SATU hari, ketika membaca tweet yang dilontarkan oleh Ulil Absar Abdalla, sebagai guru saya merasa sedih bukan kepalang. Pedih sekali membaca kalimatnya yang berbunyi begini..
“Apakah ada negara atau peradaban hancur kerana pornografi? Setahu saya tak ada.”
Saya membayangkan puluhan anak-anak dan orangtua para santri yang dicabuli dan dilecehkan secara seksual oleh guru ngaji di wilayah Kebon Bawang, Jakarta Utara. Rosak semua, agama menjadi dinistas, masa depan para santri terluka, orangtua tak kurang sakitnya. Sebabnya, pornografi!
Saya juga membayangkan kedua orangtua gadis kecil berinisial PA, yang diperkosa dua orang temannya di toilet sekolah pada jam pelajaran olahraga. Januari lalu, PA diperkosa oleh D, yang berumur 10 tahun dan R yang berumur 13 tahun hingga tak sadarkan diri. Mereka bertiga, duduk di kelas V Sekolah Dasar Negeri 13 Pagi, Duren Sawit, Jakarta Timur. Bagi PA dan kedua orangtuanya, hari itu peradaban keluarga mereka hancur, akibat pornografi yang telah memapar otak-otak bocah (kanak-kanak) seperti R dan D.
Selang sepekan (seminggu), berita yang lebih dahsyat lagi terdengar dari Purbalingga. Lima siswa Sekolah Dasar mencabuli bocah usia Taman Kanak-kanak, sebut saja namanya Bunga. Lima orang bocah ini baru duduk di kelas tiga dan empat Sekolah Dasar Negeri Kebutuh, Bukateja, Purbalingga. Mereka dengan tega mencabuli adik TK mereka, karena ingin mempraktikkan video mesum yang telah mereka tonton bersama.
Bahkan, ada salah seorang di antaranya telah melakukan perkosaan kepada bocah TK untuk kedua kalinya. Bagi Bunga dan kedua orangtuanya, hari itu juga mungkin hari yang meruntuhkan masa depan dan kehidupannya. Kisah-kisah dan fakta seperti inilah yang membuat saya, bersama sahabat-sahabat guru mendirikan semacam teachers initiative, yang kami namakan Teachers Working Group. Misi besarnya adalah menjadi sahabat guru, melakukan pendampingan dan memperkaya skill teaching sesama guru.
Tapi itu semua kami kerjakan dengan kesadaran penuh untuk membangkitkan guru melawan segala bentuk gejala sosial yang mengancam dan mengintai anak-anak murid kami. Kami berkeliling ke kota-kota di Indonesia, untuk membangkitkan kebanggaan para guru dan selanjutnya mendorong guru untuk mengambil peran sosial dan memimpin perubahan, meski kecil dan tidak seimbang dengan kerusakan yang menjalar.
Akhir Januari lalu misalnya, dalam sebuah sarasehan dan seminar yang kami gelar di Tangerang, sengaja kami mengangkat tema Menemani Murid yang Bermasalah. Dan ternyata, masalah yang mengemuka sedikit sekali tentang hambatan belajar, sebagian besar justru masalah sosial, wabil khusus kehidupan bebas di tengah para murid-murid kami. Ibu Indrawati misalnya, guru salah satu SMP Negeri di wilayah itu.
Selepas acara menemui kami, para panitia dan curhat sambil meneteskan air mata. Sebagai guru, dia dekat dengan murid-muridnya dan ingin berbagi setiap jengkal kebaikan tentang hidup pada mereka. Satu hari, dia mendapati muridnya yang baru kelas II SMP, mengadu tentang dirinya yang telah melakukan hubungan intim dengan pria kuliahan yang dikenalnya lewat facebook. Dan yang melakukan hal seperti itu, tidak saja dirinya, tapi banyak juga teman yang lainnya.
Ada yang melakukan di hotel, di tempat-tempat tertentu, bahkan di rumah mereka sendiri di saat orangtua mereka pergi. Sebagai guru, Ibu Indrawati merasa sedih sekaligus bingung mendapat masalah seperti ini. Sebab, sang murid bercerita, bahwa sekarang, yang disebut pacaran selalu dan harus melibatkan hubungan intim di antaranya keduanya. Karena bingungnya, ibu guru yang satu ini curhat untuk mencari solusi kepada guru lainnya.
Tapi sedihnya, bukan solusi atau berbagi rasa yang didapatkan. “Makanya, jangan deket-deket sama murid, nanti dapat masalah,” begitu sambutan guru lain yang diajaknya bicara.
Maka, siang hari itu, kami menangis bersama. Seolah bertemu dengan teman-teman seperjuangan yang berjanji akan bekerja sekuat daya untuk mendampingi anak-anak murid kami. Bulan sebelumnya, kami membuat acara yang sama di wilayah Bandung. Sekitar 250 guru hadir dan terlibat. Salah satu pembicara adalah Ibu Endang Yuli Poerwati, guru agama SMA Negeri IV, Bandung. Kisah yang dituturkannya bermula dari anak bayinya yang terjatuh dari tempat tidur.
Karena khawatir, dibawalah sang bayi untuk diurut oleh “dukun bayi” yang di Bandung lebih dikenal dengan sebutan paraji. Selepas mengurut bayi, sang paraji meminta bantuan, bersediakah Ibu Yuli membawa dan merawat bayi yang beberapa malam lalu ditinggalkan kedua orangtuanya yang masih remaja, ketika mereka datang untuk dibantu saat melahirkan. Dan ini menjadi kisah awal dari perjalanan Ibu Yuli. Kini di rumahnya tinggal belasan anak-anak yang diasuhnya seperti anak sendiri, dan kisah mereka nyaris sama, tak jauh berbeda.
Ada yang hasil perkosaan, ada yang karena pergaulan bebas, ada pula anak dari gadis yang dihipnotis lelaki bejat, dan bahkan ada anak yang dijual orangtuanya sendiri karena keperitan hidup. Ada pula kisah salah satu sahabat kami yang telah melahirkan sebuah buku berjudul La Tahzan for Teachers, Irmayanti. Dia kini mengajar di salah satu sekolah menengah atas di bilangan Ciledug, Tangerang. Ketika pertama kali masuk dan mengajar, beberapa guru memberitahukan sesuatu yang mencengangkan. Jangan dikira anak-anak ini masih perawan semua!
“Mendengar kalimat itu hati saya seperti dicekal, sampai sulit bernapas,” terang Irmayanti.
Siswanya tidak banyak, kurang lebih hanya 100 orang, dan 30 di antaranya anak perempuan. Hampir semuanya terlibat wajar dan baik-baik saja. Anak-anak perempuan ini patuh, rajin, berjilbab, menggunakan baju lengan panjang dan rok panjang nan longgar yang menutup aurat. Bahkan mereka sering shalat dhuha berjamaah di sekolah dan rajin mengikuti bimbingan rohis dalam halaqah, lingkaran 10 orang yang ditemani pembinanya. Tapi semua gambaran itu seolah runtuh, peradaban baik itu seolah hancur ketika salah seorang murid setelah tangisan panjangnya mengadu bahwa dia sudah ditiduri sang pacar.
Hati Irmayanti seolah semakin hancur ketika bertemu seorang guru yang berkata dengan ringan, “Kita bertanggung jawab atas mereka sejak bel masuk sekolah sampai bel pulang sekolah. Memastikan anak-anak ini berlaku baik dalam rentang waktu itu.”
Dalam catatan di bukunya, Irmayanti menuliskan kepedihan itu. “Sekolah menengah dipenuhi anak-anak baru gede yang bingung. Mereka belum lagi memiliki prinsip, gempuran sudah datang bertubi-tubi dari sana dan dari sini. Gaya hidup, pergaulan, konsumerisme, tontonan. Kasihan. Mereka tak paham, milik siapa tubuh ini dan tak tahu bagaimana memperlakukan dengan penuh hormat diri sendiri.”
Maka, sebagai penutup saya ingin berbagi angka semua dengan pembaca. Tahun 2010, tercatat angka 120 ribu penderita HIV/AIDS di seluruh Indonesia, 40 ribu di antaranya adalah ibu rumah tangga dan sebagian besar penderita berusia di bawah umur 24 tahun. Ini baru angka yang mampu dicatat oleh Kementerian Kesehatan dan Komisi Perlindungan HIV/AIDS Indonesia. Angka yang sebenarnya, tidak akan pernah terungkap dan jauh lebih besar daripada yang didapat.
Di Jakarta, Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan DKI Jakarta merilis angka penderita penyakit kelamin di Jakarta berjumlah 9.060 orang, dengan rincian 5.051 orang berjenis kelamin perempuan dan sisanya pria. Dari total jumlah penderita tersebut, 3,007 di antaranya masih berusia antara 14 dan 24 tahun.
Ini belum ditambah dengan angka aborsi di Indonesia. Setiap tahun, janin-janin yang dibunuh akibat zina yang dilakukan oleh pemuda dan pemudi kita semakin meningkat, bahkan mencapai 2,6 juta per tahunnya. Lagi-lagi, itu baru yang mampu tercatat. Bahkan, ada yang membuat rata-rata, setiap hari ada 30 bayi yang dibuang oleh orangtua laknat. Ada yang dicacah di dalam WC kampus, ada yang dimakan anjing di jalanan, ada yang tersangkut di jembatan terseret aliran sungai, ada yang dibuang begitu saja seolah sampah.
Jika fenomena ini semua belum lagi bisa disebut tanda-tanda atas hancurnya peradaban, lalu kita akan menyebutnya apa? Apakah fenomena ini baru bisa disebut dampak kehancuran pornografi yang memicu kehidupan zina setelah orang-orang yang tak pernah khawatir adalah korbannya?
Mari, bersama angkat beban. Meski sedikit dan ringan, gelombang besar ini harus dibendung dengan perjuangan. Kita harus menahannya dengan kantung-kantung pasir agar kerusakan akibat banjir tak melebar dan bertambah besar. Dan semoga Allah menolong kita dan menjadi saksi atas semua usaha ini, meski masih sangat kecil sekali. (IH/Era Muslim)
No comments:
Post a Comment