Dua orang pemuda, berkulit hitam, masing-masing memegang kaki dan kepala seekor khinzir atau babi. Yang satu memegang kedua kaki belakang, dan seorang lagi, memakai kaos sebuah partai berlambang pohon beringin, memegang bahagian kepala. Mereka mengangkat babi tadi sampai setinggi kepala. Tak lama kemudian, sebuah anak panah melesat cepat dari busur seorang tetua suku. Tepat mengenai titik kematiannya. Dengan darah mengucur, babi tadi kemudian dilempar ke tanah. Beberapa babi lain menunggu ajalnya, dalam antrian. Taulog Aso, kepala suku perang Walesi, duduk mengamati sambil melinting tembakau ‘anggur kupu’”. [Teks dan Foto oleh Bernard T. Wahyu Wiryanta (The Wildlife Photographers Community)]
Ibnu Hasyim Catatan Perjalanan Di Papua
PERMUKIMAN Suku Walesi, boleh dilalui dari Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, dengan kendaraan four whell drive selama 30 ke 40 minit. Di perkampungan ini, walaupun Pemerintah sudah membuatkan ‘rumah sehat’, namun penduduknya tetap lebih suka tinggal di ‘honai’ mereka, rumah adat asli penduduk Papua. Di tengah-tengah perkampungan ini berdiri pos TNI (Tentera Nasional Indonesia), sebuah Masjid, dan Pesantren yang didirikan oleh Yayasan Pengembangan Muslim Walesi.
Ketua kampung atau kepala sukunya, Haji Aipon Aso, seorang Muslim, dan sudah pernah menginjakkan kaki ke Tanah Suci Mekah, untuk melaksanakan Rukun Islam ke lima. Hingga dikatakan Kepala Suku yang telah berpoligami dengan 23 wanita ini (informasi ini saya dapat dari porter saya, tidak tahu samada boleh dipertanggungjawabkan atau tidak) akrab disapa ‘Pak Haji’. Hari ini, seorang pemuda suku Walesi di Wamena, Kab. Jayawijaya, Papua, meninggal kerana sakit.
Walaupun hampir sebagian besar penduduk suku ini adalah Muslim, namun mereka tidak bisa meninggalkan babi dalam makanan mereka. Anggota suku minoritasnya Nasrani, dan sedikit masih animisme.Beberapa kerabat keluarga yang berduka membawa babi sebagai lambang belasungkawa untuk upacara yang disebut ‘bakar batu’. Sebuah ritual tradisional Papua untuk upacara kematian, pernikahan, perdamaian, dan menyambut tamu agung. Acara bakar batu ini, menurut saya tujuannya mirip dengan selamatan atau kenduri di Pulau Jawa.
Walaupun tujuan awalnya untuk mempersembahkan kurban dan sesajen kepada roh atau dewa, namun sekarang disertai dengan doa. Bisa dengan doa cara Islam, Kristian, atau dengan doa agama lain. Namun ada juga yang tetap dengan mengucapkan mentera ghaib purba. Saya tidak lupa ikut mengucapkan belasungkawa dengan membawa bungkusan berisi tembakau, rokok keretek, minyak goreng, garam, gula, kopi, dan ikan asin. Ini merupakan barang mewah di pedalaman. Tidak lupa, ketika mengucapkan belasungkawa saya harus berpeluk erat dan berciuman pipi dengan mereka, sebahagian perempuan bersali tanpa bra.
Saya menyesal membawa oleh-oleh ini, seharusnya saya membawa sabun mandi buat mereka. Di tempat lain, kira-kira berjarak 300 meter dari kumpulan honai ini, belasan wanita, sebahagian masih ber ‘Sali’ tanpa bra, mengumpulkan batu dari sungai kecil dan membakarnya dengan kayu besi sampai membara. Namike Yelipele, seorang penduduk Walesi kemudian mengajak saya ke pinggiran kali untuk menyaksikan tahapan upacara bakar batu. Di pinggiran kali tempat berlangsungnya acara memasak, sudah berkumpul puluhan orang. Sebahagian besar wanita, kerana mereka yang paling berperanan dalam pekerjaan ini, dan beberapa lelaki, sebahagian masih berkoteka.
Nayilog, lelaki yang masih berkoteka, terlihat melinting tembakau, setelah menggali lubang. Selanjutnya lelaki lainnya memasukkan alang-alang. Caranya dengan menghamparkan memanjang pada lubang dan ujungnya berada di luar lubang membantuk semacam keranjang. Setelah itu kemudian diisi dengan batu, dan dilapisi lagi dengan alang-alang. Diatas alang-alang kemudian dimasukkan daging babi yang sudah dipotong-potong, tanpa dikuliti. Kemudian ditutup lagi dengan rerumputan. Diatas rerumputan ini kemudian ditutup lagi dengan batu membara, dan dilapisi lagi dengan rerumputan tebal.
Setelah itu hipere (ubi jalar), disusun diatasnya. Lapisan berikutnya adalah rumput atau alang-alang yang ditimbun lagi dengan batu membara. Kemudian sayuran berupa ‘iprika’ atau daun hipere, tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya), nahampun (labu parang); dan towabug atau hopak (jagung). Belum selesai sampai disini, beberapa wanita yang kemudian saya ketahui adalah isteri Haji Aipon Aso, kepala suku adat Walesi, memasukkan potongan barugum atau buah merah. Selanjutnya lubang ini ditimbun lagi dengan rumput, batu membara, dan atasnya diikat. Selesai sudah, tinggal menunggu matang.
Beberapa kali, sejak acara pembantaian babi sampai proses bakar batu ini saya sibuk membidikkan kamera saya. Agar tidak mencolok, sengaja saya menyembunyikan kamera pro saya. Satu Nikon F5 dengan lensa 24-85 mm dan D1x dengan lensa 200-400 mm. Saya hanya menggunakan pocket digital, Coolplix 5700 yang tidak begitu mengganggu mereka. Sambil menunggu hidangan tradisional ini matang, saya beekeliling untuk merekam landscape perkampungan ini. Hanya sekitar 90 minit saja, ketika kemudian Namike, berteriak, memanggil saya. Sudah matang rupanya.
Ketika saya mendekat, beberapa wanita yang bertugas sebagai koki sedang membongkar rumput penutup lubang bakar batu. Ketika, rumput terbuka, wap pun membumbung tinggi menyebarkan aroma daging babi dan ubi serta sayuran lain. Bahan makanan yang sudah matang sempurna tadi kemudian dikeluarkan satu persatu, dan dihamparkan diatas rerumputan.Namike melemparkan sebongkah ubi besar kepada saya. Masih panas, saya coba nikmati hipere ini. Sangat manis, pulen, dan berserat lembut. Dagingnya pun kering, tidak basah seperti kalau direbus, dan dari rasanya, saya berani bertaruh kadar gulanya lebih tinggi dari ubi cilembu yang terkenal.
Selain saya, pria-pria lain yang sudah lama menunggu, kemudian mulai mendahului menyantap jagung muda dan ubi. Sebagai pembuka. Sementara para koki meneruskan pekerjaannya. Setelah semua komponen bakar batu berhasil dikeluarkan, kemudian salah seorang isteri Haji Aipon Aso mengambil buah merah yang sudah matang. Buah merah tadi kemudian diremas-remas sampai keluar pastanya. Pasta dari buah merah yang lebih mirip saos kental tadi kemudian dituangkan diatas daging babi dan sayuran.
Garam ditaburkan, dan saya lihat seorang perempuan membuka penyedap rasa dan menaburkannya diatas hidangan. Selesai dibumbui, maka semua penduduk pun berkerumun mengelilingi hidangan ini. Pertama kali, Taulog Aso tentunya yang mendapat jatah berupa ubi dan sebongkah daging babi. Selanjutnya semua mendapat jatah yang dibahagikan oleh para wanita. Saya hanya mengambil ubi dan jagung saja, daging babi saya abaikan. Maka penduduk pun mulai menyantap hasil upacara bakar batu. Hipere, nahampun dan hopak sebagai menu pokoknya.
Daging babi tentu saja sebagai lauk, dan iprika, tirubug, dan kopae sebagai salad, dengan siraman pasta barugum sebagai sauce nya. Hanomotok, uenak tenan! Sementara kami menyantap hidangan, keluarga yang berkabung masih menunggu jasad Lazarus yang sudah meninggal. Di Masjid, di dekat pos TNI berkumandang adzan, memanggil penduduk Walesi untuk solat asar. Hanya guru-guru pesantren dan tentara dari Jawa yang mengambil air wudu dan melaksanakan solat. Penduduk Muslim suku ini sedang berpesta daging babi, hasil upacara bakar batu.
Oleh
Bernard T. Wahyu Wiryanta
Apr 30, '08 Indonesia.
Disalin dan diedit semula oleh Ibnu Hasyim.
1 comment:
Ramai di kalangan Orang Asli di negeri Perak yang menganuti agama Kristian seolah-olah dakwah Islamiyyah tidak sampai di kawasan petempatan orang asli.
Setiap kerajaan negeri yang beraja melalui Sultan (ketua agama Islam) dan Mufti (penasihat agama) sepatutnya mengambil langkah yang lebih pro-aktif dalam penyebaran agama Islam di negeri masing-masing.
Pada zaman dahulu para mubaligh dari Hadramaut dan Batu Bara terpaksa mengharungi lautan untuk berdakwah. Para sultan juga berdakwah menyeru rakyatnya memeluk Islam. Zaman sekarang boleh dikatakan jalinan jalanraya telah lengkap di Malaysia dan untuk sampai ke pedalaman bukannya masalah yang besar.
Pengembangan ajaran Kristian begitu aktif sekarang ini di bandar dan pedalaman. Mereka mendapat sokongan kewangan yang mencukupi dari pihak gereja. Di bandar, mereka menyampaikan agama mereka dari rumah ke rumah.
Usaha PERKIM berdakwah di perkampungan orang asli memang amat mulia di sisi Tuhan. Alangkah baiknya jika bajet yang mencukupi dari kerajaan dapat disalurkan kepada PERKIM agar mesjid-mesjid dapat dibina di petempatan orang asli dan usaha-usaha dakwah dapat dilakukan setiap bulan dan bukannya setahun sekali.
Persoalan pokoknya sekarang ialah adakah Malaysia ini benar negara Islam yang mendukung agama Islam sejajar dengan penarafan Islam sebagai agama resmi?
Post a Comment