▼
Thursday, October 16, 2008
Iklan di Aceh Ikut Kelantan?
Ibnu Hasyim Catatan Perjalanan
SEORANG warga Aceh berkata, "Setelah melihat iklan XL dan Mentari dengan model berjilbab (berkerudung) saya pun menjadi penasaran akan kisah awalnya kenapa sekarang di Aceh sebagian iklan-iklannya menggunakan model berjilbab (berkerudung)?"
Begini jawabannya seperti dalam berita ini...
Kamis, 09/08/2007 11:44 WIB 'Tak Berbusana Muslim, Gambar Model Perempuan di Aceh Dicat' Oleh Nur Raihan - detikNews
Banda Aceh - Kalau kebetulan Anda berkunjung ke Banda Aceh, jangan heran jika melihat keanehan di sejumlah baliho dan billboard iklan yang dipasang di jalan-jalan di Banda Aceh. Keanehan itu khususnya pada sejumlah baliho atau billboard yang menggunakan model perempuan. Wajah-wajah
perempuan itu dicat hitam sampai ke leher. Tak hanya wajah, di beberapa billboard dan baliho, pengecatan juga dilakukan di bagian pinggang sampai ke paha.
Mungkin hal ini dilakukan karena si model memakai celana yang agak ketat. Tapi anehnya, pakaian si model yang juga ketat dan menunjukkan lekuk-lekuk tubuhnya dibiarkan begitu saja. Ada juga, yang dicat seluruh tubuhnya. Selain dicat, ada pula yang ditutupi dengan kain. Aksi ini menyusul larangan yang dikeluarkan Pemerintah Kota Banda Aceh karena gambar-gambar itu dinilai tidak mencerminkan Syariat Islam.
Pasalnya, sejumlah perempuan yang berpose di sejumlah baliho dan billborad itu tak berbusana muslim.
"Saya telah meminta kepada produsen untuk menutup model reklame itu, karena dinilai tidak mencerminkan syariat Islam dan juga kita mendapat protes dari dari DPRK Banda Aceh," ujar Kadispenda Kota Banda Aceh, Mairul Hazami, ketika dihubungi wartawan melalui telepon selularnya, Kamis (9/8/2007) di Banda Aceh.
Dikatakannya, pihaknya telah berkoordinasi dengan Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh. Ditambahkan Kepala Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh, M.Natsir Ilyas, model-model perempuan tersebut selain tidak memakai jilbab, juga mengenakan baju lengan pendek dan ketat. Tak hanya itu, di beberapa billboard, para model perempuan itu berdampingan dengan laki-laki yang tidak diketahui muhrimnya atau bukan.
"Hal ini bukan maksud untuk mempersempit ruang gerak reklame, tetapi diharapkan produsen bisa menyesuaikan dengan kondisi di kota Banda Aceh saat ini," terangnya pada wartawan di tempat terpisah.
Untuk itu, Natsir berharap, agar produsen produk-produk tersebut dapat menyesuaikan produk iklannya dengan kondisi Banda Aceh. Misalnya model iklan yang memakai perempuan, diharapkan berbusana Muslim.
Begitu juga dengan berita ini...
Jumat, 10/08/2007 16:17 WIB 'XL Mengecat Iklan Model Perempuan Tanpa Jilbab di Aceh' oleh Nur Raihan - detikNews Banda Aceh -
Billboard iklan yang model perempuannya dicat hitam di Banda Aceh merupakan iklan milik XL. Pihak XL-lah yang mengecat sendiri model iklannya itu. Sebab, pemerintah Kota Banda Aceh melarang iklan dengan model perempuan tanpa jilbab atau yang tidak sesuai syariat Islam.
"Kami minta maaf, jika iklan kami di sejumlah baliho yang dipasang di Kota Banda Aceh tidak sesuai dengan Syariat Islam yang berlaku di sini." Demikian diutarakan Bagian Promosi PT Excelcomindo untuk Aceh, Teuku Aditya. Ungkapan itu diutarakannya pada detikcom, Jumat (10/08/2007).
Permintaan maaf itu disampaikan dia menyusul imbauan yang dikeluarkan Dinas Pendapatan Daerah Banda Aceh (Dispenda). Menurut Teuku Aditya, Dispenda beberapa hari lalu menyampaikan imbauan secara lisan, agar baliho dan sejumlah bilboard mereka yang memakai gambar model perempuan untuk ditutup, karena tidak sesuai dengan Syariat Islam yang berlaku di Aceh.
Dalam gambar iklan tersebut, dua orang perempuan yang memakai baju berlengan pendek mengapit seorang laki-laki yang sedang bertelepon. Di sejumlah baliho yang terpasang, gambar-gambar perempuan itu dicat hitam, sehingga kemudian yang terlihat hanya gambar laki-lakinya saja.
"Setelah mendapat imbauan itu, kemudian juga arahan dari Jakarta, maka kami menutup bilboard dan baliho kita. Jadi kita sendiri yang melakukan pengecatan baliho-baliho itu, bukan Pemko," kata dia meluruskan. Untuk pemasangan iklan berupa baliho atau bilboard ke depannya, belum dapat dipastikan oleh Teuku Aditya.
Apakah nantinya hanya akan memasang iklan yang tidak menggunakan model perempuan atau mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Menurut Seksi Pelayanan Terpadu Dispenda Banda Aceh, Surya Bakti, imbauan itu mereka sampaikan bukan hanya karena berdasarkan permintaan anggota DPRK Banda Aceh. Tapi juga karena kuputusan surat yang sudah dibuat Dispenda sejak lama.
"Jadi dalam butir kedua tentang surat izin reklame yang kita keluarkan, disebutkan, kata-kata dalam reklame harus sesuai dengan kondisi dan situasi daerah. Itulah yang jadi pegangan kita. Situasi dan kondisi daerah kita kan melaksanakan Syariat Islam. Jadi isi reklamenya harus disesuaikan," terang dia pada detikcom, Jumat (10/08/2007).
Ditambahkan dia, beberapa waktu lalu, pihaknya juga pernah meminta sebuah produsen untuk mengganti gambar iklan di papan bilboardnya di kawasan Jambo Tape, Banda Aceh.
"Waktu itu, iklan TV, ada gambar perempuannya yang tidak sesuai. Kita minta diganti, dan mereka ganti. Jadi bukan semata-mata karena permintaan anggota DPRK Banda Aceh," ujar dia lebih lanjut.
Meski dia mengakui, ketika Kadispenda Banda Aceh, Mairul Hazami, menelepon dirinya mengatakan, ada sejumlah komplain dari anggota DPRK Banda Aceh tentang papan iklan dan sejumlah baliho XL yang dinilai tidak sesuai dengan Syariat Islam.
"Tapi tidak disebutkan, anggota dewan yang mana yang komlplain," ungkap dia.
Hal ini mengingatkan perjalanan saya semalam, mengikuti rombongan Dr. Tgk Muhammad Hasan Ditiro, ke daerah kelahirannya Kabupaten Pidie, rombongan mantan Petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini telah menjadi Komisi Peralihan Aceh (KPA). Dari Banda Aceh menuju ke Sigli.. Kami disambut oleh rakyat Aceh yang berderetan di kiri kanan jalan. Dalam merentasi gunung-gunung dan lurah, terlihat mereka berkumpul beramai-ramai tanpa paksaan atau arahan dari sesiapa. Ada yang menyambutnya dengan menunggang gajah.
Sehingga saya berada di dalam mobil berlambangkan Partai Aceh itu dikerumuni dan disalami. Ertinya rakyat amat menghomati dan merindui pemimpinnya. Rombongan juga ziarah ke pusara Tgk Abdullah Syafi'e di Desa Blang Sukon, Cubo, Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya. Sekilas sejarah Tgk Abdullah Syafi'e tidak saja sebagai panglima Besar Gerakan Aceh Merdeka, tapi tokoh ini juga termasuk dalam perintis bersama Tgk Hasan Ditiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 lalu.
Tgk Abdullah Syafi'e bersama isterinya Fatimah termasuk beberapa pengawalnya, tewas dalam pertempuran dengan pasukan TNI (Tentera Nasional Indonesia) di salah satu kawasan di Desa Sarah Manyang, Kabupaten Bandar Dua Kabupaten Pidie pada tahun 2002 lalu. Dalam komplek perkarangan itu terdapat beberapa kuburan lainnya, selain makam Tgk Abdullah Syafi'e, Muhammad bin Ishak, Tgk Muhammad Daud Hasyim, dan yang berada disamping makam Tgk Lah Umi Fatimah tidak lain isteri Tgk lah yang tewas dalam pertempuran bersama suaminya.
Selain itu, lawatan juga dilakukan ke sejumlah tempat bersejarah dan makam orang tua dan keluarganya sendiri, perjalanan yang dilakukan rombongan Deklarator GAM tersebut, ke lokasi kuburan Tgk Usman Lampouh Awee, Simpang Tiga (mantan menteri Keuangan GAM), Kuburan Tgk Muhammad Daud (Abu Beureueh), dilanjutkan ke Tanjong Bungong Sakti (kuburan Ayah dari Hasan Tiro iaitu Tgk Hasan Muhammad) dan lokasi kuburan Ibu Hasan Tiro (Fatimah) di Kecamatan Tiro.
Kedatangan rombongan itu, dikawal oleh mantan kombatan GAM, puluhan iringan mobil bergerak sejak pukul 11.00 wib, Rabu (15/10), jadual lawatan tersebut telah direncanakan sebelumnnya oleh petinggi mantan GAM yang ada di Kabupaten Pidie. Semasa rombongan kami singgah di rumah Tgk Usman Lampouh Awee yang baru meninggal dunia beberapa bulan lepas, terdapat di pintu gerbang Simpang Tiga jalan masuk ke rumahnya itu tertulis kira-kira 'Perlakuan Syariat Islam, Kami Tunggu Perdamaian'. Tgk Muhammad Hasan Ditiro sendiri pun dalam siri-siri ucapannya ada menyebutkan,
'Teruskan Perdamaian, walaupun saya tiada....' Dan larangan juga dikeluarkan kepada pengguna pelekat kereta yang menuntut kemerdekaan.
Oleh itu laksanakan Islam, kerana salah satu dari makna Islam ialah per'damai'an. Jadi saya jawab kata kawan saya orang tempatan Aceh itu..
"Di Malaysia, sebuah kerajaan negeri pimpinan partai Islam (PAS) di Kelantan telah pun melaksanakannya (pengiklanan seperti di atas) kira-kira 18 tahun lalu, selepas mengambil-alihnya dari Kerajaan Pusat di Malaysia.. Maaf! Ini bukan bererti Aceh tiru Kelantan, tetapi bila kita ikut Islam kita akan bertemu titik-titik persamaan..."
Sekian, semoga Allah pertemukan kita dalam satu titik-titik pertemuan dan persamaan.
Catatan Perjalanan ke Indonesia:
ibnuhasyim.com
(e-mail: ibnuhasyim@gmail.com)
Oktober15, 08
Rumah Bupati Sigli, Aceh.
Lihat..
E-Buku IH-15: Aceh, Sebelum & Selepas Hasan Tiro'
QANUN SEBAGAI PERATURAN PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS DIPROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
ReplyDeleteOleh: Al Yasa’ Abubakar dan M. Daud Yoesoef
A. Pendahuluan
PemberianOtonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi NanggroeAceh Darussalam melahirkan harapan dan membuka peluang untuk tumbuhnyakreatifitas, diskresi dan kebebasan bagi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota serta masyarakat Aceh pada umumnya untuk menemukan kembali identitas diridan membangun wilayahnya. Peluang ini telah ditanggapi secara positif olehkomponen masyarakat, baik legislatif maupun eksekutif bahkan oleh organisasisosial kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat. Tanggapan yang positifini memang diperlukan untuk mencegah timbulnya kemungkinan bahwa pendulum akanberbalik kembali ke arah sentralisasi.
Penyerahanotonomi khusus dan penggantian nama Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadiProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam didasarkan kepada Undang-undang No. 18 Tahun2001. Lahirnya Undang-undang ini dilatarbelakangi setidak-tidaknya oleh duafenomena, satu terdapat di Aceh dan satu lagi ditingkat nasional. Yang pertama,berkaitan dengan konflik Aceh yang timbul akibat adanya Gerakan Aceh Merdekasejak tahun 1976. Sedang yang kedua berkaitan dengan reformasi yang menuntutperubahan disegala bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara termasukmengubah pola hubungan antara pusat dan daerah. Reformasi yang dipelopori olehmahasiswa telah “memaksa” pemerintah untuk membuat beberapa kebijakan,diantaranya kebijakan tentang desentralisasi dengan diterbitkannyaUndang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sedang konflikAceh yang berlangsung berlarut-larut telah “mendorong” sebagian anggota DPRuntuk mengajukan usul inisiatif yang lantas melahirkan Undang-Undang Nomor 44Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.Melalui Undang-Undang ini Pemerintah Pusat mengakui keistimewaan Aceh, yangtelah lama disandang oleh Provinsi Daerah Istimewa Aceh yaitu sejak tahun 1959.Karena Undang-Undang ini dirasakan belum cukup mengakomondir tuntutan daerah,Sidang Umum MPR tahun 1999 melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999,mengamanatkan antara lain pemberian otonomi khusus kepada Daerah Istimewa Aceh.Selanjutnya Sidang Tahunan MPR tahun 2000 melalui Ketetapan MPR NomorIV/MPR/2000 kembali merekomendasikan agar Undang-Undang tentang Otonomi Khususbagi Daerah Istimewa Aceh dapat dikeluarkan selambat-lambatnya bulan Mei 2001.Lebih dari itu perubahan kedua atas Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukanMPR pada sidang tahunan tahun 2000, dalam Pasal 18 B ayat (1) mengakui danmenghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifatistimewa yang akan diatur dengan undang-undang. Atas dasar perubahan yangrelatif dratis ini, sebagian anggota DPR kembali mengajukan usul inisiatifmengenai Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yangpada akhirnya disahkan sebagai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentangOtonomi khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi NanggroeAceh Darussalam, yang disahkan pada tanggal 19 Juli 2001 dan diundangkanpada tanggal 9 Agustus 2001.
DalamUndang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Pasal 31 (1) dinyatakan bahwa “Ketentuanpelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah ditetapkandengan Peraturan Pemerintah,” sedang pada ayat (2) dinyatakanbahwa “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenanganPemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam.” Sedang pengertian Qanun, dalam Pasal 1 angka 8dinyatakan “Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerahsebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalamdalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus”.
Dari ketentuan ini terlihat bahwa Qanun ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam (untuk selanjutnya di singkat qanun ) adalah peraturanuntuk melaksanakan otonomi khusus dalam hal yang menjadi kewenangan pemerintahprovinsi. Dengan demikian walaupun dari satu segi qanun adalah peraturandaerah, tetapi dari segi lain qanun tidak tunduk kepada peraturan pemerintahkarena qanun berada langsung di bawah undang-undang. Berhubung dengankedudukannya yang unik, maka tulisan ini ingin menjelaskan, bagaimana pemahamantentang makna, kewenangan dan kedudukan qanun dalam tertib hukum di Indonesia,apa kesulitan yang dihadapi dalam menjabarkan makna tersebut dan bagaimanakedudukan qanun dalam hubungan dengan pelaksanaan Syari’at Islam sebagai salahsatu otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh. Tetapi sebelum itu akandipaparkan sedikit uraian tentang sejarah dan makna otonomi khusus di Aceh.
B. Substansi Pokok Undang-Undang Nomor 44Tahun 1999
DenganUU Nomor 44 Tahun 1999 ini, keistimewaan yang selalu disebut-sebut sebagai ciriutama dan telah menjadi “identitas” Aceh sejak tahun 1959 itu diharapkan akanmenjadi lebih menyeluruh di tengah masyarakat. Undang-Undang ini hanya mengaturhal-hal pokok, dan setelah itu memberi kebebasan kepada Daerah untuk mengaturpelaksanaannya melalui peraturan daerah dan keterlibatan ulama dalam pembuatankebijakan daerah, agar kebijakan daerah lebih akomodatif terhadap aspirasimasyarakat Aceh.
Adapunhal-hal pokok yang ditetapkan dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 untukmenyelenggarakan keistimewaan yang diberikan kepada Aceh adalah sebagaiberikut: Dalam pasal 1 angka 8 disebutkan bahwa “Keistimewaan adalah kewenangankhusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peranulama dalam penetapan kebijakan daerah.” Pasal 1 angka 9 berbunyi,” KebijakanDaerah adalah Peraturan Daerah atau Keputusan Gubernur yang bersifat mengaturdan mengikat dalam penyelenggaraan keistimewaan”. Pasal 1 angka 10,” Syari’atIslam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan;” Pasal 1angka 11, “Adat adalah aturan atau perbuatan yang bersendikan Syari’at Islamyang lazim dituruti, dihormati, dan dimuliakan sejak dahulu yang dijadikansebagai landasan hidup.”
Mengenaikeistimewaan dibidang kehidupan beragama, diatur dalam Pasal 4 ayat (1) dan(2), bahwa penyelenggaraan kehidupan beragama didaerah diwujudkan dalam bentukpelaksanaan Syari’at Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat ; dengan tetapmenjaga kerukunan hidup antar umat beragama. Sedang cakupan Syari’at Islamseperti dijelaskan dalam Pasal 1 angka 10 di atas, telah didefinisikan secararelative lengkap, yaitu mencakup seluruh ajarannya (tuntunan ajaran Islamdalam semua aspek kehidupan). Jadi Undang-Undang ini telah memberikanpemahaman yang kaffah kepada Syari’at Islam, mencakup ibadat, mu’amalat,jinayat, munakahat bahkan lebih dari itu mencakup ‘aqidah dan akhlak sertaajaran dan tuntunan diberbagai bidang lainya.
Sedangmengenai kehidupan adat, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diberi izin melestarikandan membentuk lembaga adat di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan,kemukiman, dan gampong (desa) yang seperti telah dikutip di atas tadi harusdijiwai serta sesuai dengan ajaran Islam.
Sedangkeistimewaan di bidang pendidikan, walaupun urusan pendidikan telah diserahkankepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, namun denganundang-undang ini, Daerah Istimewa Aceh diberikan kewenangan khusus untukmenata pendidikan, mengembangkan dan mengatur berbagai jenis dan jenjang pendidikanserta kurikulumnya dengan menambah materi muatan lokal yang berbasis kompetensiagar sesuai dan mendukung pelaksanaan Syari’at Islam. Dalam hubungan ini tentuperlu diingat dan dijaga bahwa penetapan kebijakan di bidang pendidikan iniharus tetap sejalan dengan sistem pendidikan nasional.
Dengandemikian, aturan tentang penyelenggaraan keistimewaan dalam bidang kehidupanadat dan pendidikan, kelihatannya hanyalah untuk lebih memudahkan danmengukuhkan pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat muslim diProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Setelahini pelaksanaan Syari’at Islam secara formal diperkuat dan dipertegas lagimelalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus bagi ProvinsiDaerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
C. Otonomi Khusus dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
Didalam konsideran “Menimbang “ UU No. 18 Tahun 2001 huruf”d” antara laindisebutkan bahwa ketentuan dalam UU No.22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999“… belum menampung sepenuhnya hak asal usul dan keistimewaan Provinsi DaerahIstimewa Aceh.” Sedang dalam huruf “e” disebutkan “bahwa pelaksanaanUndang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 … perlu diselaraskan dalam penyelenggaraanpemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe AcehDarussalam.” Dari kutipan ini dapat dipahami bahwa otonomi khusus adalahotonomi yang diberikan sebagai tambahan atas otonomi yang sudah ada dan jugapenyempurnaan atas penyelenggaraan keistimewaan yang sudah diberikansebelumnya. Dalam Pasal 3 Undang-Undang ini ditemukan rumusan : (1)“Kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam Undang-Undangini adalah kewenangan otonomi khusus”. (2) “Kewenangan Provinsi Nanggroe AcehDarussalam selain yang diatur pada ayat (1) tetap berlaku sesuai denganperaturan perundang-undangan”. Dalam kaitan ini, sekiranya diingat bahwayang tidak diotonomikan oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 pada pokoknya hanyalah limabuah urusan yaitu : hukum, agama, fiskal, hubungan luar negeri, dan pertahanan,maka otonomi khusus seyogyanya dipahami sebagai pemberian paling kurangsebagian kewenangan dalam lima urusan yang belum diotonomikan oleh UU No.22Tahun 1999 sebelumnya. Di dalam “Penjelasan Umum” UU No.18/01 disebutkanbahwa “Hal mendasar dari Undang-Undang ini adalah pemberian kesempatan yanglebih luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri termasuksumber-sumber ekonomi, menggali sumber daya alam dan sumber daya manusia, …danmengaplikasikan Syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat.” Dalam alinialainnya disebutkan “Kewenangan yang berkaitan dengan bidang pertahanannegara merupakan kewenangan Pemerintah. Dalam hal pelaksanaan kebijakan tataruang pertahanan untuk kepentingan pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak bersifat rahasia,Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.”
Tetapirumusan tentang masalah yang diserahkan melalui otonomi khusus kepada Acehtidak disebutkan secara jelas di dalam UU No. 18 Tahun 2001 ini. Memang didalamundang-undang ini ada beberapa hal yang secara jalas dinyatakan berbeda denganperaturan sebelumnya, seperti besaran nisbah “dana perimbangan” dan adanya “penerimaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka otonomi khusus” sertajumlah anggota DPR Provinsi “maksimal 25 % dari jumlah yang ditetapkanUndang-Undang”. Begitu juga ada beberapa masalah yang oleh Undang-Undang ini,secara jelas diserahkan (didelegasikan) kepada Qanun untuk mengaturnya. Sebagianmasalah ini hanya merupakan tambahan atas otonomi dalam bidang yang sebelumnyasudah merupakan otonomi daerah, sedang sebagian lagi merupakan hal baru,merupakan salah satu dari lima urusan yang menurut UU No. 22 Tahun 1999 tidakdiotonomikan (misalnya hukum dan agama). Lebih dari itu di dalam UU No. 18Tahun 2001 ada 15 hal yang secara jelas dinyatakan “perlu diatur dalam qanun”yang spektrumnya relatif luas, meliputi pemerintahan, keuangan, DPRD, pemilihankepala daerah, hak pemilih di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, kepolisianserta peradilan. Tetapi semua ini belumlah menjelaskan secara tegas cakupanotonomi khusus tersebut dan juga batas yang menjadi kewenangan pemerintah danpemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dengandemikian, karena luasnya jangkauan bidang yang didelegasikan kepada (disuruhatau dengan) qanun disatu pihak dan tidak adanya rincian yang jelas dan tegastentang masalah yang diotonomi-khususkan, maka peluang untuk terjadinyaperbedaan tafsir yang relatif luas dan bersegi banyak tentang kandungan dancakupan otonomi khusus serta “kekuatan hukum”dari qanun dalam hirarkiperundangan di Indonesia, kelihatanya sangat terbuka lebar dan tidak akan dapatdihindari.
D. Pengertian Qanun
Istilahqanun sudah digunakan sejak lama sekali dalam bahasa atau budaya Melayu. Kitab“Undang-Undang Melaka” yang disusun pada abad ke limabelas atau enambelas Masehi telah mengunakan istilah ini.1 Menurut Liaw Yock Fangistilah ini dalam budaya Melayu digunakan semakna dengan adat dan biasanya dipakaiketika ingin membedakan antara hukum yang tertera dalam adat dengan hukum yangtertera dalam kitab fiqih. (Liaw Yock Fang 1975:178). Kuat dugaan istilah inimasuk kedalam budaya melayu dari bahasa Arab karena mulai digunakan bersamaandengan kehadiaran agama Islam dan pengunaan bahasa Arab Melayu di Nusantara.2Bermanfaat disebutkan, dalam literatur Barat pun istilah ini sudah digunakansejak lama, diantaranya merujuk kepada hukum kristen (Canon Law) yang sudah adasejak sebelum zaman Islam.
Dalambahasa Aceh istilah ini relatif sangat populer dan tetap digunakan di tengahmasyarakat, karena salah satu pepatah adat yang menjelaskan hubungan adat dansyari’at yang tetap hidup dan bahkan sangat sering dikutip mengunakan istilahini.3Dalam literatur Melayu Aceh pun qanun sudah digunakan sejak lama, dan diartikansebagai aturan yang berasal dari hukum Islam yang telah menjadi adat. Salahsatu naskah tersebut berjudul Qanun Syara ‘Kerajaan Aceh yang ditulis oleh Teungku di Mulek pada tahun 1257 H , atas perintah Sultan Alauddin Mansur Syahyang wafat pada tahun 1870 M.Naskah pendek ini (hanya beberapa halaman) berisiberbagai hal di bidang hukum tatanegara, pembagian kekuasaan, berbagai badanperadilan dan kewenangan mengadili,fungsi kepolisian dan kejaksaan serta aturanprotokoler dalam berbagai upacara kenegaraan.4 Dapat disimpulkan dalamarti sempit, qanun merupakan suatu aturan yang dipertahankan dan diperlakukanoleh seorang sultan dalam wilayah kekuasaanya yang bersumber pada hukum Islam,sedangkan dalam arti luas, qanun sama dengan istilah hukum atau adat. Didalamperkembangan nya boleh juga disebutkan bahwa qanun merupakan suatu istilahuntuk menjelaskan aturan yang berlaku di tengah masyarakat yang merupakanpenyesuaian dengan kondisi setempat atau penjelasan lebih lanjut atas ketentuandidalam fiqih yang ditetapkan oleh Sultan.
Sekarangini Qanun digunakan sebagai istilah untuk “Peraturan Daerah Plus” atau lebihtepatnya Peraturan Daerah yang menjadi peraturan pelaksaaan langsung untukundang-undang (dalam rangka otonomi khusus di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 8 “Ketentuan Umum” dalamUndang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang telah dikutip di atas.
Sejakdimulainya pemnyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan UU No. 18/01, sudahbanyak qanun yang disahkan. Menurut notulen di Sekretariat DPRD ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam, sampai Agustus 2004 telah dihasilkan 49 qanun yangmengatur berbagai materi untuk merealisasikan kewenangan khusus yang diserahkanPemerintah kepada Pemerintah Provinsi Aceh termasuk pelaksanaan Syari’at Islam.Untuk yang terakhir ini di bawah akan diuraikan lebih lanjut.
E. Kedudukan dan Fungsi Qanun dalam Pelaksanaan Otonomi Khusus
Qanundibentuk oleh DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan disahkan oleh KepalaDaerah setelah mendapatkan persetujuan bersama. Ketentuan ini mengikutisemangat rumusan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD 1945 amandemen pertama yangberisi : Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.Dengan demikian qanun merupakan peraturan perundang-undangan di daerah yangdibuat untuk menyelenggarakan otonomi khusus bagi Provinsi Nanggroe AcehDarussalam dan karena itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kesatuansistem perundang-undangan nasional.
Dalamkaitan ini, kedudukan peraturan daerah dalam tata urutan sistemperundang-undangan Republik Indonesia telah diatur dalam Ketetapan MPR NomorIII/MPR/2000 tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Negara Republik Indonesia sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-undang
4. Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah
Tata urutan peraturan perundang-undangan menurut TAP MPR diatas, dengan sendirinya menempatkan qanun sebagai subsistem dalam tataperaturan perundang-undangan nasional, bahkan sistem hukum nasional padaumumnya. Karena itu qanun sebagai peraturan daerah “plus”-tidak bolehbertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya.(Bagir Manan, 1995;9) Tetapi persoalan yang sekarang yang kita hadapi, UU No.18 Tahun 2001 Pasal 31 ayat (2) yang telah dikutip diatas tadi, menjadikanqanun tidak sama persis dengan peraturan daerah. Walaupun dari satu segi qanundisebutkan sebagai peraturan daerah, tetapi dia diberi kekuatan khusus yaitumerupakan peraturan pelaksanaan langsung untuk undang-undang dalam urusanotonomi khusus yang menjadi kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.Dengan kata lain qanun merupakan peraturan pelaksanaan yang secara hirarkisberada langsung dibawah undang-undang, tidak diselingi oleh peraturanperundangan lainnya. Mengikuti ketentuan ini, maka barangkali tidak adakeraguan bahwa untuk pelaksanaan otonomi khusus yang menjadi kewenanganProvinsi, qanun setingkat dengan peraturan pemerintah.
Jalanpikiran atau kesimpulan di atas menjadi penting karena didalam “PenjelasanUmum” UU No. 18 Tahun 2001 disebutkan bahwa, “Qanun Provinsi Nanggroe AcehDarussalam adalah Peraturan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yangdapat mengesampingkan peraturan Perundang-undangan yang lain dengan mengikutiasas lex specialis deregat lex generalis dan Mahkamah Agung berwenangmelakukan uji materiel terhadap Qanun“. Dari bunyi rumusan ini munculpertanyaan, ketentuan atau peraturan apa yang dapat disingkirkan oleh QanunProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Untuk menjawab ini, sekiranya jalan pikirandiatas tadi diterima maka qanun dapat menyingkirkan peraturan pemerintah dankeputusan presiden sekiranya hal itu menyangkut otonomi khusus yang menjadikewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Selanjutnyadalam Pasal 33 disebutkan, “Perubahan atas undang-undang ini dapat dilakukandengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam.” Ketentuan ini secara tidak langsung menyatakanbahwa undang-undang yang tidak sejalan dengan UU No. 18 Tahun 2001 yang datangsesudahnya, tidak secara serta merta berlaku di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam. Undang-undang tersebut baru akan berlaku setelah mendapatkanpertimbangan dari DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jalan pikiran inisecara tidak langsung menyatakan bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalamdapat mengenyampingkan undang-undang baru (yang datang belakangan) yang tidaksejalan dengan UU No. 18/01.
Dariuraian diatas dapat dipahami bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalamberfungsi sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan peraturan hal-hal yang belum jelas yang olehundang-undang otonomi khusus diminta (diserahkan) kepada qanun untukmengaturnya.
b. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang tidak bertentangan denganperaturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu undang-undang.
c. Menyelenggarakan pengaturan hal-hal yang belum diatur oleh peraturanperundang-undangan yang lebih tinggi yaitu undang-undang.
Menurut penuliskedudukan qanun dalam hubungan dengan penyelenggaraan otonomi khusus bagiProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam perlu dikaji dan dijelaskan oleh paraakademisi dan praktisi secara jernih dan tanpa prasangka, sehingga posisinyadan kewenanganya yang di atas tadi dikatakan setingkat dengan peraturanpemerintah dan bahkan undang-undang, dapat dipahami dan diterima oleh parapembuat kebijakan dan pencari keadilan.
Melaluipengkajian dan penjelasan ini nanti, para pembuat kebijakan dan pencarikeadilan dan bahkan para pengamat hukum secara umum akan secara mudah dapatmemahami bahwa qanun dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus bagi ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam dapat mengesampingkan peraturan lain yang lebihtinggi, yang dalam keadaan biasa tidak dapat disingkirkan oleh peraturandaerah. Akan tetapi sebagai konsekuensi diberikannya otonomi khusus kepadaProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam maka produk legislatif daerah ini dapatsaja menyimpang dari produk eksekutif di tingkat pusat. Misalnya suatu materiqanun yang telah ditetapkan secara sah ternyata bertentangan isinya denganmateri Keputusan Presiden (apalagi hanya dengan keputusan menteri) yangbersinggungan dengan otonomi khusus, maka Mahkamah Agung tentu harus menyatakanbahwa qanun itulah yang berlaku untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,sedangakan Keputusan Presiden atau Peraturan Menteri berlaku secara umum diseluruh Indonesia (Jimly Asshiddiqie, 2000:29)
Didalam praktek, pembuatan dan pengesahan qanun, terutama dari segi materil atausubtansi masalah yang diatur, tidaklah berjalan mulus dalam arti mungkin sekaliakan terjadi tolak tarik karena adanya perbedaan kepentingan antara berbagaiunsur yang ada di dalam masyarakat. Perbedaan mana harus diakomodir dandimusyawarahkan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan gejolak ataukesulitan yang tidak perlu. Sebagai contoh, qanun pertama yang dibuat oleh DPRDProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk implementasi otonomi khusus adalahqanun di bidang keuangan dan perimbangan bagi hasil minyak dan gas bumi.Pengesahan qanun ini telah mengundang kritik terutama dari masyarakat Kabupatenpenghasil gas bumi yakni Kabupaten Aceh Utara. Mereka mengatakan substansiqanun tersebut tidak lebih sebagai perpindahan sentralisasi dari Jakarta ke Ibukota Provinsi sebab pembagian hasil gas bumi tidak memenuhi keinginan darimasyarakat yang bersangkutan sehingga mereka menuntut DPRD Kabupaten dan BupatiAceh Utara untuk tidak menerima qanun tentang pembagian keuangan tersebut(Humam Hamid,2004 : 8-9)
F. Kedudukan Qanun dalam PelaksanaanSyari’at Islam
PelaksanaanSyari’at Islam sebagai inti dari keistimewaan Aceh, yang sebelumnya hanyamerupakan slogan, mendapat legalitas dan landasan formal dalam Undang-UndangNomor 44 Tahun 1999. Dalam Undang-undang ini pelaksanaan syari’at Islamsebagai keistimewaan didang agama akan didukung oleh pelaksanaan keistimewaandi bidang adat dan pendidikan. Pelaksanaan syari’at Islam ini diperkuat kembalidi dalam Undang Undang No. 18 Tahun 2001. Di dalam UU yang terakhir ini adatiga bab tentang penegakan hukum yaitu Bab X tentang Kepolisian Daerah, Bab XItentang Kejaksaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Bab XII tentangMahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mengenai Kepolisian,undang-undang menyatakan bahwa tugas fungsional kepolisian di bidang ketertibandan ketenteraman masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur lebihlanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Pasal 22 ayat 4). Sedangmengenai Kejaksaan tidak ada perintah untuk mengaturnya dengan qanun. MengenaiMahkamah Syari’ah, karena merupakan pusat perhatian penulis kutipkan secaralengkap: Pasal 25,(1) Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan olehMahkamah Sya’riah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. (2) KewenanganMahkamah Sya’riah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan atas SyariatIslam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan QanunProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam (3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat(2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam. Pasal 26 (1) MahkamahSyari’ah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) terdiri atas MahkamahSyari’ah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda atau Provinsi sebagai pengadilantingkat pertama, dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi sebagai pengadilan tingkatbanding di ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. (2) Mahkamah Syar’iyahuntuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. (3) Hakim Mahkamah Syar’iyah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sebagaiKepala Negara atas usul Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbanganGubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Ketua Mahkamah Agung.
Sepertitelah disinggung di atas, urusan yang menurut UU No.22/99 tidak diotonomikankepada daerah, tetapi oleh UU No. 18 Tahun 2001 dijadikan sebagai otonomikhusus adalah peradilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh MahkamahSyar’iyah. Melihat redaksi dalam dua pasal di atas, dan juga sistematikanyayang terletak sesudah kepolisian dan kejaksaan, maka dapat dikatakan bahwapelaksanaan Syari’at Islam di Aceh menurut UU No.18/01 ini termasuk ke dalambidang (urusan) hukum, bukan bidang (urusan) agama. Dengan demikian pelaksanaanSyari’at Islam sebagai bagian dari otonomi khusus di Aceh dapat dikatakanberinduk kepada dua bidang, ada yang ke agama berdasarkan Undang-Undang Nomor44 Tahun 1999 dan ada yang ke hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun2001. Berhubung kajian ini berkaitan dengan qanun (UU No.18/2001), maka uraiandi bawah difokuskan pada bidang hukum, bukan bidang agama.
Karenatidak jelas apakah Mahkamah Syar’iyah merupakan lembaga baru atau pengubahanatas lembaga yang sudah ada, dan apakah merupakan lembaga daerah (otonomikhusus) ataukah lembaga Pusat (masuk ke Departemen Kehakiman dan DepartemenAgama atau ke Mahkamah Agung) maka sebuah team yang mewakili Aceh, sejak awal tahun2002 aktif berkonsultasi dengan Pemerintah, dalam hal ini Mahkamah Agung,Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Agama, Kejaksaan Agung, KepolisianRepublik Indonesia dan Departemen Dalam Negeri. Rangkaian konsultasi ini padaakhirnya memberikan rekomendasi agar pada tingkat pusat dibentuk sebuah teamantar departemen di bawah pimpinan Departemen Dalam Negeri, yang bertugasmenyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pembentukan dan peresmianMahkamah Syar’iyah di Aceh. Team ini dibentuk oleh Menteri Dalam Negeridiketuai oleh Sekretaris Jenderal dalam hal ini Ibu Siti Nurbaya danberanggotakan utusan dari departemen dan lembaga terkait, termasuk utusanPemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu tugas yang dianggapmendesak adalah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang PeradilanSyari’at Islam atau Mahkamah Syar’iyah sebagai bagian dari pelaksanaan otonomikhusus. Di pihak lain, sementara Team Pusat bekerja, dan konsultasi antaraPemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Pemerintah berlangsung,Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga bekerja menyiapkan rancanganQanun tentang Peradilan Syari’at Islam, (terutama sekali untuk menetapkankewenangannya), yang menurut undang-undang diserahkan kepada qanun.
Padabulan Oktober 2002 disahkan Qanun Nomor 10 tahun 2002 tentang PeradilanSyari’at Islam, tepatnya tanggal 14 Oktober 2002, yang diantara isinya mengubahPengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah, Pengadilan Tinggi Agama menjadiMahkamah Syar’iyah Provinsi (Pasal 2) dan menetapkan kewenangannya (Pasal 49)yang meliputi bidang hukum perdata kekeluargaan (al ahwal as-syakhshiyyah),perdata kehartabendaan (mu’amalah) dan pidana (jinayat).
RancanganPeraturan Pemerintah yang disiapkan oleh Team Pusat sesuai dengan masukan yangdisampaikan utusan dari Aceh dan juga hasil pembicaraan dalam beberapa kalipertemuan dan diskusi, berisi pengukuhan atas pengubahan Pengadilan Agamamenjadi Mahkamah Syar’iyah seperti yang telah tercantum di dalam Qanun, sertamenjelaskan hubungan antara kepolisian dan kejaksaan dengan Mahkamah Syar’iyahdi bidang pidana telah dapat diselesaikan dalam Februari 2003. Tetapi dengansebab yang tidak jelas Rancangan Peraturan Pemerintah yang dengan susah payahdisiapkan oleh team interdep tadi, tidak disahkan dan sebagai ganti dikeluarkanKeputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 tanggal 3 Maret 2003 tentang MahkamahSyar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.Dalam Keppres yang terdiri atas 11 pasal ini, di samping menetapkan pengubahanPengadilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah (Pasal1), juga menetapkankewenangannya yaitu semua kewenangan Pengadilan Agama “ditambah dengankekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalamibadah dan syi’ar Islam yang ditetapkan dalam Qanun” (Pasal 3 ayat (1).Sedang hubungan antara kepolisian dan kejaksaan dengan Mahkamah Syar’iyah yangdi Aceh sangat ditunggu-tunggu (karena dianggap bukan merupakan kewenanganQanun), tidak disebut-sebut di dalam KEPPRES ini.
Lepasdari apa yang dimaksud dengan “kekuasan dan kewenangan lain yang berkaitandengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam,” kenaparangkaian kata ini muncul sebagai kewenangan Mahkamah Syar’iyah di dalamKEPPRES dan bagaimana melaksanakannya di lapangan, satu hal ingin dikomentaribahwa UU No.18/01 secara jelas menyatakan bahwa kewenangan Mahkamah Syar’iyahditetapkan dengan qanun dan qanun untuk itu telah disahkan sebelum KEPPRESlahir. Tetapi KEPPRES kembali mengaturnya dan ternyata isinya tidak sama denganyang ditentukan di dalam Qanun. Dengan demikian KEPPRES ini mengatur sesuatuyang sebetulnya tidak perlu diatur karena berada di luar kewenangannya. Tetapikarena hal ini sudah terlanjur terjadi, maka mana yang harus digunakan?Dapatkan KEPPRES itu dianggap tidak berlaku karena bertentangan denganketentuan yang terdapat dalam undang-undang? Meneruskan jalan pikiran ini,apakah yang dianggap tidak berlaku tersebut hanya pasal yang dianggapbertentangan dengan undang-undang (yang melampaui kewenangannya) ataukahseluruh isi KEPPRES ini harus dianggap tidak ada? Perlukah Mahkamah Agungmelakukan uji materiil atas keberadaan kedua peraturan ini?
Kembalikepada qanun untuk pelaksanaan Syari’at Islam, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 menetapkandalam Pasal 53 dan Pasal 54 bahwa hukum materiil dan formil dari Syari’at Islamyang akan dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah perlu ditetapkan di dalam Qanunterlebih dahulu. Untuk ini telah disahkan Qanun Provinsi Nanggroe AcehDarussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Aqidah, Ibadah, dan Syi’ar Islam, QanunProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar danSejenisnya; Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 13 Tahun 2003 tentangMaisir (Perjudian), Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No.14 Tahun 2003tentang Khalwat (Mesum) dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 7Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Di masa depan qanun-qanun ini akanditambah sedikit demi sedikit sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Sedangmengenai hukum acara pada dasarnya akan menggunakan hukum acara yang berlakusecara nasional (KUHAP) kecuali dalam hal yang memang ada perbedaan denganSyari’at Islam.
Dalamkaitan dengan qanun mengenai hukum materiil dan formil Syari’at Islam khususnyatentang sanksi, kadang-kadang muncul pertanyaan, apakah sanksi yang ada dalamSyari’at Islam terutama sekali cambuk dapat ditetapkan dengan qanun, karenamenurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, hukumanyang dapat diatur di dalam Perda (menurut mereka termasuk Qanun) hanyalah dendamaksimal Rp. 5.000.000,- atau kurungan maksimal enam bulan. Untuk menjawabpertanyaan ini ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama sekali UUNo.18Tahun 2001 menyatakan bahwa kewenangan Mahkamah Syar’iyah untukmenjalankan peradilan Syari’at Islam ditetapkan dengan Qanun berdasarkanSyari’at Islam dan sistem hukum nasional. Sedang mengenai Syari’at Islamyang akan dilaksanakan oleh Mahkamah tersebut, tidaklah disebutkan harusditetapkan di dalam qanun terlebih dahulu. Aturan bahwa Syari’at yang akandijalankan itu akan ditetapkan ke dalam qanun terlebih dahulu diatur olehqanun, yaitu Qanun No.10 Tahun 2002. Qanun inilah yang menetapkan bahwaSyari’at Islam yang akan dilaksanakan itu harus ditetapkan di dalam Qanunterlebih dahulu, seperti telah disebutkan di atas. Kebijakan ini ditempuh untuklebih memudahkan dan lebih mewujudkan kepastian hukum. Dengan kata lain, karenadituliskan di dalam qanun maka siapa saja yang berminat dapat dengan mudahmencari dan mempelajarinya. Sebetulnya qanun boleh saja menetapkan bahwaSyari’at Islam yang akan dijalankan adalah ketentuan yang terdapat dalam suatubuku fiqih tertentu, atau langsung meminta hakim mencarinya ke dalam ayatAl-qur’an atau hadis Rasulullah, tidak perlu dirumuskan ke dalam qanun-qanunterlebih dahulu. Tetapi cara ini tidak ditempuh, karena diduga akan sangatmenyulitkan hakim. Cara ini memerlukan tenaga hakim dengan kualifikasi yangsangat ketat. Juga akan sangat menyusahkan para pihak bahkan para pengacarakarena yang menguasai buku fiqih untuk kepentingan beracara ini relatiftidaklah banyak. Dengan penulisan di dalam qanun, maka yang dicari hakim kedalam buku fiqih atau ayat Al-qur’an serta hadis hanyalah penjelasan ataurincian tertentu. Kedua, walaupun sanksi tersebut dituliskan di dalam qanun,tetapi sanksi ini bukanlah sanksi PERDA, melainkan sanksi Syari’at Islam itusendiri, dalam hal ini ta’zir hudud atau qishash/diyat. Maksudnya tanpadituliskan di dalam qanun pun para ulama Islam sudah mengetahui bahwa hududatau qishash/diyat yang akan diajukan untuk perbuatan pidana tertentu ituadalah seperti itu, tidak boleh yang lain. Jadi penulisan sanksi di dalam qanunsebagaimana telah disebutkan di atas, adalah sekedar untuk lebih mudahmewujudkan kepastian hukum, mengurangi alternatif atas berbagai pilihan yangkadang-kadang ditemukan di dalam fiqih. Ketiga, masyarakat Aceh sejak dari awalkemerdekaan sudah menuntut izin untuk melaksanakan Syari’at Islam secarasempurna di tengah masyarakat tanpa pernah berhenti. Setelah hampir enam puluhtahun merdeka barulah keinginan ini mendapatkan pengakuan dan landasan juridisperundangan yang relatif memadai. Tetapi oleh sebagian pihak landasan danpengakuan ini dianggap masih belum cukup kuat dan karena itu tidak dapatdigunakan untuk melaksanakan syari’at Islam secara kaffah. Untuk ini menurutpenulis, para akademisi dan praktisi selayaknya memberikan tafsir berdasartujuan (teologis) sedemikian rupa. Keinginan rakyat Aceh yang sudah cukup lamauntuk melaksanakan Syari’at Islam, yang oleh undang-undang di atas ingindiakomodir dengan baik, tetapi karena keterbatasan rumusan dan pilihan kataternyata tidak mampu menampung semuanya, perlu diatasi dengan cara memberikantafsir berdasar tujuan. Bahwa ketentuan dalam undang-undang di atas seyogyanyadipahami berdasar tujuannya yaitu, memberikan kesempatan kepada rakyat Acehuntuk melaksanakan Syari’at Islam secara sempurna melalui lembaga pengadilan ditengah masyarakatnya.
G. Penutup
Kewenanganmengatur pelaksanaan atau penyelenggaraan otonomi khusus oleh UU No. 18 Tahun2001 diberikan kepada Pemerintah Provinsi untuk dituangkan ke dalam qanun.Namun penguatan atau pengaturannya melalui (oleh) peraturan pemerintah tetapdirasa perlu, karena otonomi khusus ini sifatnya sangat unik hanya ada diProvinsi NAD dan Provinsi Papua (tetapi dengan isi yang tidak sama). Rincianotonomi khusus tidak disebutkan secara jelas di dalam undang-undang, sedangbidang seberannya relatif sangat luas, sehingga persinggungan antara kewenanganPemerintah Provinsi dengan kewenangan Pemerintah akan sering terjadi, dansekiranya terjadi batasannya tidak mudah ditentukan. Karena hal itu adanyaperaturan pemerintah yang memberi ketegasan tentang kewenangan Pemerintah di sampingkewenangan Pemerintah Provinsi merupakan suatu hal yang sangat diperlukan.Adanya peraturan pemerintah di samping di perlukan oleh masyarakat Aceh jugadiperlukan oleh para petugas dan pembuat kebijakan di berbagai Departeman diJakarta, karena sangat boleh jadi ketika membuat sebuah kebijakan Aceh yangberotonomi khusus yang telah mempunyai qanun menjadi terlupakan. Secaramanusiawi adalah wajar sekiranya para pembuat keputusan di Jakarta tidakmengetahui qanun yang sudah disahkan dan berlaku di Aceh, atau walaupun sudahmengetahuinya tidak menghayatinya atau lebih dari itu, boleh jadi terlupaketika membuat kebijakan tersebut (karena tertuang didalam Qanun yang dibuatdan berlaku di Aceh). Jadi penjelasan tambahan atau penulisan kembali beberapa halyang merupakan otonomi khusus di dalam peraturan pemerintah akan lebih mantapdan akan lebih memudahkan para pembuat keputusan dan kebijakan di Jakarta.Tanpa adanya peraturan pemerintah yang akan memberikan penjelasan tambahantentang otonomi khusus bagi Provinsi NAD, maka benturan antara qanun sebagaiperaturan pelaksanaan atas undang-undang dengan peraturan pemerintah atauperaturan eksekutif lainnya yang lebih rendah di tingkat pusat kuat dugaantidak akan dapat dihindari malah mungkin akan sering terjadi.
Demikianlah,semoga ada manfaatnya. Kritik dan saran dari berbagai pihak tetap diharapkanuntuk penyempurnaan di masa depan dan bahkan perbaikan sekiranya ada yangdianggap keliru atau salah.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdullah Sani(tesis Nagister), Qanun Syarak Kerajaan Aceh pada zaman Sultan
AlaudinMansur Syah: Tahkik dan Kajian bandingan dengan Bustanus
Salatin,Fakultas Pengajian Islam UKM, Kuala Lumpur, 2000
Al YasaAbubakar, Tanya Jawab Pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi
NanggroeAceh Darussalam, Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, Banda
Aceh,cet. 1, 2003.
Bagir Manan1995. Sistim dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan
TingkatDaerah LPPM-UNISBA: Bandung.
Dinas Syari’atIslam Prov. NAD, Himpunan Undang-Undang Keputusan
Presiden,Peraturan daerah, Qanun, Intruksi Gubernur dan Edaran
Gubernur,Dinas Syari’at Islam Prov. NAD Banda Aceh, 2003
Human Hamid.2004 “Beberapa Catatatan Awal Tentang Otonomi Khusus di
ProvinsiNAD’Kanun Jurnal Ilmu Hukum No. 38 FH UNSYIAH : Banda
Aceh.
JimlyAsshiddiqie. 2000 Penataan Kembali Sumber Tertib Hukum RI Dalam
RangkaAmendemen Kedua UUD 1945 BP MPR-RI Jakarta.
Kaoy Syah, M.Lukman Hakim 2000 Keistimewaan Aceh Dalam Lintasan
SejarahAl- Jamiatul Washliyah: Jakarta.
Liaw Yock Fang,Undang-Undang Melaka, KITLV, Den Haag, 1976
1 Liaw YockFang, Undang-Undang Melaka, KITLV,Den Haag,1976 hlm.62.Teks tersebutberbunyi, “Adapun kemudian dari pada itu, maka inilah suatu risalat padamenyatakan hukum kanun yaitu pada segala negeri yang besar-besar dan padasegala raja-raja yang besar-besar dan wazir dan pada adat yang takluk dan dusunsupaya manfaat atas negeri dan raja-raja.”
2 FakultasHukum Universitas Syiah Kuala menggunakan istilah “KANUN” untuk nama jurnalilmiah yang mereka terbitkan, yang sekarang ini telah memasuki tahun kesepuluh.
3 Pepatahadat ini dikutip dalam: “Penjelasan Umum” Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 ,yang berbunyi: “Adat bak potemerreuhum,hukombak Syiah Kuala,qanun bak PutroPahang, reusam dari Laksamana).” Sekiranya nama tokoh yang disebutkandidalam pepatah ini digunakan sebagai rujukan (yang dikenal luas di tengahmasyarakat, Sultan adalah Sultan Iskandar Muda , Ulama adalah Syiah Kuala,Putri Pahang adalah permaisuri Sultan Iskandar Muda) maka pepatah ini mungkinsekali berasal dari awal abad ke tujuh belas, masa pemerintahan Sultan IskandarMuda Meukuta Alam.
4 Abdulah Sani Usman Basyah (TesisMagister), Kanun Syarak Kerajaan Aceh pada Zaman Sultan Alauddin Mansur Syah:Tahkik Kajian Bandingan dengan Bustanus Salatin,Fakultas Pengajian Islam, UKM,Kuala Lumpur, 2000, hlm 17.
Legalitas Org.
Gedung DitJend. Peraturan Perundang-undangan
Jln. Rasuna Said Kav. 6-7, Kuningan, Jakarta Selatan
Email: admin@legalitas.org
JIKA ANDA BUTUH ANGKA GHOIB/JITU 2D.3D.4D YG DI JAMIN TEMBUS 100% DI PUTARANG SGP/HKG SILAHKAN SAJA ANDA TLP KY JAYA DI NOMOR 085-321-606-847 TRIMAH KASIH
ReplyDeleteJIKA ANDA BUTUH ANGKA GHOIB/JITU 2D.3D.4D YG DI JAMIN TEMBUS 100% DI PUTARANG SGP/HKG SILAHKAN SAJA ANDA TLP KY JAYA DI NOMOR 085-342-064-735 TRIMAH KASIH
ReplyDelete