Lumpur teus melanda, kawasan-kawasan sekitar terus ditinggalkan penghuninya (gambar Nov 2010).
Peristiwa ini menjadi suatu tragedi ketika banjir lumpur panas mulai menggenangi kawasan persawahan, pemukiman penduduk dan kawasan industri. Hal ini wajar mengingat volume lumpur kira-kira sekitar 5,000 hingga 50 ribu meter kubik perhari, setara dengan muatan penuh 690 truk peti kemas berukuran besar. Akibatnya, semburan lumpur ini membawa kesan luar biasa bagi masyarakat sekitar atau aktiviti perekonomian di Jawa Timur.
Genangan hingga setinggi 6 meter pada pemukiman. Total warga terlibat lebih dari 8,200 jiwa. Rumah, tempat tinggal yang rosak sebanyak 1,683 unit, termasuk kawasan pertanian dan perkebunan rosak hingga lebih dari 200 ha, lebih dari 15 pabrik yang terpaksa menghentikan aktiviti produk dan merumahkan lebih dari 1,873 orang. Tidak berfungsinya sarana pendidikan.
Kerosakan lingkungan wilayah yang tergenangi. Rosaknya sarana dan prasarana infrastruktur jaringan litrik dan telefon. Terhambatnya
ruas jalan tol Malang-Surabaya yang berakibat pula terhadap aktiviti produk di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.
Lumpur juga berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat (Hg), misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi kulit dan kanker. Kandungan fenol boleh menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), jantung berdebar (
cardiac aritmia), dan gangguan ginjal.
Selain kerosakan lingkungan dan gangguan kesihatan, sosial banjir lumpur ini tidak boleh dipandang remeh. Setelah lebih dari 100 hari tidak menunjukkan pulih, bahkan timbul pelbagai masalah, seperti biaya ganti rugi, teori konspirasi penyuapan oleh Lapindo,
rebutan truk pembawa tanah urugan hingga penolakan menyangkut lokasi pembuangan lumpur setelah skenario penangani teknik kebocoran (menggunakan
snubbing unit) dan (pembuatan
relief well) mengalami kegagalan. Akhirnya, yang muncul adalah konflik horisontal.
Lapindo lumpur terus menyembur dan menenggelamkan kawasan sekitar Mengapa 'Lumpur Lapindo' terus menyembur? Setidaknya ada 3 aspek penyebab.
Pertama, adalah aspek teknikal. Pada awal tragedi, Lapindo bersembunyi di balik gempa tektonik Yogyakarta yang terjadi pada hari yang sama. Hal ini disokong pendapat yang menyatakan bahawa pemicu semburan lumpur (liquefaction) adalah gempa (sudden cyclic shock) Yogya yang mengakibatkan kerosakan sedimen. (Hot Mud Flow in East Java, Indonesia, Blog)
Namun, hal itu dibantah oleh para ahli, bahawa gempa di Yogyakarta yang terjadi kerana pergeseran Sesar Opak tidak berhubungan dengan Surabaya. ( Kompas, 8 Juni 2006) Argumen liquefaction lemah kerana biasanya terjadi pada lapisan dangkal, yakni pada sedimen yang ada pasir-lempung, bukan pada kedalaman 2,000-6,000 kaki. (Hamid, A. Bahaya Lumpur Lapindo. ICMI Online. 20 Juni 2006.) Lagipula, dengan merujuk gempa di California (1989) yang berkekuatan 6.9 Mw, dengan radius terjauh likuifaksi terjadi pada jarak 110 km dari episenter gempa, maka kerana gempa Yogya lebih kecil iaitu 6.3 Mw sepatutnya radius terjauh likuifaksi kurang dari 110 Km.
Akhirnya, kesalahan prosedural yang mengemuka, seperti dugaan lubang galian belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai sampul.(Kompas, 19 Juni 2006).
Hal itu diakui bahawa semburan gas Lapindo disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran. Sesuai dengan dezain awalnya, Lapindo perlu sudah memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki.
Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka belum memasang casing 9-5/8 inci. Akhirnya, sumur menembus satu zona bertekanan tinggi yang menyebabkan kick, yaitu masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur. Sesuai dengan prosedur standar, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick. Namun, dari informasi di lapangan, BOP telah pecah sebelum terjadi semburan lumpur. Jika hal itu benar maka telah terjadi kesalahan teknis dalam pengeboran yang berarti pula telah terjadi kesalahan pada prosedur operasional standar (Lapindo Press Release, 15 Juni 200600.
Kedua, aspek ekonomis. Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk BP-MIGAS untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi. Saat ini Lapindo memiliki 50% participating interest di wilayah Blok Brantas, Jawa Timur.( Wikipedia Indonesia, Lapindo Brantas, dan lihat website BPMIGAS.) Dalam kes semburan lumpur panas ini, Lapindo diduga “sengaja menghemat” biaya operasional dengan tidak memasang casing.
Jika dilihat dari perspektif ekonomi, keputusan pemasangan casing berdampak pada besarnya biaya yang dikeluarkan Lapindo. Medco, sebagai salah satu pemegang saham wilayah Blok Brantas, dalam surat bernomor MGT-088/JKT/06, telah memperingatkan Lapindo untuk memasang casing (selubung bor) sesuai dengan standar operasional pengeboran minyak dan gas. Namun, entah mengapa Lapindo sengaja tidak memasang casing, sehingga pada saat terjadi underground blow out, lumpur yang ada di perut bumi menyembur keluar tanpa kendali.(Lumpur, Kesengajaan atau Kelalaian?, http://www.walhi.or.id/kampanye/cemar/industri/060719_lumpur_li/)
Ketiga, aspek politik. Sebagai legalitas usaha (eksplorasi atau eksploitasi), Lapindo telah mengantongi izin usaha kontrak bagi hasil/production sharing contract (PSC) dari Pemerintah sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas sumberdaya alam. (Cabut PSC Lapindo, Solusi Terhadap Ancaman Bencana Bagi Masyarakat di Sekitar Blok Brantas, http://www.walhi.or.id/ kampanye/cemar/industri/060728_psclapindo_rep/)
Poin inilah yang paling penting dalam kasus lumpur panas ini. Pemerintah Indonesia telah lama menganut sistem ekonomi neoliberal dalam berbagai kebijakannya. Alhasil, seluruh potensi tambang migas dan sumberdaya alam (SDA) “dijual” kepada swasta/individu (corporate based). Orientasi profit an sich yang menjadi paradigma korporasi menjadikan manajemen korporasi buta akan hal-hal lain yang menyangkut kelestarian lingkungan, peningkatan taraf hidup rakyat, bahkan hingga bencana ekosistem.
Di Jawa Timur saja, tercatat banyak kasus bencana yang diakibatkan lalainya para korporat penguasa tambang migas, seperti kebocoran sektor migas di kecamatan Suko, Tuban, milik Devon Canada dan Petrochina (2001); kadar hidro sulfidanya yang cukup tinggi menyebabkan 26 petani dirawat di rumah sakit. Kemudian kes tumpahan minyak mentah (2002) kerana eksplorasi Premier Oil.18 Yang terakhir, tepat 2 bulan setelah tragedi semburan lumpur Sidoarjo, sumur minyak Sukowati, Desa Campurejo, Kabupaten Bojonegoro terbakar.
Akibatnya, ribuan warga sekitar sumur minyak Sukowati perlu dievakuasi untuk menghindari ancaman gas mematikan. Pihak Petrochina East Java, meniru modus cuci tangan yang dilakukan Lapindo, mengaku tidak tahu menahu penyebab terjadinya kebakaran. ( Jawa Timur, Kaya Migas = Kaya Bencana, http://www.walhi.or.id/ kampanye/cemar/industri/060730_lapindo_cu/) Penjualan aset-aset bangsa oleh pemerintahnya sendiri tidak terlepas dari persoalan kepemilikan. Dalam perspektif Kapitalisme dan ekonomi neoliberal seperti di atas, isu privatisasilah yang mendominasi.
Solusi Islam atas Kes Lapindo
Faham kepemilikan telah menjadi polemik para ekonom. Ahli ekonom kapitalis seperti digambarkan Hessen,(Hessen, R. Capitalism. The Concise Encyclopedia of Economics.) berpendapat, jika seluruh kepemilikan bertumpu pada individu (economic individualism) akan membuat suatu kompetisi penuh, yang digambarkan Adam Smith sebagai ’sistem sederhana dari kebebasan alamiah’. Namun, dari perjalanan Kapitalisme mulai revolusi industri hingga sekarang, banyak borok-borok yang ditimbulkan dari paham kepemilikan privat ini.
Lawannya jelas ekonom sosialis, seperti digambarkan Heilbroner, (Heilbroner, R. Socialism. The Concise Encyclopedia of Economics), seluruh kepemilikan dipegang oleh negara. Dalam perjalanan, faham ini juga bukan tanpa masalah, kerana kepemilikan negara direpresentasikan oleh ’pejabat negara’ yang boleh mengeksplotasi ’warga negara’ kerana tidak ada hak kepemilikan privat dalam fahaman ini. Masalah pun muncul. Berbagai ramuan dari kedua paham tersebut menjadi alternatif yang diajukan.
Lalu diuji coba, sebuah trial yang hasilnya senantiasa error. Ekonomi neo-liberal, bersifat kerakyatan berkeadilan sosial muncul. Namun, semua tidak menyelesaikan masalah. Dalam kes Indonesia, pengelolaan SDA jelas tergambar dalam pasal 33 UUD 1945. Namun, Hak Menguasai Negara (HMN) yang ada dipergunakan oleh ’oknum negarawan’ untuk menjual negara. Dalam banyak kajian diakui bahawa paradigma HMN merupakan salah satu penyebab dasar (underlying causes) kerusakan berbagai ekosistem, penyusutan kekayaan alam dan dehumanisasi di Indonesia.(Saptariani, N. Potret Perspektif Keadilan Gender dalam Pengelolaan SDA di Indonesia. Jurnal Perdikan).
Lantas muncul tuntutan, supaya dikembalikan pada pengelolaan komuniti (communal right) seperti masyarakat adat, warga setempat, atau otonomi daerah.(Hardin, G. The Tragedy of the Commons. SCIENCE 162 (1968): 1243-48). Namun, hal itu sebenarnya akan menjadi masalah baru yang disebut Hardin (Hardin, G. The Tragedy of the Commons. SCIENCE 162 (1968): 1243-48) sebagai “tragedy of the commons”, kerana manfaat sumberdaya yang bersifat terbuka (open access) sehingga rentan over eksploitasi.
Islam menjawab itu semua, dengan konsep kepemilikan yang jelas: kepemilikan individu (private property); kepemilikan umum (collective property); dan kepemilikan negara (state property). Khusus berkenaan dengan kepemilikan umum,. Iaitu seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum Muslim, dan menjadikan kekayaan tersebut sebagai milik bersama kaum Muslim. Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun terlarang memilikinya secara pribadi.
Zallum (A.Q. 1988). dalam Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (terj.). Hizbut Tahrir, mengelompokkan dalam tiga jenis::
(1) sarana umum yang diperlukan seluruh warga negara untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energi, pembangkit listrik dll;
(2) kekayaan yang asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya, seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid dll;
(3) barang tambang atau lombong galian (sumberdaya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat seperti emas atau besi, cair seperti minyak bumi atau gas seperti gas alam. Rasulullah saw. Bersabda:
«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلأِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
Kaum Muslim itu bersyarikat dalam tiga hal: air, padang rumput/hutan dan api/energi. (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
Walaupun akses terhadapnya terbuka bagi kaum Muslim, regulasi diatur oleh negara. Kekayaan ini merupakan salah satu sumber pendapatan Baitul Mal kaum Muslim. Khalifah selaku pemimpin negara boleh berijtihad dalam rangka mendistribusikan harta tersebut kepada kaum Muslim demi kemaslahatan Islam dan kaum Muslim. Dalam konsep Islam, sesuai dengan tujuan negara bonum publicum, negara tidak akan menjadi pengkhianat rakyat, namun justru menjadi pelindung bagi rakyat.
Begitulah kira-kira kisah Lumpur Lapindo, sebuah tragedi di negara gunung merapi dan tsunami itu. Wallahu 'aklam.
Ibnu Hasyim Catatan Perjalananalamat e-mail: ibnuhasyim@gmail.com
9 Dis, 2010
Surabaya.
Catatan perjalanan sebelum ini...