"SIAPA yang menjaminmu hidup sampai waktu zohor?" Terlontar pertanyaan itu dari mulut seorang pemuda kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tokoh pemimpin bergelar 'Khulafa Ur-Rasyidin Ke 5' itu?
Tersentak khalifah yang terkenal keadilan itu seketika, kerana sebelum itu beliau baru hendak merebahkan diri berihat setelah selesai menguburkan jenazah khalifah sebelumnya, iaitu Sulaiman bin Malik. Baru beliau hendak berihat, tiba-tiba seorang pemuda berumur 17 tahun menghampirinya dan bertanya,,
"Apa yang engkau nak buat ya Amirul Mukminin?"
"Biarlah aku tidur sekejap. Aku sangat penat dan letih, hampir tak ada tenaga yang tinggal lagi!" Jawab Umar Abdul Aziz.
"Engkau nak tidur sebelum kembalikan barang yang diambil secara paksa dari pemiliknya wahai Amirul Mukminin??" Pemuda itu tidak puas hati.
"Nanti sampai waktu zohor, aku dan yang lain-lain akan kembalikan barangan tersebut kepada pemiliknya!" Balas Umar.
Jawapan inilah yang menimbulkan pertanyaan pemuda itu seperti di atas. Pemuda itu bernama Abdul Malik, adalah anak beliau sendiri.
Cerita itu dipetik dari risalah berjodol 'Hizbul Adalah' yang tersebar pada hari Jumaat lepas di masjid Tanjung Balai terbitan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Indonesia. Antara komen risalah tersebut...
{ Kalau saja hari ini sejarah itu terulang, betapa bahagianya kita menjadi rakyat dari pemimpin seperti mereka. Kita mendapati isteri dan anak-anak sang pemimpin menjadi pembantunya untuk taat kepada Allah. Isteri dan anak-anaknya menjadi pengawas melekat dari harta, dari mana datangnya. Anak-anak akan berkata,
"Ayah, kami lebih tahan lapar di dunia daripada panasnya api neraka. Jangan kita makan, jangan kita simpan yang bukan dari hak kita!"
Adakah (ada) anak yang seperti ini? Jawapan kita mustahil, dan kalaupun ada paling satu dua. Hari ini, berapa banyak anak-anak yang mencelakakan orang tua. Tidak bisa disalahkan salah satu pihak sahaja. Karena kata Rasul, " anak itu lahir dalam keadaan fitrah (seperti kain putih), orangtuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi atau Majusi."
Jangan salahkan anak, karena mereka mencuri, karena ayahnya ajarkan cara untuk korupsi. Jangan salahkan anak ketika mempergunakan jabatan orangtua untuk memperkaya dirinya sendiri, karena ayahnya mengajarkan hal itu semenjak kecilnya. Jangan salahkan anak, karena dia hanya peniru dari orangtuanya. Jangan salahkan anak tidak punya perasaan persaudaraan, karena kalian sering ajarkan cara bermusuhan. Apakah catatan sejarah indah ini akan terulang lagi? }
Demikian sedutannya.
Di Tanjung Balai, ada sebuah kisah dan cerita tentang legenda anak derhaka. Seperti juga cerita Malin Kundang di Sumatera Barat yang disumpah menjadi batu. Sampuraga di Mandailing Natal Sumatera Utara yang konon katanya, berubah menjadi sebuah sumur berisi air panas. Di Thailand ada cerita Pulau Jelapi, juga hasil sumpahan anak derhaka dari orang tuanya, yang pernah dikasetkan oleh penyanyi dikir barat Mat Yeh anak Pattani. Seperti juga cerita Si Tanggang di Malaysia yang telah dibuku dan difilemkan.
Kisah di kota Tanjung Balai ini, akibat derhaka terhadap ibunya, seorang pemuda dikutuk menjadi sebuah daratan yang dikelilingi perairan, yakni Pulau Simardan. Berbagai cerita masyarakat mengenainya, Simardan adalah anak wanita miskin dan yatim. Pada suatu hari, dia pergi merantau ke negeri seberang, mengadu nasib dan mencari peruntungan.
Setelah beberapa tahun merantau dan tidak diketahui khabarnya, maka pada suatu hari ibunya yang tua renta itu mendengar berita dari masyarakatnya tentang berlabuhnya sebuah kapal layar dari Malaysia. Menurut keterangan masyarakat kepadanya, pemilik kapal itu bernama Simardan yang tidak lain adalah anaknya. Anak yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu.
Betapa bahagia bila anaknya telah kembali. Ibu Simardan lalu pergi menyusur ke pelabuhan. Di pelabuhan, wanita tua itu mejumpai Simardan sedang berjalan bersama seorang wanita cantik dan kaya raya. Dia terus memeluk erat tubuh anaknya dengan gembira, dan mengakui, Simardan itu adalah anaknya. Tidak diduga, pelukan kasih dan sayang seorang ibu, rupanya telah ditepis oleh Simardan.
Bahkan, dengan tanpa belas kasihan Simardan menolak tubuh ibunya hingga terjatuh. Walaupun isterinya meminta Simardan untuk mengakui wanita tua itu sebagai ibunya, namun pendiriannya tetap tidak berubah. Simardan mengusir ibunya dengan mengatakan pengemis.
"Sebelum terjadinya peristiwa tersebut, Pulau Simardan masih sebuah perairan tempat kapal berlabuh. Lokasi berlabuhnya kapal tersebut, di Jalan Sentosa Kelurahan Pulau Simardan Lingkungan IV Kota Tanjung Balai..." kata tokoh masyarakat di Pulau Simardan, H.Daem, 80, warga Jalan Mesjid P. Simardan Kota Tanjung Balai.
Tanjung Balai, terletak di 20.58 LU (Lintang Utara) dan 0.3 meter dari permukaan laut. Sedangkan luasnya sekitar 6,05,90 ha dengan jumlah penduduk kurang lebih 144,979 jiwa (sensus 2003). Walaupun peristiwa tersebut terjadi di daerah Tanjung Balai, Daem mengatakan, Simardan sebenarnya berasal dari hulu Tanjung Balai atau sekitar daerah Tapanuli.
Hal itu juga dikatakan tokoh masyarakat lainnya, Abdul Hamid Marpaung, 75, warga Jalan Binjai Semula Jadi Kota Tanjung Balai.
“Daerah asal Simardan bukan Tanjung Balai, melainkan di hulu Tanjungbalai, iaitu daerah Porsea Tapanuli,” jelasnya.
Ada lagi yang menarik dari berbagai cerita atau kisah tentang legenda anak derhaka itu. Biasanya anak yang derhaka dikatakan pergi merantau untuk mencari pekerjaan, dengan tujuan merubah nasib keluarga. Berbeza dengan Simardan, dia merantau ke Malaysia untuk menjual harta karun yang ditemukannya di sekitar rumahnya, kata Abdul Hamid Marpaung.
“Simardan bermimpi lokasi harta karun. Esoknya, dia pergi ke tempat yang tergambar dalam mimpinya, dan menemui berbagai macam perhiasan yang banyak,” tutur Marpaung lagi.
Kemudian, Simardan merancang menjual harta karun yang ditemui itu, dan Tanjung Balai merupakan daerah yang ditujunya. Kerana, jelas Marpaung, di situ berdirinya sebuah kerajaan yang besar dan kaya. Tetapi setibanya di Tanjung Balai, kerajaan tersebut tidak mampu membayar harta karun temuan Simardan itu, sehingga dia terpaksa pergi ke Malaysia.
“Salah satu kerajaan itu, di Pulau Pinang Malaysialah yang membeli harta karun tersebut. Bahkan, Simardan juga mempersunting puteri kerajaan itu,” ungkap Marpaung lagi.
Tetapi menurut H.Daem, tujuan Simardan pergi merantau ke Malaysia untuk mencari pekerjaan. Setelah beberapa tahun di Malaysia, Simardan akhirnya berhasil menjadi orang kaya dan menyunting puteri bangsawan sebagai isterinya. Setelah berpuluh tahun merantau, Simardan akhirnya kembali ke Tanjung Balai bersama isterinya. Kedatangannya ke Tanjung Balai, menurut Daem, untuk berdagang sekaligus mencari bahan-bahan keperluan.
Menurut Marpaung lagi, Simardan datang ke Tanjung Balai kerana tidak memiliki keturunan. Jadi atas saran orang tua di Malaysia, pasangan suami isteri itu pergi ke Tanjung Balai. Lebih lanjut dikatakan Marpaung, berita kedatangan Simardan di Tanjung Balai disampaikan masyarakat kepada ibunya.
"Gembira anak semata wayangnya kembali ke tanah air, sang ibu lalu mempersiapkan berbagai hidangan, berupa makanan khas keyakinan mereka yang belum mengenal agama. Hidangan yang disiapkan ibunya adalah makanan yang diharamkan dalam agama Islam." tutur Marpaung.
Dengan sukacita, ibu Simardan kemudian berangkat menuju Tanjung Balai bersama beberapa kerabat dekatnya. Sesampainya di Tanjung Balai, ternyata sikap dan perlakuan Simardan tidak seperti yang dibayangkannya. Simardan membantah atau tidak mengakui bahawa orang tua tersebut adalah wanita yang telah melahirnya. Hal itu dilakukan Simardan, jelas Marpaung, kerana dia malu kepada isterinya takut diketahui ibunya belum mengenal agama (Sebenarnya perlakuan begitu bukanlan dari ajaran Islam yan betul).
“Makanan yang dibawa ibunya adalah bukti bahawa keyakinan mereka berbeda.”
Sementara menurut H. Daem, perlakuan kasar Simardan adalah kerana malu melihat ibunya yang miskin. “Karena miskin, ibunya memakai pakaian compang-comping. Akibatnya, Simardan tidak mengakui sebagai orangtuanya.”
Setelah diperlakukan kasar oleh Simardan, wanita tua itu lalu berdoa sambil memegang payudaranya. “Kalau dia adalah anakku, tunjukkanlah kebesaran-Mu,” begitulah kira-kira yang diucapkan ibu Simardan.
Selesai berdoa, turun angin kencang disertai ombak yang mengarah ke kapal layar, sehingga kapal tersebut hancur berantakan. Sedangkan tubuh Simardan, menurut cerita Marpaung dan Daem, tenggelam dan berubah menjadi sebuah pulau bernama Simardan.
Para pelayan dan isterinya berubah menjadi kera putih, kata Daem dan Marpaung. Hal ini disebabkan para pelayan dan isterinya tidak ada kaitan dengan sikap derhaka Simardan kepada ibunya. Mereka diberikan tempat hidup di hutan Pulau Simardan.
“Sekitar 40 tahun lalu, masih ditemukan kera putih yang diduga jelmaan para pelayan dan isteri Simardan,” jelas Marpaung. "Namun, akibat bertambahnya populasi manusia di Tanjung Balai khususnya di Pulau Simardan, kera putih itu tidak pernah terlihat lagi."
Di samping itu, sekitar tahun 50an masyarakat menemukan tali kapal berukuran besar di daerah Jalan Utama Pulau Simardan. Penemuan terjadi, ketika masyarakat menggali perigi (sumur). Selain tali kapal ditemukan juga rantai dan jangkar, yang diduga berasal dari kapal Simardan, kata Marpaung.
“Benar tidaknya legenda Simardan, tergantung persepsi kita. Tapi dengan ditemukannya tali, rantai dan jangkar kapal membuktikan bahawa dulu Pulau Simardan adalah perairan.”
Dari dua cerita di atas, dapat dibuat kesimpulan bahawa derhaka kepada dua ibubapa adalah dilarang oleh agama dan kemanusiaan... Kalau berlaku penderhakaan kepada ibubapa dan Allah SWT juga Rasul SAW, maka siasatlah!!
Di situlah perlu bimbingan tarbiah dari jamaah atau parti Islam yang juga melibatkan ibubapa kepada anak-anak itu sendiri. Itu tugas yang wajib disertai atau diharungi sebagai manusia dan Muslimin..
Sekian Wallahu 'aklam.
...dari
Ibnu Hasyim
Pulau Simardan Tanjung Balai.
Lihat ..
E-Buku IH-8: 'Medan-Tanjung Balai'