Ibnu Hasyim Catatan Santai
SUATU hari, seorang Pengembara tiba di sebuah dusun yang miskin. Penduduknya nampak lesu, wajah-wajah mereka tidak berghairah, dan anak-anak mereka pun jelas kurus kering. Rumah-rumahpun tidak terurus, reot, dan hanya berdinding bilik bambu lapuk. Si Pengembara, selain kelaparan, rambut, wajah sampai pakaiannya serba lusuh. Dari rumah ke rumah ia mampir, mengharapkan seseorang mahu memberinya makanan.
Namun, semua penduduk setempat berkata bahawa mereka sendiri juga sangat miskin dan kelaparan, sehingga jangankan memberinya makan, untuk mereka sendiri saja tidak cukup.
Setelah penat lelah berkeliling desa, si Pengembara beristirahat di sebuah pasar. Ia duduk bersandar di sebuah bilik kosong yang ditinggalkan pemiliknya. Ia memegangi perutnya yang terus keroncongan minta diisi. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sebuah batu berwarna hitam mengkilat, yang tergeletak di pinggir jalanan pasar.
Dalam sekejap matanya berbinar terang. Dengan bersemangat, ia beranjak mengambil batu itu, lalu dicarinya tempat yang strategik di tengah pasar. Entah apa yang ada di otaknya saat itu. Ia mencari sebuah gundukan tinggi, mengambil kentongan yang terdapat di Poskamling pasar, lalu memukul-mukulkan batu itu ke kentongan sambil berteriak meminta perhatian warga pasar.
Serentak orang-orang di pasar tertarik pada suara itu. Lalu berduyun-duyun mereka mendatangi tempat si Pengembara berdiri tadi.
Kerana penasaranm seorang ibu memberanikan diri bertanya kepadanya, "Apa yang kau mahu wahai Pengembara?"
"Dengarkan baik-baik. Saya punya sebuah batu ajaib!" teriaknya kepada seluruh pengunjung sambil mengacungkan batu hitam berukuran sekepalan tangan ke atas. Lalu ia melanjutkan, "Batu ajaib ini bisa membuat sup yang lezat, dan cukup untuk kita yang ada di sini!"
Warga itu pun mulai saling berpandangan. Sebahagian merasa tidak percaya, sebahagian lagi nampak ragu-ragu. Mereka mulai saling berbisik dan kasak-kusuk. Seorang bapa maju dan menanggapinya, "Ah, mana boleh? Bagaimana caranya?!"
"He he he he... Saya hanya perlu sebuah panci besar berisi air bersih!" jawab si Pengembara yakin.
Cuma beberapa saat, para warga masih belum beraksi. Mereka masih kasak-kusuk. Lalu seorang Ibu menawarkan kualinya untuk dipakai si Pengembara. Tampaknya si Ibu tertarik dengan idea si Pengembara itu. Beberapa saat kemudian datanglah kuali besar yang diangkat oleh dua orang. Berat, kerana kuali itu cukup besar, cukup untuk memandikan anak berumur dua tahun. Si Pengembara meminta mereka menempatkan kuali tersebut di tengah kerumunan orang ramai, lalu meminta orang-orang untuk agak menjauhi dari kuali itu.
Si Pengembara lalu melemparkan batu hitam mengkilat di tangannya ke dalam kuali. Terdengar suara kecipak air tertimpa batu yang dilempar si Pengembara. Si Pengembara lalu nampak serius di depan kuali sambil menyilangkan tangannya di dada. Orang-orang dusun itu menunggu dengan jantung berdebar. Semua mata tertuju pada kuali besar di tengah mereka. Mereka nampaknya menunggu keajaiban. Setelah menunggu beberapa lama, orang-orang dusun itu mulai tidak sabar.
Salah seorang bapa dengan gusar bertanya pada si Pengembara, "Mana sup yang kau janji itu?!" Aku tidak lihat apa-apa!"
Dengan tenang si Pengembara menjawab si bapa, sambil tidak mengalihkan pandangannya dari kuali besar di tengah mereka, "Itulah masalahnya. Saya sedang menunggu adanya tungku yang cukup besar untuk mulai memasaknya..."
"Oooohh..." gumam orang-orang dusun itu. "Kami akan ambilkan kayu dan batu untuk membuat tungkunya!" kata seorang bapa yang lain. Lalu beberapa orang berduyun-duyun bergerak keluar dari kerumunan, sepertinya akan mencarikan kayu bakar untuk mulai memasak sup ajaib itu.
Maka jadilah sebuah tungku besar dari batu yang disusun, cukup untuk meletakkan kuali besar yang berisi air dan batu ajaib itu. Beberapa orang dengan sigap menyalakan api, sementara si Pengembara tetap berdiri dengan tangan menyilang di depan dada. Orang-orang dusun yang lain dengan serius memperhatikan proses itu. Api menyala di tungku itu, memanaskan kuali besar di atasnya. Asap mengepul di sekitar tungku, membuat beberapa orang yang berada di dekat tungku bergeser mencari tempat lain yang nyaman. Sup batu itupun mulai mendidih, dan orang-orang dusun kembali mulai saling berbisik-bisik.
Lalu si Pengembara mencicipi sup itu dan berkata kuat-kuat, "Wuihhh, enak sup ini! Tetapi tentu saja, kalau sup batu ini dicampur dengan sedikit kubis mustahil dikalahkan rasanya." Langsung ada seseorang mendekat, agak ragu-ragu, membawa sebuah kobis yang baru ia ambil dari kebunnya. Diberikannya pada si Pengembara, yang langsung ditambahkan ke dalam kuali. "Bagus, wah bagus sekali..., dulu saya pernah buat sup batu dengan kobis, sedikit bawang putih dan bawang merah. Sampai sekarang rasa sedapnya masih terbayang..." ujarnya sambil membayangkan betapa nkmatnya sup yang dikatakan tadi.
Tanpa menunggu lama, seseorang mendekat dan membawakan beberapa bawang merah dan bawang putih untuk sup itu. Si Pengembara meminta orang itu untuk mengupas dan membersihkannya, lalu dimasukkan ke dalam kuali yang sedang bergolak. Beberapa orang lalu, ada yang mulai memperbaiki letak kayu bakar yang mulai habis. Salah seorang di antaranya mulai memberi perintah kepada yang lain untuk menyediakan kayu bakar tambahan.
Demikianlah. Kerumunan itu kini sibuk semuanya. Ada yang menjaga api di tungku agar tidak mati, ada yang silih berganti datang untuk membawakan kayu bakar, ada pula yang menyediakan berbagai rempah-rempah dan sayur yang diminta oleh si Pengembara. Semua tampak antusias menunggu mukjizat dari batu yang dibawa Pengembara itu. Sementara si Pengembara, dari tadi hanya berdiri tenang sambil mengucapkan beberapa perintah yang dituruti oleh kerumunan itu. Tangannya tetap menyilang di depan dada.
Tidak terasa, jadi juga sup yang enak sekali bagi semua orang yang ada di situ. Sayur-mayurnya sangat lengkap, begitu pula bumbu-bumbunya. Bau sedapnya tercium kemana-mana, hingga kerumunan itu pun semakin besar. Semua orang menatap ke arah si Pengembara, menunggu apa lagi yang harus mereka lakukan untuk segera menikmati sup dari batu ajaib yang dijanjikan si Pengembara. Si pengembara lalu meminta orang-orang untuk diam sebentar. Kerumunan itupun terdiam, menatap tidak sabar ke arah si Pengembara. Si Pengembara mulai bergerak.
Tangannya perlahan menyingkap tutup kuali besar itu, lalu mencicipi lagi sup batu ajaib itu. Matanya tampak terpejam sejenak, kepalanya menengadah ke atas, lalu keluarlah suara dari mulutnya memecah kebisuan di tempat itu, "Uhm.... Luar biasaaa... Ini sup tersedap yang pernah saya rasakan! Mari sama-sama kita nikmati!"
Seketika itu juga semua orang berebut mendekat ke kuali untuk merasakan sup batu ajaib itu. Kuali itu cukup besar sehingga semua orang dapat kebahagian. Wajah-wajah mereka nampak puas dengan sup batu buatan si Pengembara. Beberapa di antara mereka sambil berbincang-bincang, memuji keajaiban sup batu itu. Si Pengembara akhirnya dapat mengisi perutnya yang sudah keroncongan dari tadi. Ia nampaknya sangat lega, kerana tidak ada satupun yang sedar bahawa batu ajaib itu sebenarnya hanyalah batu biasa. Ia hanya memanfaatkan batu itu sebagai penarik perhatian. Sup sekuali besar itu, sebenarnya adalah hasil gotong royong warga dusun miskin itu sendiri...
Begitulah kisah yang di e-mailkan kepada saya dari Indonesia dengan sedikit komen, "Itukah politik Malaysia, Datuk Seri Anwar Ibrahim sebagai Pengembara menghidangkan sub batu yang ajaib itu?”
Sekian.
ibnuhasyim.com
e-mail: ibnuhasyim@ gmail.com
Mac 20, 2009. KL.
TEPAT !!!!
ReplyDeletetapi DSAI bukan pengambara yang kebuluran, begitu juga dengan batu ajaib tu tak wujud pada pandangan masyarakat, cuma menyedarkan masyarakat perubahan kehidupan politik semasa dan akan datang...
ReplyDeleteBetul. Pengembara itu bukan kebuluran makanan, tapi kebuluran politik, setelah dipecat dan dimasukkan ke penjara. Memang batu itu batu biasa, tetapi dipropagandakan macam ajaib..
ReplyDelete