Di London, kedai buku makin sulit bersaing dengan kedai online (gambar atas). Sama halnya dengan WHSmith, Borders menutup sejumlah kedai buku dalam beberapa waktu terakhir (bawab) Adakah ianya akan berjangkit ke Malayia?
CATATAN SANTAI
Di DEPAN pejabat BBC di jantung kota London ada satu ruas jalan yang cukup ramai. Di antara pejabat perusahaan, kedai kopi, restoran, dan binatu terdapat satu toko buku yang cukup besar. WHSmith, demikian nama toko buku dengan eksterior warna biru tersebut.
Bila ada waktu, saya sempatkan diri mampir, entah untuk membeli majalah atau sekedar menengok buku-buku apa saja yang sedang laris. Namun kebiasaan ini tidak dapat lagi saya lakukan. Bukan kerana saya malas ke toko buku, tapi kerana toko tersebut sudah gulung tikar sejak beberapa tahun lalu.
WHSmith di depan kantor BBC menjadi bukti nyata lesunya bisnis buku dalam beberapa tahun terakhir. Menurut asosiasi toko buku Inggeris, jumlah anggota mereka turun 20% sejak tahun 2006.
Asosiasi ini mengajukan data bahawa pada 2006 jumlah anggota mencapai 4.495, termasuk 1.483 toko buku independen yang tidak memiliki jaringan. Pada Juni 2011 jumlah anggota turun menjadi 3.683 sementara toko buku independen berbaki 1.099. Dari data ini terlihat bahawa toko buku independen yang paling terpukul. Tahun lalu tercatat 50 toko buku independen baru di Inggeris namun yang tutup lebih banyak, iaitu 72 toko. Begitu berita diterima..
Pada saya Ibnu Hasyim, juga pernah ada pengalaman puluhan tahun (kira-kira 1982-1996) dalam perusahaan buku dan media di Malaysia. Kalau tuan-tuan 'orang lama', mugkin masih ingat syarikat GG Edar di bawah pejabat PAS dulu di Jalan Pahang KL. Di samping menjual buku-buku agama, juga menjadi penerbit buku-buku sejarah dan perjuangan PAS. Menerbit kaset-kaset dan video serta mengedarnya ke seluruh negara.
Saya pernah diseret ke mahkamah gara-gara video PAS dan buku-buku politik yang bercanggah dengan polisi negara. Waktu itu PAS nak terbit akhbar sendiri pun susah. Banyak buku-buku dan kaset terbitan saya yang diisytiharkan 'haram' dari sudut negara, dan akan diambil tindakan undang-undang. Itu kisah lama, berbalik kepada perniagaan buku sekarang. Contohnya seperti kisah di atas.
Faktor Niaga Buku Sukar Berkembang:
Satu di antaranya adalah kerana makin populernya buku elektronik. Studi kecil-kecilan yang dilakukan menunjukkan beberapa tahun lalu di satu gerbong kereta, jumlah orang yang membaca buku melalui piranti elektronik sangat kecil, mungkin cuma satu atau dua orang saja.
Sebagai ilustrasi, harga paling tinggi untuk novel laris Dan Brown The Da Vinci Code adalah US$17,61. Versi Kindle untuk novel yang sama cuma US$7.70. Kelebihan lain adalah Google dan Amazon, untuk menyebut dua contoh saja, menyediakan banyak buku elektronik yang dapat diperlehi secara percuma.
Buku-buku atau kitab agama Islam, saya masih belum nampak lagi disalin secara elektronik dan membanjiri pasaran kecuali Al-Quran atau terjemahan. Contohnya seperti karya Imam Ghazali 'Ihya Ulumiddin, Fiqh Sunnah Syad Sabiq, Tafsir Fi Dzilalil Quran, Tafsir Al-Azhar di Malaysia-Indonesia dan lain-lain.
Di tengah keadaan ekonomi susah, seperti yang melanda Eropah kini, orang cenderung tidak banyak berbelanja. Kalaupun perlu mengeluarkan wang untuk membeli buku, mereka tentu akan memilih yang lebih murah. Tidak hairan bila tahun lalu saja penjualan buku elektronik mengalami kenaikan 318%. Dijangka dalam sepuluh tahun mendatang 50% buku yang terjual berbentuk digital.
Kedua: Ikut berperanan mematikan toko buku adalah supermarket. Dengan daya beli besar jaringan supermarket dapat membeli buku dalam volume raksasa dan keananya dapat potongan harga yang sangat lumayan. Potongan ini dinikmati konsumer dengan mendapatkan buku lebih murah. Supermarket dengan mudah menawarkan buku 50% lebih murah dari harga di toko buku. Ketika JK Rowling meluncurkan siri terakhir Harry Potter, tidak sedikit konsumer berbaris di supermarket kerana di sana harganya jauh lebih murah.
Di tengah himpitan supermarket dan toko buku online seperti Amazon, asosiasi toko buku di England meminta bantuan pemerintah. Lesunya bisnis toko buku konvensional menandai pergeseran zaman. Perkembangan internet dan teknologi membuat perilaku konsumer berubah. Bila tidak ikut berubah, toko buku, yang selama berpuluh-puluh tahun menjadi salah satu unsur lanskap pusat kota-kota di England, akan menjadi sejarah. Sedih. Adakah ianya akan menjalar ke Malaysia?
Catatan Santai bnu Hasyim.
alamat: ibnuhasyim@gmail.com
KL. 12 Okt 11
Lihat video sebelum ini..
No comments:
Post a Comment