Wednesday, January 28, 2009

Misteri Tembuk Masjid Ulughbek, Uzbekistan..


Ibnu Hasyim: Catatan Santai

“DI ANTARA sedikit wajah Islam yang 'direstui' oleh pemerintah Uzbekistan, adalah ajaran tassawuf, atau Sufisme, yang dibawa oleh tuan guru Bahauddin Naqshband Bukhari.” Kata seorang pengembara dari Jawa Timur Indonesia Agustinus Wibowo yang sedang mengembara melalui jalan darat melintasi 5 negara Asia Tengah pada Mei tahun lepas semasa berada di Usbekistan.

Di negara majoriti penduduk Muslim ini, rupanya agama Islam menjadi hal yang sangat sensitif, katanya lagi. Kini dia sedang berada di Pakistan, belum pulang-pulang lagi sejak memulakan perjalananya dari stesyen keretapi Beijing pada 31 Julai 2005, selepas tamat belajar di Fakulti Komputer Universiti Tshinghua, Beijing, antara unversiti terkenal di China.

Saya teringat suatu hari di sebuah teksi antar kota, saya asyik membaca buku tentang pergerakan fundamentalis Islam di Lembah Ferghana, ditulis oleh seorang jurnalis dari Pakistan. Kebetulan penumpang yang duduk di sebelah saya adalah polisi (anggota polis), penasaran ingin tahu isi buku yang sejak tadi menyedot perhatian saya. Dia terloncat kaget ketika membaca nama-nama yang ‘tidak baik' (baginya), seperti Harakatul Islami Uzbekistan, Hizbut-Tahir, dan Taleqan Juma Namangani, buronan nomer satu pemerintah Tashkent yang sempat membikin ribut negara-negara Asia Tengah karena gerakan garis keras bawah tanahnya.

Dalam sekejap, polisi yang semula akrab itu berubah sikap. Setelah menanyai ini itu, dia diam seribu bahasa sepanjang perjalanan. Mungkin dia sibuk mengira-ngira apakah saya ini kawan atau ancaman nasional. Saya juga ingat betul, di kesempatan lain ketika saya melintas perbatasan Uzbekistan dari Turkmenistan, tas saya digeledah dengan teliti. Kebetulan saya membawa buku-buku pelajaran bahasa Arab dan sejarah Persia. Saya tidak tahu bahwa buku-buku bertulis huruf Arab bisa jadi masalah di sini.” Ceritanya terus.

"Kamu bawa buku agama Islam?"

Itu cuma buku pelajaran, bukan buku agama!” Dia jawab sambil menggeleng.

Keadaan jadi gawat bila padanya ada buku berjudul Taliban, tulisan jurnalis Ahmed Rashid, tentang sejarah pergerakan Taliban di Afghanistan. Setelah pemeriksaan ketat hampir satu jam, baru dia diizinkan melewatinya. Pemerintah Uzbekistan memang sangat sensitif terhadap apa-apa yang berbau 'garis keras' itu.

Kawannya juga bercerita, dulu di Lembah Ferghana, waktu zaman hebuh-hebuh gerakan Harakatul Islami dan Hizbut Tahir, cuma gara-gara berjanggut pun akan ditangkap polis. Dia disuruh berjaga-jaga supaya tidak mempamirkan photonya sedang sholat di Pasar Ferghana kerana takutkan polis. Seolah-olah salah sholat di tempat umum..

Di Tashkent yang sangat kosmopolitan pula, kisah-kisah tentang Harakatul Islami dari Ferghana yang ingin mendirikan negara Islam seperti cerita dari dunia lain saja lagaknya, tak ramai ambil tahu. Bahkan di Bukhara, yang boleh dikatakan paling Islami di antara kota-kota Uzbekistan pada umumnya, kehidupan sangat damai dan tenang, jauh dari bayang-bayang kekerasan. Pelancung-pelancung terus berdatangan, restoran-restoran baru bermunculan, dan bahkan sudah ada kelab disco bawah tanah di kota kuno Bukhara. Tidak semua Islamisasi mendapat lampu merah dari pemerintah Tashkent.

Tengok saja desa Kasri Orifon, sekitar 12 kilometer dari Bukhara, yang kini menjadi salah satu tempat berziarah terpenting di sini. Sebuah bangunan megah berdiri, dengan arsitektur khas Parsi, gerbang dewan yang berbentuk persegi bersambung dengan tembok panjang mengelilingi bangunan utama. Di pintu masuk, sebuah prasasti berbunyi:

Bohauddin Nakshband's Architectural Complex was Re-created and Restored with Initiative of the First President of the Republic of Uzbekistan Islam Karimov, October 2003.

Presiden Islam Karimov, tak lain dan tak bukan, adalah presiden sendiri yang merasmikan bangunan peristirahatan bagi seorang tokoh Islam terpenting, Bahauddin Naqshbandi, pendiri tarekah Naqshbandiyah, tarekah sufi terbesar di Asia Tengah. Pemerintah Uzbekistan kemudian menjadikan ajaran Sufi Naqshbandi sebagai bukti pelaksanaan kebebasan beragama, sebagai teladan pelaksanaan agama Islam yang sejuk dan damai. Islam di Asia Tengah punya suasan berbeda dengan Islam di Timur Tengah.

Di sini, ajaran Sufi begitu kuat, sehingga agama berharmonisasi dengan budaya dan tradisi. Orang pun payah nak beda mana yang Islam, mana yang budaya. Seperti kata Shokir seorang tukang kasut yang pernah mengingatkannya… "Agama kami mengatakan, kalau tidur perlu pakai seluar panjang. Kalau tidak, haram hukumnya."

Memasuki pemakaman Naqshbandi, perlu langkah kaki kiri lebih dulu. Di bahagian pelantar ada batang pokok yang sudah tumbang. Kata orang, pokok ini hidup bersama-sama tuan guru dan perjalanan hidup pokok ini sama seperti perjalanan hidup Naqshbandi. Beberapa orang nenek dari desa nampak berbaris mengelilingi batang pokok yang terbujur melintang ini berlawanan arah jarum jam. Di salah satu sudutnya, batang pohon membujur sangat rendah, hampir mencapai tanah. Sehingga orang yang sedang 'berupacara' mengelilingi pohon terpaksa membongkok nyaris merayap.

Semua percaya, kelilingi batang pokok tiga kali akan membawa nasib baik, dan merupakan seremoni wajib dalam acara ziarah ke makam Naqshbandi. Sederet bangku panjang di depan bangunan penuh diduduki oleh peziarah. Laki-laki dan perempuan duduk bersama-sama, tidak dipisah. Seorang imam komat-kamit pembaca doa, peziarah bersama-sama menengadahkan tangan, dan berseru "Amin!" menutup doa. Kemudian mereka berebutan mendapatkan air penawar dengan botol kosong yang dibawa masing-masing.

Demikianlah agama sudah bercampur dengan mistik, kepercayaan, dan tradisi tempatan. Konon, itulah keunikan Islam di Asia Tengah. Lorong-lorong kota kuno Bukhara meliuk-liuk bak labirin. Warna coklat menyelimuti bangunan tua, membawa eksotisme dunia seribu satu malam. Ratusan madrasah, masjid, hamam, bazaar, semuanya berukuran fantastik, bertabur di seluruh sudut kota. Sebahagian besar sudah berubah fungsi menjadi tempat pedagang menawarkan cendera hati, atau muzium kraf tangan.

Di antara puluhan bangunan besar itu, dia terdampar di Madrasah Abdul Aziz Khan. Berhadapan dengan Madrasah Ulughbek, bangunan kuno berarsitektur Persia itu, sekarang sudah berubah fungsi menjadi toko-toko kraf tangan. Seorang ibu Tajik, yang gembira sekali berjumpa dengannya yang dari Indonesia, menghadiahkan satu kemeja tradisional Bukhara. Nipis hampir transperan, berhias sulaman-sulaman benang merah yang cantik.

"Ikut saya," ajak ibu bertubuh subur dan bergigi emas itu, "Ada suatu kejutan buat kamu!"

Dibawanya ke sebuah ruangan gelap. Ruangan ini berdinding putih, di ujungnya ada mihrab. Di sebelah kiri kanan mihrab, seperti biasanya model arsitektur masjid di sini, ada ornamen berupa lekuk-lekuk di dinding. Nampaknya macam tak ada yang istimewa. Ibu Tajik tadi menyalakan lampu suluhnya ke arah sudut dinding itu. Ajaib, dalam gelap yang disinari pancaran lampu itu lekuk-lekuk tadi berubah wujud. Sebuah wajah seram tergambar di sudut tembok itu. Lelaki berjanggut lebat dan berserban, seakan terkekeh-kekeh melihat terkejutnya dia.

"Beliau adalah Abdul Aziz Khan," Kata ibu tadi, "Pendiri madrasah ini!"

Kerana menurut mereka, Islam melarang mengambil foto makhluk bernyawa, guru yang ingin dirinya tetap dikenang, menyembunyikan fotonya dalam lekuk-lekuk di sudut tembok, adalah satu teknik khas yang hanya dapat dilihat dengan cara yang khas pula. Sebuah wajah penuh misteri tersembunyi dalam heningnya dalam kehidupan beragama di Uzbekistan ini.

Sekian, wallau aklam.

Sesiapa yang ingin melancung ke Uzbekistan, sila klik gambar di iklan sebelah ‘Universiti Kehidupan - Kembara ke Uzbekistan Bersama Ustaz Amin’.

Ibnu Hasyim, catatan santai,
Jan28, 2009. KL.

No comments:

Post a Comment