HUKUM Jihad memang terbagi dua, iaitu Fardu Ain dan Fardu Kifayah. Menurut Ibnul Musayyab hukum Jihad adalah Fardu Ain sedangkan menurut Jumhur Ulama hukumnya Fardu Kifayah yang dalam keadaan tertentu akan berubah menjadi Fardu Ain.
Fardu Kifayah, bagaimana?
Yang dimaksud hukum Jihad fardu kifayah, menurut jumhur ulama iaitu memerangi orang-orang kafir yang berada di negeri-negeri mereka. Makna hukum Jihad fardu kifayah ialah, jika sebahagian kaum Muslimin dalam kadar dan persediaan yang memadai, telah mengambil tanggung-jawab melaksananya, maka kewajiban itu terbebas dari seluruh kaum Muslimin. Tetapi sebaliknya jika tidak ada yang melaksananya, maka kewajiban itu tetap dan tidak gugur, dan kaum Muslimin semuanya berdosa. Makna mudahnya, kalau sorang buat yang lain dah tak payah!
“Tidaklah sama keadaan orang-orang yang duduk (tidak turut berperang) dari kalangan orang-orang yang beriman selain daripada orang-orang yang ada keuzuran dengan orang-orang yang berjihad dijalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang tinggal duduk (tidak turut berperang kerana uzur) dengan kelebihan satu darjat. Dan tiap-tiap satu (dari dua golongan itu) Allah menjanjikan dengan balasan yang baik (Syurga), dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang tinggal duduk (tidak turut berperang dan tidak ada uzur) dengan pahala yang amat besar.” (QS An-Nisa 95)
Ayat diatas menunjukan bahawa Jihad adalah fardu kifayah, maka orang yang duduk tidak berjihad tidak berdosa sementara yang lain sedang berjihad. Ketetapan ini wujud jika orang yang melaksanakan jihad sudah memadai (cukup) sedangkan jika yang melaksanakan jihad belum memadai (cukup) maka orang-orang yang tidak turut berjihad itu berdosa. Dan jihad ini diwajibkan kepada laki-laki yang baligh, berakal, sehat badannya dan mampu melaksanakan jihad. Dan ia tidak diwajibkan atas: anak-anak, hamba sahaya, perempuan, orang pincang, orang lumpuh, orang buta, orang kudung, dan orang sakit.
“Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab yang pedih.” (QS Al-Fath 17)
“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS At-Taubah 91)
“Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka kendaraan, lalu kamu berkata: “Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu.” lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata kerana kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan.” (QS At-Taubah 92)
“Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka itu orang-orang kaya. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (QS At-Taubah 93)
Ibnu Qudamah mengatakan: “Jihad dilaksanakan sekurang-kurangnya satu kali setiap tahun. Maka ia wajib dilaksanakan pada setiap tahun kecuali uzur. Dan jika keperluan jihad menuntut untuk dilaksanakan lebih dari satu kali pada setiap tahun, maka jihad wajib dilaksanakan kerana fardu kifayah. Maka jihad wajib dilaksanakan selama diperlukan.”
Imam Syafi’i mengatakan : “Jika tidak dalam keadaan darurat dan tidak ada uzur, perang tidak boleh diakhirkan hingga satu tahun.”
Al-Qurtubi mengatakan: “Imam wajib mengirimkan pasukan untuk menyerbu musuh satu kali pada setiap tahun, apakah ia sendiri atau orang yang ia percayai pergi bersama mereka untuk mengajak dan menganjurkan musuh untuk masuk Islam, menolak gangguan mereka dan menzahirkan Dienullah sehingga mereka masuk Islam atau menyerahkan jizyah.”
Abu Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini, yang terkenal dengan panggilan Imamul Haramain mengatakan : “Jihad adalah dakwah yang bersifat memaksa, jihad wajib dilaksanakan menurut kemampuan sehingga tidak tersisa kecuali Muslim atau Musalim, dengan tidak ditentukan harus satu kali didalam setahun, dan juga tidak dinafikan sekiranya memungkinkan lebih dari satu kali. Dan apa yang dikatakan oleh para Fukaha (sekurang-kurangnya satu kali pada setiap tahun, mereka bertitik tolak dari kebiasaan bahawa harta dan pribadi(jiwa) tidak mudah untuk mempersiapkan pasukan yang memadai lebih dari satu kali dalam setahun.”
Perlu kita fahami bahawa praktek jihad yang hukumnya fardu kifayah ini adalah jihad yang secara langsung berhadapan memerangi orang-orang kafir, sedangkan jihad yang tidak secara langsung berhadapan dengan orang-orang kafir hukumnya fardu ain.
Sulaiman bin Fahd Al-Audah mengatakan, “Ibnu Hajar telah memberikan isyarat tentang kewajiban Jihad dengan makna yang lebih umum, sebagai fardu ain, maka beliau mengatakan : “Dan juga ditetapkan bahwa jenis jihad terhadap orang kafir itu fardu a’in atas setiap muslim : baik dengan tangannya, lisannya, hartanya ataupun dengan hatinya.”
Hadist-hadist yang menerangkan bahawa hukum jihad dalam makna yang umum (dengan tangan, harta atau hati) itu jihad fardu ain, antara lain:
“Barangsiapa yang mati sedangkan ia tidak berperang, dan tidak tergerak hatinya untuk berperang, maka dia mati diatas satu cabang kemunafikan.” (HR Muslim, Abu Daud, Nasai, Ahmad, Abu Awanah dan Baihaqi)
“Sesiapa yang tidak berperang atau tidak membantu persiapan orang yang berperang, atau tidak menjaga keluarga orang yang berperang dengan baik, niscaya Allah timpakan kepadanya kegoncangan.” Yazid bin Abdu Rabbihi berkata : “Didalam hadist yang diriwayatkan ada perkataan “sebelum hari qiamat.” (HR Abu Daud, Ibnu Majah, Darimi, Tabrani, Baihaqi dan Ibnu Asakir)
Dari dua hadist di atas memberitahu kita bahawa orang yang tidak berjihad, tidak membantu orang berjihad dan tidak tergerak hatinya untuk berjihad diancam dengan ancaman kematian pada satu cabang kemunafikan dan mendapat goncangan sebelum hari kiamat. Jadi orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk pergi berperang secara langsung mengahadapi orang-orang kafir, mereka hendaklah tergerak hatinya untuk berperang seperti halnya orang yang lemah dan orang yang sakit.
Sekiranya hukum jihad secara langsung berhadapan dengan orang-orang kafir sudah berubah dari fardu kifayah menjadi fardu ain, maka tidak ada yang dikecualikan lagi, siapapun perlu pergi berperang dengan apa dan cara apapun yang dapat dilakukan.
Insya Allah, lepas ini kita akan bahas mengenai Jihad yang fardu ain pula!
Wassalam dari Ibnu Hasyim.