Tuesday, September 15, 2009

Perkembangan Baru Di Aceh: Penzina Dihukum 'Rajam'.

FOKUS unjuk rasa di depan gedung DPR Aceh: Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Komunikasi Syariat (FOKUS), melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR Aceh, Banda Aceh, Senin (14/9). SERAMBI/BUDI FATRIA

DPRA Sahkan Raqan Jinayat
: Penzina Dihukum Mati
Pengesahan di Tengah Aksi Pro-kontra


BANDA ACEH - DPRA akhirnya mensahkan Rancangan Qanun (Raqan) Jinayat dan Hukum Acara Jinayat, termasuk empat raqan lainnya, menjadi qanun di tengah aksi pro-kontra. Salah satu isi Qanun Jinayat adalah pelaku zina (penzina) dengan status sudah menikah, akan dikenai hukuman rajam sampai mati.

Sedangkan empat raqan lain yang turut disahkan menjadi qanun, dalam Sidang Paripurna DPRA, kemarin, masing-masing adalah Raqan Wali Nanggroe, Raqan Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan, dan Raqan Penanaman Modal untuk menjadi qanun. Sidang dibuka pukul 09.30 WIB oleh Wakil Ketua DPRA, Tgk Zainal Abidin, yang dihadiri Ketua DPRA Sayed Fuad Zakaria, 40 anggota DPRA, Wagub Muhammad Nazar, dan sejumlah pejabat eksekutif, serta para undangan lainnya dari berbagai unsur elemen masyarakat Aceh.

Pengesahan Qanun Jinayat yang didasarkan pada Alquran dan Hadis itu, dilakukan dalam Sidang Paripurna DPRA yang berlangsung Senin (14/9) kemarin, setelah mendapat persetujuan dari semua fraksi DPRA. “Qanun-qanun yang disahkan hari ini (kemarin-red), termasuk Qanun Jinayat, telah melalui proses pembahasan panjang yang memakan waktu lebih dari satu tahun,” kata Sekretaris Pansus DPRA, Bustanul Arifin.

Dijelaskannya, draf raqan hukum Islam itu diajukan oleh pihak eksekutif lebih dari satu tahun lalu. Sebelum diajukan ke DPRA, draf tersebut sudah lebih dulu dibahas oleh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, yang dinilai cukup kapabel membahas persoalan-persoalan terkait hukum Islam. “Nah, sampai di Dewan dibahas lagi dan baru sekarang disahkan menjadi qanun,” kata Bustanul Arifin.

Dia menyebutkan, salah satu contoh qanun itu mengenai saksi tegas terhadap pelaku zina. Sesuai Pasal 24 ayat (1) tentang zina, bagi laki-laki dan perempuan sama-sama sudah menikah, tetapi terbukti berzina, maka masing-masing dirajam di tempat umum hingga meninggal dunia. “Sedangkan pasangan pria dan wanita belum pernah menikah, tetapi terbukti berzina, maka akan dikenai hukuman cambuk masing-masing 100 kali,” ujarnya.

Bustanul menambahkan bahwa terhadap kedua kasus ini, tentunya tidak asal hukum saja, tapi harus melalui proses hukum di Mahkamah Syar’iyah. Bahkan, sesuai ketentuan syar’i yang telah digariskan Alquran dan Hadist, hukuman itu bisa ditetapkan jika ada empat saksi yang melihat dan sanggup mempertanggungjawabkan keterangannya dibawah sumpah. “Jadi, tidak asal hukum saja,” tambahnya.

Di samping itu, kata Bustanul Arifin, jika saksi terbukti memberi keterangan palsu atas dakwaan zina terhadap laki-laki dan perempuan yang sudah pernah menikah, maka saksi itu yang justru dikenakan hukuman cambuk 100 kali. “Sedangkan jika keterangan palsu ditujukan terhadap dakwaan pria dan wanita berzina, tetapi belum pernah menikah, maka saksi itu akan dicambuk 60 kali,” pungkasnya.

Penolakan keras

Persetujuan parlemen Aceh itu berlangsung di tengah penolakan keras dari pekerja HAM dan Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar. Dia menyatakan dewan harus mempertimbangkan qanun itu secara hati-hati karena memaksakan sebuah hukuman baru, terdakwa dilempar batu sampai mati. Nazar mengatakan walaupun kantornya menolak hukuman pelemparan batu sampai mati, tetapi tidak punya hak untuk membloknya. “Apapun bentuk hukum yang telah disetujui DPRA, kami harus menerapkannya,” ujarnya.

Sebelumnya, Ketua DPRA, Sayed Fuad Zakaria sempat menanyakan kepada 69 anggota dewan, apakah raqan itu bisa disetujui dan mereka menjawab secara serentak: “Ya, bisa.” Beberapa anggota dewan yang lebih moderat, khususnya dari Partai Demokrat menyuarakan abstain, tetapi tidak ada yang menentang hukuman itu. Qanun itu yang akan membuat Aceh menerapkan syariat Islam lebih ketat berlaku efektif dalam 30 hari mendatang sejak disetujui. Pelolosan Raqan Jinayat itu juga hanya dua pekan sebelum anggota DPRA baru dilantik yang dipimpin Partai Aceh, hasil pemilihan umum lalu.

Aceh, tempat agama Islam pertama tiba di Indonesia dari Arab Saudi beberapa abad lalu, mulai menikmati otonomis khusus dari pemerintah pusat. Berakhirnya pemberontakan pada 2005 seusai diterjang tsunami, 26 Desember 2004 yang menewaskan lebih dari 130.000 orang, membuat Aceh lebih damai. Sedangkan hukum Islam atau Syariah telah diberlakukan sejak 2001 lalu, melarang judi, minuman beralkohol dan wanita wajib berjilbab. Puluhan hukuman cambuk di depan publik telah dilaksanakan oleh polisi Syariah terhadap pelanggar hukum itu.

Raqan baru itu juga menjatuhkan hukuman berat dan denda bagi pemerkosa serta pedofile (pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur). Tetapi, sebagian besar kasus terjadi pada khalwat dan pelaku zina dari orang yang sudah menikah, minimal dicambuk 100 kali dan maksimum, pelemparan batu sampai mati. “Pelemparan batu merupakan hukuman terberat dalam syariat Islam,” jelas Bahrom Rasjid, salah seorang perencana raqan dan anggota dewan dari PBB. Sedangkan para kaum homoseksual dapat dihukum cambuk di depan umum dan dihukum delapan tahun penjara lebih.

Sementara itu, hukuman pelemparan batu sampai mati di lapangan terbuka bagi para pelaku zina kerap dilaksanakan di negeri Republik Islam Iran. Hukuman itu bukan hanya bagi para pelaku yang sudah menikah, tetapi juga di luar nikah. Para pria biasanya dikubur sampai leher dan wanitanya sampai dada, kemudian dilempari batu secara beramai-ramai sampai tewas bersimbah darah.

Pro

Sebelumnya, pagi kemarin saat perwakilan fraksi menyampaikan pandangan akhir terhadap kelima raqan itu, di luar Gedung DPRA dua kelompok masyarakat yang pro dan kontra terhadap pengesahan Raqan Jinayat dan Hukum Acara Jinayat menyampaikan pandangan masing-masing terhadap kedua raqan itu dalam waktu hampir bersamaan. Awalnya, sekira pukul 09.00 WIB, puluhan massa mengatasnamakan Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah (JMSPS) mendatangi Gedung DPRA. Mereka meminta kedua raqan itu dirumuskan kembali untuk disahkan menjadi qanun. Alasannya, sejak draf kedua raqan itu dirumuskan eksekutif dan selanjutnya dibahas legislatif, kelompok sipil tidak dilibatkan.

“Raqan itu lahir lebih pada menitikberatkan semangat menghukum secara kejam pada masyarakat lemah. Bukan membangun aspek pendidikan dan keadilan. Dengan rumusan seperti sekarang ini, Raqan Jinayat bukanlah jawaban bagi kebutuhan masyarakat Aceh. tetapi sebaliknya berpotensi menciptakan konflik, karena pemahaman penerapannya masih banyak multitafsir,” kata juru bicara (JMSPS), Azriana kepada para wartawan.

Lebih lanjut, Azriana mengatakan dari sisi perundang-undangan, muatan Raqan Jinayah bertentangan dengan semangat penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia sesuai UUD 1945 dan UU Pemerintah Aceh. Karena itu, JMSPS menyampaikan tiga tuntutan kepada pemerintah Aceh, baik eksekutif, maupun legeslatif. Tuntutan itu adalah, pertama, menunda pengesahan Raqan Jinayat dan Hukum Acara Jinayat. Kedua, merumus ulang Qanun Jinayat sesuai nilai-nilai universal Islam dan Hak Asasi Manusia, serta memastikan harmonisasi dengan berbagai peraturan perundang-undangan.

Sedangkan ketiga, menciptakan situasi yang kondusif bagi keterlibatan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), intelektual dari perguruan tinggi, seperti Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, penegak hukum, praktisi hukum, serta masyarakat sipil, termasuk kelompok perempuan. Tidak seorang pun anggota DPRA yang menerima kedatangan dan tuntutan JMSPS yang mewakili 19 lembaga di Banda Aceh, seperti Koalisi NGO HAM, Kontras Aceh, dan LBH Aceh. Dari puluhan anggota JMSPS ini, empat orang di antaranya waria. Sesaat kelompok JMSPS ini meninggalkan Gedung DPRA, puluhan mahasiswa dan warga yang tergabung Forum Mahasiswa Untuk Syariat tiba di Gedung DPRA. Mereka, bahkan mendesak DPRA segera mensahkan kedua raqan itu menjadi qanun.

Tidak masalah

Ketua Mahkamah Konsitusi (MK), Mahfud MD yang ditanyai wartawan usai menghadiri buka puasa bersama di kediamaan resmi Wakil Gubernur Aceh, Senin (14/9) mengatakan, pemberlakukan syariat Islam di Aceh tidak masalah dan tidak dilarang oleh undang-undang. “Kan Aceh punya UUPA sebagai undang-undang like spesial, silakan saja memberlakukan syariat Islam di sini,” katanya.

Namun yang terpenting harus ada singkronisasi dengan ketentuan lainnya yang lebih tinggi. Artinya nanti ketika ada pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung tidak terjadi benturan dengan ketentuan yang ada lainnya. “Saya kira itu saja yang harus dilakukan singkronisasi,” demikian Mahfud. Kunjungan Mahfud ke Aceh akan melakukan serangkain kegiatan diantaranya, peluncuran buku hikayat UUD 1945 yang telah diamanden yang dijadwlkan berlangsung, Selasa (15/9) hari ini di Anjong Mon Mata, termasuk akan mengunjungi Mabes Harian Serambi Indonesia.(sal/her/muh/sup)

Ringkasan Hukuman bagi Pelanggar Qanun Jinayat

· Zina: Seseorang yang terbukti melakukan zina diancam dengan 100 kali cambuk bagi pasangan belum menikah dan pelemparan batu sampai mati bagi pelaku yang sudah menikah.

· Homoseksual: Seseorang yang berprilaku homoseksual atau lesbian, minimal diancam dengan 100 kali cambuk dan maksimum 1.000 gram emas atau penjara 100 bulan.

· Pedofile: Seseorang yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak diancam sampai 200 kali cambuk dan denda sampai 2.000 gram emas atau maksimum 200 bulan penjara.

· Pemerkosa: Seseorang yang melakukan pemerkosaan diancam dengan sedikitnya 100 kali cambuk dan maksimal 300 kali cambuk atau penjara dari 100 bulan sampai 200 bulan.

(Sumber: m.serambinews.com )

Selasa, 15 September 2009

Ketua MK: Qanun Jinayah Harus Singkron Dengan Undang-Undang

Banda Aceh – Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD menyebutkan, pemerintah pusat tidak mempermasalahkan Qanun Jinayah di Aceh karena hal tersebut merupakan keputusan Undang-undang, namun Mahfud menyebutkan aturan daerah itu harus disingkronkan dengan Undang-undang.

“Mahkamah Konstitusi (MK) tidak mempermasalahkan penerapan Qanun tentang Jinayah di Aceh, karena hal tersebut hak mutlak provinsi Aceh, namun Qanun tersebut harus disingkronkan kembali dengan Undang-undang sehingga tidak terjadi masalah dikemudian hari,” sebut Mahfud setelah selesai melaksanakan buka puasa bersama dengan Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar dan ulama Aceh di Pendopo Wakil Gubernur yang terletak di Blang Padang Banda Aceh, Senin (14/9).

Menurut Mahfud, UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Aceh, Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh telah memberikan wewenang kepada provinsi Aceh untuk membuatkan beberapa aturan termasuk aturan tentang hukum Jinayah, namun aturan tersebut tetap harus disesuaikan dengan aturan yang ada di pusat.

Mahfud mencontohkan, salah satu hal yang harus disingkronkan antara Qanun Jinayah dengan aturan pusat adalah tentang Kasasi dalam kasus yang berhubungan dengan Qanun Jinayah, “Kasasi disampaikan kepada Pemerintah Pusat melalui Mahkamah Agung, jika hal tersebut tidak disingkronkan maka akan kacau,” ujar Mahfud.

Sebelum dilaksanakan buka puasa bersama antara Ketua MK dengan Wakil Gubernur Aceh dan Ulama Acceh, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah mengesahkan Rancangan Qanun Hukum Jinayat dan Rancangan Qanun Acara Jinayat menjadi qanun, Qanun Jinayat yang disahkan secara aklamasi tersebut tetap memasukkan hukuman rajam bagi pelaku zina yang telah menikah.

Sementara itu pihak eksekutif yang diwakili oleh Wakil Gubernur Aceh dan Fraksi Partai Demokrat menolak tetap menolak klausul tersebut. Qanun Hukum Jinayat ini disahkan bersamaan dengan Qanun Acara Jinayat, Qanun Penanaman Modal, Qanun Wali Nanggroe, dan Qanun Perlindungan Perempuan.
(Sumber: Junaidi | The Globe Journal)

No comments:

Post a Comment