Oleh:
Harits Abu Ulya; Ketua Lajnah Siyasah DPP-HTI
Rabu, 10/03/2010 08:10 WIB
KETIKA kasus “skandal century” mencapai antiklimak melalui sidang paripurna DPR (3/3/2010), isu terorisme muncul lagi dan memegang estafet.
Peristiwa ini mencuat dipermukaan sejak media memberitakan upaya penggerebakan kelompok bersenjata yang tengah mengadakan latihan militer di pegunungan Jalin, Jantho, Aceh Besar yang diduga berlangsung sejak September. Penggerebekan tersebut dilakukan pada Senin malam, 22 Februari lalu.
Jaringan kelompok ini sempat terendus di Pancal dan Saree (lembah Seulawah-Aceh besar). Polisi mengaku menangkap sejumlah orang dari dua tempat ini, yang kemudian di boyong ke Jakarta. Selain itu juga terendus kembali posisinya di sekitar perbukitan Desa Bayu, Kemukiman Lamkabeu, Kecamatan Seulimum, Aceh Besar hingga akhirnya pecah kontak tembak pada hari Kamis.
Korbanpun berjatuhan di pihak polisi dan kelompok Jalin. Masyarakat sipil juga menjadi korban dalam peristiwa ini.
Selama pengepungan dan kontak senjata, angka korban, dari pihak Brimob 11 luka-luka (satu kemudian dievakuasi ke Jakarta untuk perawatan intensif), 3 personel meninggal (termasuk satu anggota Densus 88 Antiteror).
Dari kelompok bersenjata 18 Ditangkap (semuanya diboyong ke Jakarta, termasuk dua orang yang ditangkap pada hari Senin karena diduga menjadi pemasok senjata (8/3) di Jawa Barat dan Jakarta), 2 meninggal (di Padang Tiji dan Lamkabeu), 2 senjata dan ratusan butir peluru disita. Dari pihak warga sipil 2 meninggal (satu di Jalin dan satu di Desa Bayu), 1 luka-luka. (acehkita.com, 8/3)
Lagi-lagi kita disuguhi “drama” demikian mudahnya penghakiman terhadap kelompok bersenjata ini dengan sebutan 'teroris'. Hanya karena ditemukan beberapa barang yang diduga milik kelompok bersenjata tersebut terkait dengan simbol-simbol Islam (misalnya, buku-buku Islam dan atribut pakaian koko dll), dan ditangkapnya beberapa orang dari luar Aceh yang terlibat.
Demikian pula kejahatan media bertabur pada isu ini, karena dengan mudahnya menjustice (menghakimi) bahwa ini adalah kelompok teroris bahkan berlebihan dengan membangun opini, kelompok teroris ini berusaha menjadikan wilayah Aceh Besar di jadikan “AKABRI-nya” teroris, dan di jadikan “Mindanao”nya, dan sebutan-sebutan hiperbol (berlebihan) lainya.
Seolah media menemukan momentum untuk kembali membuat narasi, yang dalam beberapa waktu mengalami kesulitan untuk melakukan “image bulding” pasca tewasnya Noordin M Top dan di eksekusinya Syaifudin Zuhri di Ciputat agar isu terorisme bisa di terima oleh publik dan menjadi payung moral setiap langkah penanganan oleh pihak kepolisian sekalipun dengan cara-cara yang diduga sarat melanggar HAM, karena banyak orang-orang yang diduga teroris di eksekusi mati saat penggerebekan.
Para pengamat juga tidak mau ketinggalan ikut menabuh genderang “analisis” yang tidak jarang sangat prematur, berdasarkan sangkaan dan dugaan semata-mata, tapi seolah sepakat untuk mentahbiskan keterkaitan kelompok ini dengan jaringan Jama’ah Islamiyah bahkan jaringan al Qoidah. Ditambah dengan munculnya blok di internet pengakuan Tandzim al Qaidah Aceh (yang sulit di verifikasi kebenarannya), dan menyematkan kepadanya tentang potensi ancaman terhadap keamanan Indonesia bahkan untuk keamanan Selat Malaka.
Wajar Pro dan Kontra
Tentu bagi masyarakat Aceh istilah teroris menjadi suatu yang ganjil, karena dalam kamus sejarah Aceh tidak pernah mengenal dan tidak ada teroris. Maka ini melahirkan tanda tanya dan pro-kontra, masyarakat kembali di hadapkan pada sikon yang tidak nyaman dengan sweeping dibanyak tempat dan ini membangkitkan trauma masa lalu selama konflik.
Komite Peralihan Aceh (KPA) wilayah Pase melalui juru bicaranya Dedi Syafrizal dalam jumpa pers di kantor Partai Aceh Lhokseumawe (1/3), menilai bahwa pemberitaan adanya gerakan terorisme di Aceh merupakan isu murahan.
Bahkan dinilai tidak rasional jika ada teroris yang muncul di Provinsi Aceh. Berita bahwa adanya gerakan teroris di Aceh sangat tidak berdasar. Ini diduga hanya sebuah rekayasa oleh oknum tertentu untuk kepentingan kelompok maupun pribadi. Kondisi itu seperti sudah direncanakan bukan terjadi dengan tiba-tiba.
Malah setiap pergerakan membuat warga sipil mendapat musibah. “Kami mengklaim bahwa tidak ada gerakan teroris di Aceh umumnya dan Aceh Utara khususnya. Apalagi ada informasi sudah berada di Aceh sejak tahun 2005. Ini sangat tidak dapat diterima oleh akal sehat. Kami menilai ini hanya kerjaan orang-orang yang tidak menginginkan Aceh tetap damai.
Adapun alasannya sangat gampang dilihat dengan kondisi daerah Aceh saat ini. Dari sejumlah pemberitaan terkait isu teroris jaringan jamaah Islamiah, bahwa target mereka adalah pihak asing. Sedangkan saat ini orang asing yang berada di Aceh sangat sedikit dan itupun sedang dalam misi kemanusiaan.
“Dari sejumlah deretan peristiwa pasca perdamaian, ada sejumlah anggota KPA yang menjadi korban. Termasuk kejadian penggrebekan yang dikabarkan tempat latihan terorisme di Aceh Besar. Itu juga membuat anggota KPA (dengan nama julukan “ayah rimba” ) menjadi korban.(Rakyat Aceh.com,2/3)
Anggota Komisi VIII DPR-RI Sayed Fuad Zakaria mempertanyakan sejauh mana dugaan adanya keberadaan jaringan teroris di Aceh dan kenapa baru sekarang diketahui. Mantan Ketua DPRA ini menambahkan, sebagaimana diketahuinya, daerah Aceh yang merupakan paling ujung Sumatera ini justru tidak pernah terdengar adanya kelompok jaringan Jamaah Islamiyah yang selama ini dicap sebagai kelompok teroris.(Rakyat Aceh.com, 2/3)
Membaca Sebuah Kejanggalan
Isu terorisme kali juga tidak lepas dari kejanggalan yang berefek munculnya pro-kontra.
Pertama; Mengingat isu ini muncul sedemikian rupa di saat antiklimak kasus skandal Bank Century yang dibawa ke sidang paripurna DPR dan menghasilkan keputusan melalui voting opsi- C yang mengarah kepada “kontraksi kekuasaan” jika hasil sidang DPR ini dilanjutkan keputaran berikutnya.
Kedua; Begitu juga isu ini muncul jelang kedatangan Obama ke Indonesia, dan seolah menjadi sesuatu yang harus dimunculkan melalui perhatian pemerintah ketika presiden RI (SBY) saat memimpin rapat terbatas bidang politik, hukum dan keamanan (Polhukam).
SBY menagih tindak lanjut pemberian grasi dan pemberantasan terorisme. SBY juga mengingatkan pemberantasan terorisme tetap menjadi agenda dalam penegakan hukum dan HAM. (detik.com, 5/3)
Begitu juga dengan sigap SBY memberikan pernyataan resminya melalui media televisi, bahwa kelompok Jalin tidak terkait dengan GAM dan lebih condong kepada justifikasi kelompok tersebut adalah teroris dan sikap ini juga di aminkan oleh penguasa setempat (Aceh; Irwandi Y).
Ketiga: Selain itu, proyek kontra-terorisme menjadi salah satu prioritas 100 hari program kerja pemerintahan SBY, dalam 100 hari itu diharapkan bisa dirumuskan blue print tentang penanganan terorisme ini dan implementasinya tentu membutuhkan waktu panjang dan lebih dari 100 hari. Hal ini menjadi salah satu substansi dari pertemuan National Summit di Jakarta pada 29-31 Oktober 2009.
Lebih lagi komitmen pada isu terorisme ini juga menjadi kesepakatan dan pembicaraan antara Obama dan SBY saat pertemuan terbatas di Singapura dan saat kunjungan Obama ke Indonesia akan kembali menjadi substansi dan komitmen kedua belah pihak Indonesia-AS.
Negeri tetangga (Singapura) menjadi basis upaya kontra terorisme untuk kawasan Asia Tenggara, dalam kasus ini juga buru-buru mengeluarkan pernyataan warning atas acaman perompak di Selat Malaka yang kemudian dikaitkan dengan aksi terorisme di Aceh.
Keempat: Sementara fakta di lapangan menunjukkan perihal yang berbeda dengan statemen politik pemerintah dan pihak kepolisian, demikian juga opini yang dibangun media (terutama sebuah media TV yang seolah mendapatkan hak eksklusif untuk menayangkan dan reportase langsung dari lapang, yang ini tidak bisa dilakukan oleh media lain karena tidak diberikan akses untuk melakukan hal yang sama).
Karena beberapa fakta di lapangan (dari investigasi penulis dapatkan) membeberkan beberapa hal berikut: Dalam proses penyergapan tanggal 3 maret 2010, ada korban salah tembak yaitu “ayah Rimba” (nama panggilan) dia merupakan mantan salah satu panglima sagoe di wilayah Aceh Besar. Kenapa seorang panglima sagoe bisa ada ditempat penyergapan tersebut?
“Ayah Rimba” berdalih sedang memancing di tempat tersebut, ini merupakan hal sangat janggal. Pengakuan dari salah satu aparat yang terlibat penyergapan menyebutkan bahwa terdapat sms dalam pesawat HP “Ayah Rimba” isinya “kapan turun, saya sudah siapkan mobil dibawah”.
Tentu substansi sms ini melahirkan pertanyaan keterkaitan sekelompok orang yang diduga teroris dengan mantan kombatan GAM sekalipun bersifat personal “Ayah Rimba”. Begitu juga adanya nama Yudi yang ditangkap pada penyergapan 3 Maret juga ada keterkaitan dengan kelompok masa lalu di Aceh.
Kelima: Banyaknya korban jiwa dari pihak polri menunjukan bahwa kelompok bersenjata Jalin begitu menguasai medan lapangan dan sangat terlatih dalam perang gerilya. Pertempuran hanya berlangsung disekitar lembah gunung Seulawah, dan dalam waktu yang cukup panjang 22 jam. Ini menunjukan bahwa taktik dan strategi perang gerilya yang cukup berpengalaman, dengan jumlah personel polri ratusan tidak mampu menyelesaikn pertempuran sengit yang hanya melawan puluhan teroris. Kemampuan menguasai medan dan taktik gerilya hanya dimiliki oleh orang-orang yang terlatih dan biasa dengan habitat hutan.
Keenam: Mengapa mereka memilih tempat di pengunungan Jalin Jantho ? Pegunungan Jalin Jantho adalah tempat yang paling kondusif untuk melakukan latihan perang. Masing-masing wilayah dimasa lalu dibawah seorang panglima, dalam kontek pasca perdamaian fakta dilapangan tidak semua kombatan selaras dan loyal dengan seluruh keputusan politik pimpinan tertingginya.
Bersambung ke.. Teroris Aceh siri 2: 7 Perkara, Jaga-jaga..