..
E-Buku IH-15: Aceh, Sebelum & Selepas Hasan Tiro'
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Apakah pada nama semnagt perjuangan kalau tak pernah memenuhi saf-saf di mesjid.
Perjuangan Rasulullah bermula dari mesjid Madinah yang dibina atas dasar taqwa dan iman dan bukan ekrana retorik perjuangan.
Alhamdulillah Acheh boleh kembali tenang dan rakyat boleh kembali memikirkan untuk mengembalikan Status Serambi Mekah yang sebenarnya.
Harapan saya janganlah sikap orang Acheh yang ada di KL umpamanya sekadar retorik semata-mata.
Kita perlukan mereka juga memenuhi saf-saf mesjid bukan setakat retorik tentang siapa lebih Islam.
Taida guna bercakap tentang Islam tetapi bersikap macam munafik yang tidak mahu bersolat di mesjid.
Tidak guna bercakap tentang daulah Islam jika sekadar memenuhi kedai-kedai kopi sambil menghabiskan berkotak-kotak rokok.
Pedih tapi benar...!lebih molek jika komen dengan identiti sebenar bukan setakat "anonymous"
Post a Comment