Sejumlah
warga memadati pusat pasar meugang tradisional Inpres Lhokseumawe,
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Meugang
Makmeugang atau Makmuegang atau Meugang adalah salah satu tradisi yang ada dalam masyarakat Aceh sejak berabad lalu. Iaitu acara membeli daging, memasak daging dan menikmatinya bersama-sama, baik dengan keluarga bahkan ada yang mengundang anak yatim untuk menikmati kebersamaan hari meugang ini.
Tradisi ini dilakukan tiga kali dalam setahun :
1. Menjelang bulan Puasa atau bulan Ramadhan
2. Menjelang Hari Raya Idul Fitri
3. Menjelang Hari Raya Idul Adha
Hari Makmuegang telah ada sejak berabad yang lalu dan biasanya dilakukan sehari sebelum bulan puasa, hari raya idul fitri dan hari raya idul adha. Namun pada masa ini, hari makmeugang secara tidak langsung sudah menjadi 2 hari. Ada meugang ubit (meugang kecil) pada hari pertama dan meugang rayeuk (meugang besar) pada hari kedua.
Hari Makmuegang telah ada sejak berabad yang lalu dan biasanya dilakukan sehari sebelum bulan puasa, hari raya idul fitri dan hari raya idul adha. Namun pada masa ini, hari makmeugang secara tidak langsung sudah menjadi 2 hari. Ada meugang ubit (meugang kecil) pada hari pertama dan meugang rayeuk (meugang besar) pada hari kedua.
Namun, tidak semua
wilayah atau juga kabupaten di Aceh menerapkan hari meugangnya selama
dua hari, ada juga hanya sehari saja. Yang membedakan meugang
kecil dan meugang besar, hanya jumlah daging yang dipasarkan atau dengan
kata lain banyaknya penjual yang turun ke pasar. Jika pada hari kedua,
yakni meugang besar sudah dipastikan tempat yang dijadikan pasar
dadakan, sangat ramai sekali.
Perputaran ekonomi masyarakat di hari meugang memang sangat luar biasa, banting harga, kualiti daging serta jenis daging juga mempengaruhi para pembeli yang notabennya juga warga setempat.
Hari meugang ini biasanya mulai beroperasi dari pagi hari setelah solat subuh, sampai siang hari sebelum waktu solat zuhur. Walaupun masih ada yang berjualan sekitar siang, cuma boleh kira dengan jari sahaja kerana pengaruh waktu juga akan mempengaruhi harga.
Asal Meugang
Makmuegang berasal dari kata:
1. Makmue ertinya makmur. Semua elemen masyarakat Aceh, pada hari inilah dari segala elemen masyarakat dapat menikmati daging tanpa kecuali. Benar-benar satu hari yang makmur dinikamati dan dirasakan semua masyarakat Aceh, baik pejabat mahupun rakyat jelata, baik kaya mahupun yang miskin. Janda miskin mahupun anak yatim.
Bahkan di hari makmuegang ini anak yatim kalau dapat undangan dari tuan rumah yang ingin berbagi malah mendapat amplop yang berisi wang yang diberikan oleh yang punya rumah. inilah yang dinamakan makmue…semua elemen masyarakat menikmatinya.
2. Gang ertinya Gang di dekat Pasar (Kumpulan para penjual daging yang berjualan di gang-gang pasar biasanya satu gang ini terapat puluhan bahkan ratusan lapak, tiap lapak para pedagang seluas ukuran meja. Di atas meja inilah daging sapi dipajang, sementara diatasnya dipajang bamboo tempat gantungan daging masi utuh dengan pahanya)
Tradisi hari makmuegang ini muncul bersamaan dengan penyebaran agam Islam di Aceh sekitar abad ke 14 Masehi, sesuai dengan ajaran Islam, datang hari-hari besar Islam iaitu bulan suci Ramadhan,Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha sebaiknya disambut secara meriah
Jika pada hari-hari biasa masyarakat Aceh terbiasa menikmati makanan dari darat ,sungai maupun laut, maka menyambut hari istimewa hari makmuegang ini masyarakat Aceh merasa daging sapi atau lembulah yang terbaik untuk dihidangkan.
Zaman dahulu, pada hari Meugang, para pembesar kerajaan dan orang-orang kaya membagikan daging sapi kepada fakir miskin. Hal ini merupakan salah satu cara memberikan sedekah dan membagi kenikmatan kepada masyarakat dari kalangan yang tidak mampu. Dan tradisi masih juga dilakukan oleh sebahagian orang-orang kaya, sementara orang yang berpenghasilan pas-pasan paling tiding mengundang anak yatim kerumahnya.
Sebuah pepatah Aceh yang tidak dapat dipisahkan di hari makmuegang bahkan sudah berlaku berabad-abad yang lalu cukup tepat untuk menggambarkan betapa hari makmuegang bagi masyarakat Aceh merupakan hari yang sangat penting dan istimewa. Hari di mana kebahagiaan dapat diwujudkan dengan cara menikmati daging secara bersama-sama juga sebagai wujud mensyukuri nikmat rezeki selama setahun itu,
“ SI THOEN TAMITA, SI UROE TA PAJOH ”Ertinya : Setahun kita mencari rezeki/nafkah,sehari kita makan/nikmati
Yang menjadi momok masyarakat untuk meugang seperti yang dikutip dari Kompasiana memang tidak lain dan tidak bukan adalah masalah harga yang terus melambung tinggi, saat pagi pasar dadakan meugang dibuka harga sejumlah daging melonjak cukup tinggi di atas 100 ribu per kilo.
Namun, tidak semua penjual daging memiliki harga yang sama, disinilah kadang terjadi perang harga antara penjual dalam menarik minat pembeli. Dalam sehari meugang, untuk wilayah tertentu banyak sapi yang dihabiskan hingga mencapai seratus lebih. Sangat beda dengan hari-hari biasa yang cuma perlukan 3 atau 4 sapi untuk penjualan biasa.
Memang meugang telah menjadi sebuah keperluan masyarakat Aceh dalam meneruskan tradisi nenek moyangnya. Kebiasaan meugang biasanya akan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat baik mereka keluarga miskin yang tidak sanggup membeli atau juga masyarakat menengah ke atas yang nantinya membahagi-bahagikan hasil olahan dari daging tersebut untuk dibagi ala kadarnya.
Kembali pada soal harga, jika penjual sudah mulai merasa bahawa yang tinggal lapak untuk berjualan daging hanya tinggal beberapa, terutama saat sudah mulai siang atau akan kelihatan sore. Harga yang ditawarkan akan drastis turun sampai 50 ribu per kilo dilepasnya untuk menghabiskan sisa daging yang dimiliki oleh penjual.
Kesimpuan
Seperti yang dikutip dari Bulletin Lamuri Online Perayaan Meugang memiliki beberapa dimensi nilai yang berpulang pada ajaran Islam dan adat istiadat masyarakat Aceh:
1.Nilai Agama
Meugang yang dilaksanakan sebelum puasa merupakan upaya untuk mensyukuri datangnya bulan Ramdhan yang penuh berkah. Meugang pada Hari Raya Idul Fitri adalah sebentuk perayaan setelah sebulan penuh menyucikan diri pada bulan Ramadhan. Sementara Meugang menjelang Idul Adha adalah bentuk terima kasih kerana masyarakat Aceh dapat melaksanakan Qurban.
2.Nilai Sedekah atau Nilai berbagi sesame
Sejak zaman Kerajaan Aceh Darussalam, perayaan Meugang telah menjadi salah satu momen berharga bagi para dermawan dan petinggi istana untuk membagikan sedekah kepada masyarakat fakir miskin. Kebiasaan berbagi daging Meugang ini hingga kini tetap dilakukan oleh para dermawan di Aceh.
Tidak hanya para dermawan, momen datangnya hari Meugang juga telah dimanfaatkan sebagai 'ajang kampanye' oleh calon-calon wakil rakyat, calon pemimpin daerah, mahupun partai-partai di kala menjelang Pemilu (piihan raya umum Indonesia) . Selain dimanfaatkan oleh para dermawan untuk berbagi rezeki, perayaan Meugang juga menjadi hari yang tepat bagi para pengemis untuk meminta-minta di pasar mahupun pusat penjualan daging sapi.
Para pengemis ini meminta sepotong atau beberapa potong daging kepada para pedagang. Ini berkaitan dengan terbangunnya nilai sosial atau kebersamaan.
3. Nilai Kerbersamaan
Tradisi Meugang yang melibatkan sektor pasar, keluarga inti mahupun luas, dan sosial menjadikan suasana kantor-kantor pemerintahan, perusahaan-perusahaan swasta, serta lembaga pendidikan biasanya akan sepi sebab para karyawannya lebih memilih berkumpul di rumah. Orang-orang yang merantau pun bakal pulang untuk berkumpul menyantap daging sapi bersama keluarga.
Perayaan Meugang menjadi penting kerana pada hari itu akan berlangsung pertemuan silaturrahmi di antara saudara yang ada di rumah dan yang baru pulang dari perantauan. Pentingnya tradisi Meugang, menjadikan perayaan ini seolah telah menjadi kewajiban budaya bagi masyarakat Aceh.
Betapa pun mahal harga daging yang harus dibayar, namun masyarakat Aceh tetap akan mengupayakannya (baik dengan cara menabung atau bahkan terpaksa harus berhutang), sebab dengan cara ini masyarakat Aceh dapat merayakan kebersamaan dalam keluarga. Dengan kata lain, melalui tradisi Meugang masyarakat Aceh selalu memupuk rasa persaudaraan di antara keluarga mereka.
4. Menghormati Orang Tua
Tradisi yang telah kita diskusikan di atas tidak hanya merepresentasikan kebersamaan dalam keluarga, namun juga menjadi ajang bagi para menantu untuk menaruh hormat kepada mertuanya. Seorang lelaki, terutama yang baru menikah, secara moral akan dituntut untuk menyediakan beberapa kilogram daging untuk keluarga dan mertuanya. Hal ini sebagai simbol bahawa pria tersebut telah mampu memberi nafkah keluarga serta menghormati mertuanya.
Tidak hanya para menantu, pada hari Meugang para santri (murid-murid yang belajar agama) pun biasanya akan mendatangi rumah para guru ngaji dan para teungku untuk mengantarkan masakan dari daging sapi sebagai bentuk penghormatan. Begitu pentingnya nilai penghormatan terhadap orang tua telah mengkondisikan tradisi tersebut tidak mungkin untuk ditinggalkan.
Jika ditinggalkan hidup menjadi terasa tidak lengkap dan dan muncul perasaan terkucil.
Pelaksanaan tradisi Meugang secara jelas telah menunjukkan bagaimana masyarakat Aceh mengapresiasi datangnya hari-hari besar Islam. Tradisi ini secara signifikan juga telah mempererat relasi sosial dan kekerabatan di antara warga, sehingga secara faktual masyarakat Aceh pada hari itu disibukkan dengan berbagai kegiatan untuk memperoleh daging, memasak, dan menikmatinya secara bersama-sama.
Selain dampak penguatan ikatan sosial warga di tingkatan gampong dan tempat kerja (kantor), nampak pula dampak signifikan dari tradisi ini di ranah pasar, iaitu aktivitas jual-beli daging yang meningkat tajam. Selamat hari makmeugang..selamat menikamati hari kebersaman saat memakan daging sapi yang terbaik bersama keluarga dan warga. (IH)
Perputaran ekonomi masyarakat di hari meugang memang sangat luar biasa, banting harga, kualiti daging serta jenis daging juga mempengaruhi para pembeli yang notabennya juga warga setempat.
Hari meugang ini biasanya mulai beroperasi dari pagi hari setelah solat subuh, sampai siang hari sebelum waktu solat zuhur. Walaupun masih ada yang berjualan sekitar siang, cuma boleh kira dengan jari sahaja kerana pengaruh waktu juga akan mempengaruhi harga.
Asal Meugang
Makmuegang berasal dari kata:
1. Makmue ertinya makmur. Semua elemen masyarakat Aceh, pada hari inilah dari segala elemen masyarakat dapat menikmati daging tanpa kecuali. Benar-benar satu hari yang makmur dinikamati dan dirasakan semua masyarakat Aceh, baik pejabat mahupun rakyat jelata, baik kaya mahupun yang miskin. Janda miskin mahupun anak yatim.
Bahkan di hari makmuegang ini anak yatim kalau dapat undangan dari tuan rumah yang ingin berbagi malah mendapat amplop yang berisi wang yang diberikan oleh yang punya rumah. inilah yang dinamakan makmue…semua elemen masyarakat menikmatinya.
2. Gang ertinya Gang di dekat Pasar (Kumpulan para penjual daging yang berjualan di gang-gang pasar biasanya satu gang ini terapat puluhan bahkan ratusan lapak, tiap lapak para pedagang seluas ukuran meja. Di atas meja inilah daging sapi dipajang, sementara diatasnya dipajang bamboo tempat gantungan daging masi utuh dengan pahanya)
Tradisi hari makmuegang ini muncul bersamaan dengan penyebaran agam Islam di Aceh sekitar abad ke 14 Masehi, sesuai dengan ajaran Islam, datang hari-hari besar Islam iaitu bulan suci Ramadhan,Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha sebaiknya disambut secara meriah
Jika pada hari-hari biasa masyarakat Aceh terbiasa menikmati makanan dari darat ,sungai maupun laut, maka menyambut hari istimewa hari makmuegang ini masyarakat Aceh merasa daging sapi atau lembulah yang terbaik untuk dihidangkan.
Zaman dahulu, pada hari Meugang, para pembesar kerajaan dan orang-orang kaya membagikan daging sapi kepada fakir miskin. Hal ini merupakan salah satu cara memberikan sedekah dan membagi kenikmatan kepada masyarakat dari kalangan yang tidak mampu. Dan tradisi masih juga dilakukan oleh sebahagian orang-orang kaya, sementara orang yang berpenghasilan pas-pasan paling tiding mengundang anak yatim kerumahnya.
Sebuah pepatah Aceh yang tidak dapat dipisahkan di hari makmuegang bahkan sudah berlaku berabad-abad yang lalu cukup tepat untuk menggambarkan betapa hari makmuegang bagi masyarakat Aceh merupakan hari yang sangat penting dan istimewa. Hari di mana kebahagiaan dapat diwujudkan dengan cara menikmati daging secara bersama-sama juga sebagai wujud mensyukuri nikmat rezeki selama setahun itu,
“ SI THOEN TAMITA, SI UROE TA PAJOH ”Ertinya : Setahun kita mencari rezeki/nafkah,sehari kita makan/nikmati
Yang menjadi momok masyarakat untuk meugang seperti yang dikutip dari Kompasiana memang tidak lain dan tidak bukan adalah masalah harga yang terus melambung tinggi, saat pagi pasar dadakan meugang dibuka harga sejumlah daging melonjak cukup tinggi di atas 100 ribu per kilo.
Namun, tidak semua penjual daging memiliki harga yang sama, disinilah kadang terjadi perang harga antara penjual dalam menarik minat pembeli. Dalam sehari meugang, untuk wilayah tertentu banyak sapi yang dihabiskan hingga mencapai seratus lebih. Sangat beda dengan hari-hari biasa yang cuma perlukan 3 atau 4 sapi untuk penjualan biasa.
Memang meugang telah menjadi sebuah keperluan masyarakat Aceh dalam meneruskan tradisi nenek moyangnya. Kebiasaan meugang biasanya akan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat baik mereka keluarga miskin yang tidak sanggup membeli atau juga masyarakat menengah ke atas yang nantinya membahagi-bahagikan hasil olahan dari daging tersebut untuk dibagi ala kadarnya.
Kembali pada soal harga, jika penjual sudah mulai merasa bahawa yang tinggal lapak untuk berjualan daging hanya tinggal beberapa, terutama saat sudah mulai siang atau akan kelihatan sore. Harga yang ditawarkan akan drastis turun sampai 50 ribu per kilo dilepasnya untuk menghabiskan sisa daging yang dimiliki oleh penjual.
Kesimpuan
Seperti yang dikutip dari Bulletin Lamuri Online Perayaan Meugang memiliki beberapa dimensi nilai yang berpulang pada ajaran Islam dan adat istiadat masyarakat Aceh:
1.Nilai Agama
Meugang yang dilaksanakan sebelum puasa merupakan upaya untuk mensyukuri datangnya bulan Ramdhan yang penuh berkah. Meugang pada Hari Raya Idul Fitri adalah sebentuk perayaan setelah sebulan penuh menyucikan diri pada bulan Ramadhan. Sementara Meugang menjelang Idul Adha adalah bentuk terima kasih kerana masyarakat Aceh dapat melaksanakan Qurban.
2.Nilai Sedekah atau Nilai berbagi sesame
Sejak zaman Kerajaan Aceh Darussalam, perayaan Meugang telah menjadi salah satu momen berharga bagi para dermawan dan petinggi istana untuk membagikan sedekah kepada masyarakat fakir miskin. Kebiasaan berbagi daging Meugang ini hingga kini tetap dilakukan oleh para dermawan di Aceh.
Tidak hanya para dermawan, momen datangnya hari Meugang juga telah dimanfaatkan sebagai 'ajang kampanye' oleh calon-calon wakil rakyat, calon pemimpin daerah, mahupun partai-partai di kala menjelang Pemilu (piihan raya umum Indonesia) . Selain dimanfaatkan oleh para dermawan untuk berbagi rezeki, perayaan Meugang juga menjadi hari yang tepat bagi para pengemis untuk meminta-minta di pasar mahupun pusat penjualan daging sapi.
Para pengemis ini meminta sepotong atau beberapa potong daging kepada para pedagang. Ini berkaitan dengan terbangunnya nilai sosial atau kebersamaan.
3. Nilai Kerbersamaan
Tradisi Meugang yang melibatkan sektor pasar, keluarga inti mahupun luas, dan sosial menjadikan suasana kantor-kantor pemerintahan, perusahaan-perusahaan swasta, serta lembaga pendidikan biasanya akan sepi sebab para karyawannya lebih memilih berkumpul di rumah. Orang-orang yang merantau pun bakal pulang untuk berkumpul menyantap daging sapi bersama keluarga.
Perayaan Meugang menjadi penting kerana pada hari itu akan berlangsung pertemuan silaturrahmi di antara saudara yang ada di rumah dan yang baru pulang dari perantauan. Pentingnya tradisi Meugang, menjadikan perayaan ini seolah telah menjadi kewajiban budaya bagi masyarakat Aceh.
Betapa pun mahal harga daging yang harus dibayar, namun masyarakat Aceh tetap akan mengupayakannya (baik dengan cara menabung atau bahkan terpaksa harus berhutang), sebab dengan cara ini masyarakat Aceh dapat merayakan kebersamaan dalam keluarga. Dengan kata lain, melalui tradisi Meugang masyarakat Aceh selalu memupuk rasa persaudaraan di antara keluarga mereka.
4. Menghormati Orang Tua
Tradisi yang telah kita diskusikan di atas tidak hanya merepresentasikan kebersamaan dalam keluarga, namun juga menjadi ajang bagi para menantu untuk menaruh hormat kepada mertuanya. Seorang lelaki, terutama yang baru menikah, secara moral akan dituntut untuk menyediakan beberapa kilogram daging untuk keluarga dan mertuanya. Hal ini sebagai simbol bahawa pria tersebut telah mampu memberi nafkah keluarga serta menghormati mertuanya.
Tidak hanya para menantu, pada hari Meugang para santri (murid-murid yang belajar agama) pun biasanya akan mendatangi rumah para guru ngaji dan para teungku untuk mengantarkan masakan dari daging sapi sebagai bentuk penghormatan. Begitu pentingnya nilai penghormatan terhadap orang tua telah mengkondisikan tradisi tersebut tidak mungkin untuk ditinggalkan.
Jika ditinggalkan hidup menjadi terasa tidak lengkap dan dan muncul perasaan terkucil.
Pelaksanaan tradisi Meugang secara jelas telah menunjukkan bagaimana masyarakat Aceh mengapresiasi datangnya hari-hari besar Islam. Tradisi ini secara signifikan juga telah mempererat relasi sosial dan kekerabatan di antara warga, sehingga secara faktual masyarakat Aceh pada hari itu disibukkan dengan berbagai kegiatan untuk memperoleh daging, memasak, dan menikmatinya secara bersama-sama.
Selain dampak penguatan ikatan sosial warga di tingkatan gampong dan tempat kerja (kantor), nampak pula dampak signifikan dari tradisi ini di ranah pasar, iaitu aktivitas jual-beli daging yang meningkat tajam. Selamat hari makmeugang..selamat menikamati hari kebersaman saat memakan daging sapi yang terbaik bersama keluarga dan warga. (IH)
No comments:
Post a Comment