Ibnu Hasyim: Catatan Perjalanan
SAYA dibawa berjalan di Kota Medan. Antara tempat-tempat yang saya tak minat dibawa melawat tapi dibawa juga, ialah melihat monument Guru Patimpus.
“Siapa Guru Patimpus itu?” Saya tanya.
“Beliau adalah pembuka kota Medan ini!” Jawab teman saya itu.
Bila dlihat dari
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas..
‘Kota Medan berkembang dari sebuah kampung bernama Kampung Medan Putri, yang didirikan oleh Guru Patimpus sekitar tahun 1590an. Guru Patimpus adalah seorang putera Batak Karo bermarga Sembiring Pelawi dan beristerikan seorang puteri Datuk Pulo Brayan.
Dalam bahasa Batak Karo, kata ‘Guru’ bererti ‘Tabib’ ataupun ‘Orang Pintar’, kemudian kata ‘Pa’ merupakan sebutan untuk seorang Bapak berdasarkan sifat atau keadaan seseorang, sedangkan kata ‘Timpus’ bererti bundelan, bungkus, atau balut. Dengan demikian, maka nama Guru Patimpus bermakna sebagai seorang Tabib yang memiliki kebiasaan membungkus sesuatu dalam kain yang diselempangkan di badan untuk membawa barang bawaannya. Hal ini dapat diperhatikan pada Monumen Guru Patimpus yang didirikan di sekitar Balai Kota Medan.’
Apa makna ‘medan’?
Menurut salah satu ‘Kamus Batak Karo-Indonesia’ oleh Darwin Prinst SH: 2002, ‘medan’ bererti ‘menjadi sehat’ ataupun ‘lebih baik’, berdasarkan Guru Patimpus adalah seorang tabib yang memiliki keahlian dalam pengobatan tradisional Batak Karo pada masanya. Penulis-penulis Portugis abad ke 16 menyebutkan asalnya dari nama ‘Medina’, atau dari bahasa India ‘Meiden’, dan sebutan saudagar Arab ‘median’ ertinya ‘datar’ atau ‘rata’ yang memang tanah itu begitu.
Menurut
Harian Global Indonesia, 9 Julai 2006..
'
Dalam ‘Riwayat Hamparan Perak’ yang dokumen aslinya ditulis dalam huruf Karo pada rangkaian bilah bambu, tercatat Guru Patimpus, tokoh masyarakat Karo, sebagai yang pertama kali membuka ‘desa’ yang diberi nama Medan. Namun, naskah asli Riwayat Hamparan Perak yang tersimpan di rumah Datuk Hamparan Perak terakhir telah hangus terbakar ketika terjadi ‘kerusuhan’ sosial, tepatnya tanggal 4 Maret 1946.
Patimpus adalah anak Tuan Si Raja Hita, pemimpin Karo yang tinggal di Kampung Pekan (Pakan). Ia menolak menggantikan ayahnya dan lebih tertarik pada ilmu pengetahuan dan mistik, sehingga akhirnya dikenal sebagai Guru Patimpus. Antara tahun 1614-1630 Masehi, ia belajar agama Islam dan diislamkan oleh Datuk Kota Bangun, setelah kalah dalam adu kesaktian. Selanjutnya Guru Patimpus menikah dengan adik Tarigan, pemimpin daerah yang sekarang bernama Pulau Brayan dan membuka Desa Medan yang terletak di antara Sungai Babura dan Sungai Deli.
Dia pun lalu memimpin desa tersebut. Oleh karena itu, nama Guru Patimpus saat ini diabadikan sebagai nama salah satu jalan utama di Kota Medan. Versi lain sejarah Kota Medan ini hanya melahirkan ketokohan Guru Patimpus dalam berdirinya Kota Medan. Versi ini tidak menghasilkan sebuah tanggal atau tahun.'
Dalam buku ‘The History of Medan’ tulisan Tengku Luckman Sinar (1991), dituliskan bahawa menurut ‘Hikayat Aceh’, Medan sebagai pelabuhan telah ada pada tahun 1590, dan sempat dihancurkan selama serangan Sultan Aceh Alauddin Saidi Mukammil kepada Raja Haru yang berkuasa di situ. Serangan serupa dilakukan Sultan Iskandar Muda tahun 1613, terhadap Kesultanan Deli.
Sejak akhir abad ke 16, nama Haru berubah menjadi Ghuri, dan akhirnya pada awal abad ke 17 menjadi Deli. Pertempuran terus-menerus antara Haru dengan Aceh mengakibatkan penduduk Haru jauh berkurang. Sebagai daerah taklukan, banyak warganya yang dipindahkan ke Aceh untuk dijadikan pekerja kasar. Selain dengan Aceh, Kerajaan Haru yang makmur ini juga tercatat sering terlibat pertempuran dengan Kerajaan Melayu di Semenanjung Malaka. Juga dengan kerajaan dari Jawa. Serangan dari Pulau Jawa ini antara lain tercatat dalam kitab Pararaton yang dikenal dengan ‘Ekspedisi Pamalayu’.
Dalam ‘Negarakertagama’, Mpu Prapanca juga menuliskan bahawa selain Pane (Panai), Majapahit juga menaklukkan Kampe (Kampai) dan Harw (Haru). Berkurangnya penduduk daerah pantai timur Sumatera akibat berbagai perang ini, lalu diikuti dengan mulai mengalirnya suku-suku dari dataran tinggi pedalaman Sumatera. Suku Karo yang bermigrasi ke daerah pantai Langkat, Serdang, dan Deli. Suku Simalungun ke daerah pantai Batubara dan Asahan, serta suku Mandailing ke daerah pantai Kualuh, Kota Pinang, Panai, dan Bilah.
Ini adalah versi pertama sejarah Medan. Ertinya, tahun 1590 dianggap sebagai salah satu tonggak kelahiran kota ini. Menurut ‘Hikayat Deli’ pula, seorang anak raja satu kerajaan di India yang bernama Muhammad Dalik, perahunya tenggelam di dekat Kuala Pasai sehingga ia terdampar di Pasai, daerah Aceh sekarang. Tidak lama sesudah di Aceh itu, ketika Sultan Aceh mengalami kesulitan untuk menaklukkan 7 lelaki dari Kaisar Romawi Timur yang membuat kacau, Dalik berjaya membunuh pengacau tersebut satu persatu.
Sebagai penghargaannya, Sultan memberinya gelar Laksamana ‘Kud Bintan’ dan menunjuknya sebagai Laksamana Aceh. Atas berbagai kejayaan dalam pertempuran akhirnya ia diangkat sebagai ‘Gocah Pahlawan’, pemimpin para pemuka Aceh dan raja-raja taklukan Aceh. Beberapa tahun kemudian, Dalik meninggalkan Aceh dan membuka negeri baru di Sungai Lalang-Percut. Posisinya di daerah baru adalah sebagai wakil Sultan Aceh di wilayah bekas Kerajaan Haru (dari batas Tamiang sampai Sungai Rokan Pasir Ayam Denak) dengan misi, menghancurkan sisa-sisa pemberontak Haru yang didukung Portugis, menyebarkan Islam hingga ke dataran tinggi, serta mengorganisir administrasi sebagai bahagian dari Kesultanan Aceh.
Untuk memperkuat posisinya ia menikahi adik Raja Sunggal (Datuk Itam Surbakti) yang bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti, sekitar 1632 M. Pengganti Gocah, anaknya yang bernama Tuanku Panglima Perunggit pada tahun 1669 M, memproklamasikan berdirinya Kesultanan Deli yang terpisah dari Aceh, serta mulai membangun relasi dengan Belanda di Malaka. Berdirinya Kesultanan Deli ini juga salah satu cikal berdirinya Kota Medan.
Nama Deli sesungguhnya muncul dalam ‘Daghregister’ VOC di Malaka sejak April 1641, yang dituliskan sebagai Dilley, Dilly, Delli, atau Delhi. Mengingat asal Gocah Pahlawan dari India, ada kemungkinan nama Deli itu berasal dari Delhi, nama kota di India. Belanda tercatat pertama kali masuk di Deli tahun 1641, ketika sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil hamba. Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin mulus.
Tahun 1863 Kapal Josephine yang membawa orang perkebunan tembakau dari Jawa Timur, salah satunya Jacobus Nienhuijs, dari Firma Van Den Arend Surabaya mendarat di Kesultanan Deli. Oleh Sultan Deli, ia diberi tanah 4,000 bau untuk kebun tembakau, dan mendapat konsesi 20 tahun. Begitulah awal cerita, yang berlanjut dengan masuknya ribuan tenaga kerja Cina, India, dan akhirnya Jawa untuk menggarap perkebunan-perkebunan Belanda.
Menurut bahasa Melayu, ‘medan’ bererti tempat berkumpul, kerana sejak zaman kuno di situ sudah merupakan tempat bertemunya masyarakat dari hamparan Perak, Sukapiring, dan lainnya untuk berdagang, berjudi, dan sebagainya. Desa Medan dikelilingi berbagai desa lain seperti Kesawan, Binuang, Tebing Tinggi, dan Merbau. Melihat sekilas sejarah Kota Medan, jelas bahawa sejak zaman kuno, zaman Kerajaan Haru, Medan sudah menjadi tempat pertemuan berbagai kultur bahkan ras seperti Karo, Melayu (Islam), India, Mandailing, dan Simalungun.
Sebagaimana terlihat dalam paparan di atas, proses itu bukannya berkurang, bahkan semakin kompleks sejak dibukanya perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara yang menghadirkan kuli kontrak baik dari India, Cina, mahupun Jawa. Hingga kini, Medan yang bererti ‘tempat berkumpul’ tersebut, masih menjadi tempat berkumpul berbagai ras dan kultur yang berbeda-beda.
Oleh itu siapa sebenarnya yang memiliki kota Medan ini? Pada saya, ada beberapa perkara perlu diberi perhatian:
Pertama:
Medan adalah kota seluas 265.10 km persegi, dalam 21 kecamataan dengan penduduknya berjumlah 2,036,016 jiwa (kepadatan 7.681/km per) mengikut banci 2005, terdiri dari suku Melayu Medan, Batak, Jawa dan berbangsa Cina, India juga Minang, yang beragama Islam, Kristen, Buddha atau Hindu. Dikatakan, majoriti penduduk kota Medan sekarang adalah suku Jawa dan Batak, terdapat ramai juga orang keturunan India juga Cina (kaum Cina sekitar 25%). Secara historis, pada tahun 1918 tercatat Medan dihuni 43,826 jiwa.
Dari jumlah tersebut, 409 orang berketurunan Eropah, 35,009 berketurunan Indonesia, 8,269 berketurunan Cina, dan 139 berasal dari ras Timur lainnya. Ke anekaragaman etnik dan jumlahnya itu boleh dilihat dari jumlah masjid, gereja dan vihara Cina seluruh kota, umpamanya di daerah sekitar Jalan Zainul Arifin bahkan dikenal sebagai Kampung Keling (Kampung India). Bahkan melihat kepada jumlah penduduk Islam di Indonesia (dari berbagai versi) adalah antara 60-90%, jelas bahawa majoriti penduduk Medan juga adalah beragama Islam yang terdiri dari berbagai kaum dan suku.
Kedua:
Melihat kepada nama-nama 14 nama Walikota Medan bermula dari 3 Oktober 1945 hingga kini, iaitu Luat Seriger, M.Yusuf, Djaidin Purba, AM Jalaludin, Muda Siregar, Madja Purba, Basyrah Lubis, PR Telaumbanua, Aminurrasyid, Sjoerkani, AM Saleh Arifin, HAS Rangkuti, Bachtiar Djafar dan yang terakhir Abdillah, yang hampir semuanya baragama Islam, maka kekuasaan melantik dengan kehendak rakyat adalah dimiliki oleh umat Islam. Bahkan Gabernor Sumatera Utara dan wakilnya, (kota Medan berada di dalamnya) yang baru dilantik kini pun beragama Islam, ada yang dari parti Islam atau didokong oleh parti Islam.
Ketiga:
Melihat kepada Guru Patimpus sendiri, kini sudah didedahkan sebagai seorang Islam, menambahkan kuatnya lagi bukti bahawa Kota Medan yang dikenali sebagai kota kaum Batak adalah kota milik umat Islam. Tokoh-tokoh yang diangkat sebagai 8 tokoh terkenal berasal dari Kota Medan antara lain, pujangga Chairil Anwar & Tengku Amir Hamzah, Amir Sjarifuddin Perdana Menteri Indonesia ke 2, Burhanuddin Harahab Perdana Menteri Indonesia ke 9, Soegirto Menteri Negara BUMN di Kabinet Indonesia Bersatu, Guru Patimpus Sembiring Pelawi pendiri kota Medan, Let Jend Djamin Ginting mantan Panglima Kodam I/BB dan Djaga Sembiring Depari komponis Karo, adalah hampir semuanya juga beragama Islam.
“Maka, sudah jelas, kota Medan adalah milik umat Islam.”
“Tapi kenapa kau macam tak nak saja menziarah monument Guru Patimpus ini?” Kawanku tak puas hati dengan sikap saya itu.
“Memang elok kita mengingatinya, tapi bukan dengan cara menziarahi dan menghormati patungnya, walaupun beliau orang Islam. Kalau boleh, tentu Nabi Muhammad SAW sendiri lebih layak dipatungkan…”
Ibnu Hasyim
Masjid Raya, Medan.
Julai 08.
ibnuhasyim.com (e-mail: ibnuhasyim@gmail.com)
Lihat..
E-Buku IH-8: 'Medan-Tanjung Balai'