M. FACHR pada Isnin 04 Oktober 2010, menulis dibawah tajuk 'Perampokan Untuk Jihad: Antara Pandangan Al Qaeda dan Aksi Para Pengagumnya Di Indonesia'. Inilah tulisannya...
Aksi merampok untuk jihad, alias menjadikan harta hasil rampokan sebagai harta fa'i, belakangan ini ramai diperbincangkan. Tidak hanya aparat keamanan yang ikut sibuk membahas dan menerangkan istilah fa'i, berbagai kalangan dan aktivis harakah Islam juga urun rembuk membahasnya. Ada yang pro ada yang kontra. Berikut artikel yang membahas harta fa'i perspektif Al Qaeda dan para pendukungnya.
Kita telah sama-sama mendengar adanya informasi dari media-media fasik nan kufur bahwa telah terjadi perampokan dengan motif mencari dana untuk membiayai aksi teror (jihad). Opini sengaja dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadikan citra buruk bagi para Mujahid. Pada kesempatan ini kita akan membahas bagaimana kedudukan merampok (mengambil fa'i) untuk membiayai jihad dengan asumsi jika benar pelaku perampokkan adalah Mujahidin yang ingin mengikuti jejak Tanzhim Qoidatul Jihad (Al Qaeda) dalam melancarkan aksi jihad.
Sebelum kita membahas asumsi bahwa pelakunya adalah Mujahidin, tidak ada salahnya kita menengok sejenak teori konspirasi dalam kasus ini, mengingat masih hangat perbincangan seputar rangkaian kasus Aceh yang sarat dengan konspirasi bersamaan munculnya sosok kontroversial Sofyan Tsauri. Untuk kasus perampokan ini ada beberapa analisa diantaranya,
SATU: Kasus tersebut adalah buatan aparat pemerintah dalam hal ini gabungan TNI/POLRI dengan institusi nasional antiteror yang dipimpin Ansyad Embay, kepentingan mereka membuat kasus ini adalah untuk membentuk opini sedemikian rupa di masyarakat akan bahayanya para "teroris" yang semakin hari semakin menjadi.. padahal Densus 88 sudah bekerja keras menangkapi bahkan membunuhi mereka yang diduga "teroris" sampai yang tidak jelas identitasnya pun dibunuh (seperti dua orang korban penembakan cawang)..
sehingga mereka mempunyai alasan kuat dan berharap dukungan masyarakat yang telah dibuat ketakutan oleh mereka untuk kembali memberlakukan sejenis UU subversi seperti pada masa Orba.. namun itu khusus berlaku bagi gerakan Islam yang berpotensi memusuhi negara sementara gerakan ideologi lain seperti komunis tidak perlu diberlakukan UU tersebut.. karena faktanya aktivis-aktivis berpaham komunis dibiarkan berkeliaran menyebarkan pahamnya di kampus maupun masyarakat dengan kedok LSM-LSM sosial.
Hal ini terlihat melalui statement-statement Ansyad Embay sebagai komandan antiteror nasional yang provokatif mengarahkan untuk kembali memberlakukan UU sejenis subversi pada masa Orba dimulai dengan mengawasi masjid-masjid yang dianggap tempat perekrutan para "teroris", disamping itu TVone sebagai "TV Polisi" juga tidak kalah membentuk opini serupa dengan mewawancara Sudomo mantan Pangkopkamtib pada masa Orba dalam rangka membeberkan "kesuksesannya" menjaga keamanan NKRI.
DUA: Kasus itu adalah buatan TNI karena merasa dianaktirikan dalam upaya penanggulangan teror di Indonesia, sementara POLRI bagaikan pahlawan terdepan dalam memerangi terorisme, tentu juga ditambah dengan dana jutaan dolar yang didapat POLRI dari AS dan sekutunya. Hal ini menyebabkan TNI perlu membentuk opini bahwa POLRI belum cukup untuk menanggulangi teror dengan membuat kasus tersebut sehingga kelak TNI akan dilibatkan.
Benang merah bisa kita lihat dengan digelarnya latihan gabungan antiteror Kopassus dengan pasukan elit Australia di Bali baru-baru ini. Perlu juga diingat bahwa dua institusi ini (TNI/POLRI) memiliki track record seperti Tom & Jerry yang sampai hari ini belum ada kata damai permanen diantara keduanya.
Tiga: Kasus ini buatan POLRI sendiri dalam rangka memelihara sosok mengerikan yang bernama teroris agar proyek POLRI ini terus mendapat kucuran dana dari AS dan sekutunya, salah satu yang menguatkan analisa ini adalah POLRI dalam waktu singkat langsung memiliki foto dengan gambar yang cukup fokus sangat tidak mungkin hanya diambil dari CCTV karena gambarnya cukup jernih dan dari beberapa sisi dengan asumsi jarak pengambilan foto lebih kurang 15-20 meter dari lokasi kejadian, siapa yang mengambil foto dengan sangat bagus itu? Bisa jadi itu adalah adegan narsis-nya polisi yang berlagak sebagai perampok minta difoto oleh temannya sendiri.
Tiga analisa diatas cukup mewakili para penganut madzhab konspirasi disamping banyak analisa-analisa lain seputar kasus ini. Namun tidak adil selalu memandang kasus dari kacamata ini karena seakan menunjukkan bahwa kita mengakui bola pertarungan selalu berada di tangan musuh yang membuat mereka bebas memainkannya. Sekarang kita kembali kepada asumsi awal yaitu jika pelakunya adalah Mujahidin.
Akar Pemahaman Munculnya Aksi Perampokan (Mengambil Fa'i)
Dari beberapa kasus amaliyah jihadiyah di negri ini, mulai pengeboman, pelatihan militer sampai perampokan dalam rangka mengambil fa'i selalu memunculkan dikotomi awal yaitu yang memandang negara ini adalah daerah konflik (daerah dimana ada batasan jelas antara siapa kawan siapa lawan) dan daerah nonkonflik. Mereka yang gencar melakasanakan amaliyah jihadiyah mengatakan bahwa Indonesia adalah daerah konflik mengacu kepada ijtihad perang global yang dilancarkan Al Qaeda karenanya wajib melaksanakan amaliyah jihadiyah mengingat pula hukum jihad telah menjadi fardhu'ain hari ini.
Pihak yang berpendapat Indonesia bukan daerah konflik mengatakan bahwa Indonesia belum saatnya melaksanakan amaliyah jihadiyah dengan mengamati realitas situasi dan kondisi Indonesia tanpa menolak adanya fatwa Al Qaeda dan konsep umum bahwa jihad telah menjadi fardhu'ain dengan dijajahnya negri-negri kaum Muslimin oleh kaum kuffar berikut antek-anteknya dari penguasa lokal. Titik masalahnya adalah hanya persoalan waktu dan kondisi yang tepat serta terukur untuk medeklarasikan jihad melawan thaghut internasional maupun thaghut nasional dalam rangka Iqomatuddin.
Ketika terjadi perbedaan ini maka konsekuensi berikutnya dalam memandang suatu hukum terkait persoalan jihad pun akan berbeda termasuk mengambil fa'i. Bagi mereka yang memandang Indonesia termasuk daerah konflik maka jelas mengambil fa'i tidak diragukan kehalalannya, sementara bagi yang memandang Indonesia bukan daerah konflik maka mengambil fa'i perlu ditinjau ulang (walaupun pengambilan fa'i tidak disyaratkan harus dalam kondisi terjadinya perang) mengingat di Indonesia terdapat kemungkinan tercampurnya harta orang mukmin dan orang kafir di lembaga-lembaga usaha seperti Bank dan lain-lain...
kemudian fakta di Indonesia masih terus berjalan proses tarbiyah kepada umat dalam mengenalkan Islam yang kaffah setelah umat dibuat apriori selama 32 tahun tentang wacana syari'at Islam, tentunya pada tahapan ini kita perlu mempertimbangkan mudharat yang dapat menggangu proses tarbiyah ini dengan munculnya aksi pengambilan fa'i dimana umat Islam masih banyak yang belum memahami persoalan fa'i.. kemudian akhirnya musuh Islam pun dapat celah untuk melakukan pembunuhan karakter terhadap gerakan Islam.. konsekuensinya proses tarbiyah semakin berat dengan bertambahnya syubhat besar di tengah umat.
Halalnya Mengambil Fa'i Dalam Islam
Fa'i secara bahasa mengandung makna mengembalikan atau mengumpulkan. Secara syar'i bermakna segala apa yang dirampas dari orang kafir tanpa melalui perang seperti harta yang ditinggal lari oleh orang kafir karena ketakutan, termasuk harta ahli dzimmah yang tidak memiiliki ahli waris. (Al Jihadu Sabiluna, Abdul Baqi' Ramdhun)
Dalam konteks ini maka harta orang kafir diluar kafir dizimmi (kafir yang tunduk kepada pemerintah Islam dan membayar jizyah), kafir musta'man (kafir yang dapat jaminan keamanan), kafir mu'ahad (kafir yang terikat perjanjian dengan kaum Muslimin) menjadi halal untuk diambil sebagai fa'i dengan tetap memperhatikan batasan-batasan syar'i (disini tidak cukup untuk membahasnya lebih detail)
Diantara dalilnya adalah,
وَمَا أَفَاء اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْهُمْ فَمَا أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهُ عَلَى مَن يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
مَّا أَفَاء اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاء مِنكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
"Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada RasulNya terhadap apa saja yang dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya"
( Al Hasyr 6 -7)
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa alokasi fa'i adalah untuk kemashlahatan kaum Muslimin termasuk di dalamnya jihad yang merupakan sarana untuk memperoleh kemashlahat kaum Muslimin dari rongrongan musuh-musuhnya.Tentunya berdasarkan konteks ini pertimbangan mashlahat dan mudharat menjadi penting untuk diperhatikan.
Diantara Dalil Para Mujahidin Lokal Dalam Melancarkan Perampokan
Dalil yang cukup kuat sebagai dasar oleh Mujahidin (sekali lagi kalau benar pelakunya mereka) dalam melakukan aksi perampokkan adalah kisah Abu Basyir dan Abu Jandal serta tim mereka Radhiallahu'anhum Ajma'in, ketika mereka tidak dapat memasuki Madinah pasca perjanjian Hudaibiyah mereka akhirnya membuat camp di dekat pantai, kemudian setiap orang yang lari dari Mekkah bergabung dengan mereka dengan sebab tidak dapat masuk Madinah.
Selama mereka mendiami tempat itu tidak ada satu pun orang musyrikin Quraisy yang melewati tempat itu melainkan mereka bunuh dan rampas hartanya, hingga kemudian Rasulullah Shalallahu'alaihi Wasallam mengizinkan mereka masuk Madinah atas keluhan orang musyrik Quraisy karena keamanan mereka terancam. (Shahih Bukhari I/378-381, Shahih Muslim II/140,105-106, Sirah Ibnu Hisyam II/308-322, Zadul Ma'ad II/122-127)
Dalam Kisah tersebut bukan berarti dihalalkan mengingkari perjanjian dengan orang kafir karena Rasulullah Shalallahu'alaihi Wasallam tetap tidak mengizinkan Abu Basyir Radhiallahu'anhu di Madinah, dengan mengatakan "Celaka, ia bisa menjadi pemicu peperangan bila mempunyai satu teman lagi" ketika salah seorang Quraisy yang menangkap Abu Basyir mengadu kepada Nabi Shalallahu'alaihi Wasallam karena temannya telah dibunuh oleh Abu Basyir, maka Abu Basyir Radhiallahu'anhu sadar bahwa Nabi Shalallahu'alaihi Wasallam tetap tidak mengizinkannya masuk Madinah dengan kalimat tersebut, dengan kata lain Abu Basyir diluar tanggung jawab Nabi Shalallahu'alaihi Wasallam, bahkan sebaliknya itu merupakan tanggungjawab musyirikin Mekkah untuk menangkapnya bila mampu.
Dari kalimat Rasulullah Shalallahu'alaihi Wasallam di atas pun dapat kita ambil nilai penting yaitu setiap model aksi (seperti yang dilakukan Abu Basyir Radhiallahu'anhu) perlu melihat pertimbangan politis jangan sampai memicu peperangan yang bisa jadi dalam suatu kondisi merugikan kaum Muslimin secara umum.
Berkaitan dengan kasus perampokan Bank di negri ini, penggunaan kisah Abu Basyir Radhiallahu'anhu sebagai dalil perlu penelitian ulang mengingat kondisi Abu Basyir Radhiallahu'anhu sebagai bagian dari kaum Muslimin ketika itu jelas memandang musyrikin Quraisy sebagai musuh sesuai fakta bahwa telah terjadi dua peperangan besar (Badar dan Uhud) sebelumnya antara kaum Muslimin dan musyrikin Quraisy, adapun dalam konteks realitas Indonesia, menyimpulkan bahwa Bank khususnya CIMB Niaga sebagai bagian dari musuh merupakan kesimpulan yang terlalu dini.
Bersambung pandangan Al Qaeda dalam hal ini..
No comments:
Post a Comment