Selasa (08/11), harian Belanda de Pers menurunkan artikel bertajuk Playboy Haram, berisi wawancara dengan mantan pemimpin redaksi Playboy Indonesia. Mantan orang nomor satu di Playboy Indonesia ini dipenjara satu tahun dengan tuntutan "perilaku tidak senonoh". Ini wawancara pertamanya, setelah satu tahun dirinya bebas.
Vonis, dijatuhkan atas tekanan garis keras Islam, akhirnya dibatalkan. Erwin Arnada saat ini masih berada dalam persembunyian.
Paling membosankan
Edisi perdana Playboy Indonesia mungkin adalah Playboy yang paling membosankan di seluruh dunia. Selain beberapa wawancara dengan selebriti lokal, tidak ditemukan lembaran gadis berdada polos andalan majalah Playboy.
Burda (majalah jahit-menjahit Belanda, Red.) bahkan jauh lebih banyak mempertontonkan aurat ketimbang edisi perdana Playboy Indonesia yang diluncurkan tahun 2005.
Walaupun begitu, edisi perdana ini laris manis bak kacang rebus di musim hujan: tidak kurang 100 ribu eksemplar -berbalut kemasan pembungkus khusus- terjual dalam satu bulan. Sukses besar bagi Erwin Arnada, penggagas majalah, penerbit dan editor muda.
Nyalinya cukup besar untuk membawa nama besar Playboy ke pasar dengan populasi Islam terbesar di dunia.
Kekanak-kanakan
"Saya sadar kami akan mendapatkan kritik," kata Erwin.
"Kelompok Muslim garis keras sangat berpengaruh di Indonesia dan mereka akan mengintili gerak gerik semua hal yang mereka benci. Untuk jaga-jaga, kami bahkan sudah mengundang mereka untuk berdialog sebelum peluncuran edisi pertama."
Komentar mereka ketika melihat majalah adalah: "OK. tidak ada yang berlebihan."
Satu-satunya yang harus Erwin lakukan adalah mengubah nama majalah.
"Judul Playboy itu saja yang masih mengganjal bagi mereka. Permintaan saya tolak, kekanak-kanakan sekali menurut saya. Reaksi pemimpin Front Pembela Islam (FPI) atas penolakkan adalah 'tunggu saja sampai "tentara Allah" menindak Anda.' Yah, mereka lalu memang benar-benar memegang ucapannya." Demikian Erwin Arnada seperti dikutip de Pers.
Majalah kotor
Bulan-bulan berikutnya, ratusan orang terus-menerus berdemonstrasi di depan kantor redaksi di Jakarta.
"Aneh sekali rasanya mendengar banyak orang berteriak bahwa Anda adalah musuh Islam dan Anda harus mati. Tapi saya diam saja. Sampai ketika orang-orang itu menyerang rumah orang tua saya dan mencelakai seorang staf saya, baru saya sadar akan bahaya yang kami hadapi. Saat itulah saya memutuskan untuk memindahkan seluruh operasi ke Bali. Masyarakat lebih toleran di Bali. Di Jawa, para ekstremis bisa bertindak seenak jidat, tidak demikian di Bali."
Harian de Pers lebih jauh menulis politik Indonesia kemudian membuat posisi Arnada lebih terpuruk lagi, karena pemerintah gentar terhadap pengaruh lobi ekstremis Muslim. Ketika kantor redaksi Playboy dibakar massa, Presiden Indonesia berkomentar lirih bahwa Playboy adalah majalah yang kotor.
Sewaktu Erwin Arnada mengajukan tuntutan atas penyerangan itu, Jaksa Umum menanggapinya dengan membalikkan penyelidikan ke arah Arnada. Di bawah tekanan FPI, tahun 2010 Erwin dijatuhi hukuman dua tahun atas perilaku cabul.
Dua truk militer sudah menunggunya di bandara. Jurnalis yang satu ini rupanya dianggap sebagai ancaman besar bagi negara. "Tapi anehnya," kata Erwin, "saya tidak pernah melihat tentara sebanyak ini jika ada lagi seorang wartawan yang mati karena memberitakan skandal korupsi di Indonesia. Inilah kenyataan menyedihkan dari negara kami."
Ancaman pisau
Erwin Arnada ditahan di bagian yang sama dengan teroris Muslim. "Saya terus menerus terancam. Sudah beberapa kali saya diancam dengan pisau di leher saya. Tapi saya juga sempat membuat teman di tahanan. Indonesia punya banyak tahanan politik, orang-orang pintar mereka itu. Saya satu sel dengan mantan kepala bank nasional dan kepala polisi tertinggi di Jakarta. Saya belum pernah terlibat dengan percakapan intelektual yang begitu intens seperti yang saya lakukan di penjara."
Erwin dibebaskan tepat satu tahun lalu, saat Mahkamah Agung, atas pengecualian yang sangat jarang, membatalkan vonisnya sendiri. Mereka berada di bawah tekanan besar dari organisasi hak asasi manusia internasional. Saat ini mantan pemred sedang sibuk mengerjakan bukunya dari tempat persembunyian di Bali.
"Tidak ada lagi Playboy Indonesia. Saya sudah tidak bersemangat. Orang-orang kadang ngomong wah para ekstrimis itu menang dong! Playboy akhirnya benaran ditutup. Saya tidak melihatnya seperti itu. Sayalah pemenang pertempuran ini! Saya sudah memberikan hidup saya selama satu tahun untuk majalah itu. Kalau saya mau saya bisa buka Playboy lagi besok. Tapi saya sudah menegaskan poin saya. Playboy adalah masa lalu bagi saya, saya sibuk mencari sesuatu yang baru lagi sekarang." Demikian de Pers.
(Diangkat dari )
No comments:
Post a Comment