komunitas penulis independen Aceh
Rapat
rahasia di Stavanger, Norwegia Juli 2002 lalu, tampaknya akan
menentukan perjalanan masa depan bumi Serambi Mekah. Hasil rapat
tersebut menentukan Hasan Tiro sebagai Wali Nanggroe dan Malek mahmud Al
Haytar sebagai Pemangku Wali Nanggroe, yang sewaktu-waktu apabila Sang
Wali wafat ataupun berhalangan tetap, maka secara otomatis Pemangku akan
menggantikan posisi beliau.
Belakangan
ini saya mendengar bahwa Raqan Qanun Wali Nanggroe akan dibahas kembali
dan diparipurnakan oleh DPRA namun terkendala oleh redaksi bahasa.Sejak
kemenangan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur dari Partai Aceh maka
dapat diperkirakan bahwa Qanun Wali Nanggroe dengan sejumlah pasal
kontroversial tidak akan mengalami hambatan.
Namun demikian, setelah saya membaca Raqan Lembaga Wali Nanggroe terdapat sejumlah
poin memberikan hak-hak prerogatif kepada Wali Nanggroe antara lain,
menguasai semua kekayaan (boinah) Aceh di dalam dan di luar nanggroe
memberhentikan/menon-aktifkan Gubernur (eksekutif); membubarkan parlemen
(legislatif); memberlakukan keadaan darurat; memberi gelar (Teungku,
Tuanku, Teuku dan lain-lain) kepada siapa dikehendaki dan lain-lain.
Inilah pasal-pasal, yang menurut banyak pihak, bertabrakan langsung dengan UUPA itu sendiri dan melanggar konstitusi RI. Pengukuhan Malek Mahmud sebagai pemangku Wali pada rapat rahasia Sigom Donya di Norwegia 10 tahun lalu tampaknya penuh dengan manipulasi dan bersifat sepihak, artinya tanpa diketahui oleh khalayak Aceh secara umum.
Inilah pasal-pasal, yang menurut banyak pihak, bertabrakan langsung dengan UUPA itu sendiri dan melanggar konstitusi RI. Pengukuhan Malek Mahmud sebagai pemangku Wali pada rapat rahasia Sigom Donya di Norwegia 10 tahun lalu tampaknya penuh dengan manipulasi dan bersifat sepihak, artinya tanpa diketahui oleh khalayak Aceh secara umum.
Merujuk
UUPA No.11 tahun 2006, pertanyaannya, apakah draft raqan sudah sesuai
dengan sejarah, adat istiadat (kebiasaan), reusam Aceh sebagaimana telah
dikait-kaitkan oleh Tim Perumus? Sebagaimana diketahui umum, Qanun
Lembaga Wali Naggroe merupakan amanat dari MoU Helsinki 2005 yang
dirumuskan ke UUPA No. 11 Tahun 2006 dimana disebutkan dalam pasal 96
ayat 1 bahwa Lembaga Wali Nanggroe yang dipimpin oleh seorang
pemimpin tertinggi adat merupakan figur pemersatu masyarakat yang
independen dan berwibawa bukan lembaga politik atau pemerintahan (ayat
2) dan bukan pula seseorang yang berpihak dan terikat dengan partai2
politik, sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikutnya (ayat 3).
Kriteria Wali Nanggroe
Dalam pasal 15 draft Raqan Wali Nanggroe 2010, ada 19 kriteria yang ditetapkan, di antara lain: beragama
Islam, dari keturunan yang baik dan keturunan wali-wali sebelumnya,
tidak dhalim, alim, arif, amanah, terpelihara dari hawa nafsu jahat,
menguasai bahasa asing dengan lancar, paling kurang bahasa Arab dan
Inggris dan lain sebagainya.
Kriteria
di atas menghantar saya ke sebuah peristiwa yang terjadi di Stockholm,
Swedia pada awal tahun 1992 dalam pertemuan rutin dengan almarhum
Teungku Hasan di Tiro di sebuah rumah. Kala itu, pemikiran Wali
berkecamuk karena tragedi-tragedi kemanusian di nanggroe dan persoalan
lain. Seorang kawan yang galak (suka dimarah-marah) melemparkan
pertanyaan kepada wali: siapa kira-kira penggantinya kalau sewaktu-waktu
beliau ditakdirkan meninggal dunia.
Secara emosional wali menjawabnya: “Tidak ada, tidak ada”. Kawan saya ini tidak mau kalah dan mengorek lagi: “Mungkin pengganti wali nanti ada di sini atau di Malaysia?”
Secara emosional wali menjawabnya: “Tidak ada, tidak ada”. Kawan saya ini tidak mau kalah dan mengorek lagi: “Mungkin pengganti wali nanti ada di sini atau di Malaysia?”
Ah…tidak. Tidak ada di sini dan tidak ada di Malaysia jawabnya spontan. Semua terdiam sejenak. Kemudian, Wali membeberkan panjang lebar kriteria pengganti beliau. Menurut beliau, wali nanggroe harus dari kalangan ulama, bisa berbahasa Arab dan Inggris, sanggup memberi tafsir al-Quran dan menulis buku.
Harus
dari kalangan intelektual yang paham ilmu tata negara, hubungan
internasional dan etiket pergaulan antara bangsa. Dalam hal ini, Wali
menyebut nama intelektual Iran Dr Ali Syariati, sebagai tipe seorang
intelektual Islam yang ia kagumi dan sangat paham dengan cara berfikir
orang Barat. Wali menyebutkan beberapa ulama besar Iran seperti
Ayatullah Murtada Mutahhari dan lain-lain.
Secara
langsung, Wali tidak pernah menyebut penggantinya harus dari keluarga
di Tiro. Yang lebih utama lagi, Wali mengatakan suksesornya ada di Aceh
bukan anak tunggalnya Karim di Amerika. Kami hanya bisa meraba, yang
dimaksud itu adalah Tengku Darul Kamal (alm) yang juga seorang keluarga
di Tiro sebelah perempuan. Sinyal ini sudah tercium semasa Tengku Darul
Kamal bergerilya di hutan.
Kriteria
yang Hasan Tiro maksudkan itu adalah untuk seorang Wali Negara (kepala
Negara) yang merdeka dan berdaulat bukan wali nanggroe sebagai pemimpin
tertinggi adat di salah satu propinsi di Indonesia, sebagaimana yang
diamanatkan UUPA.
Walaupun
Qanun LWN masih dalam proses, kriteria kandidat wali telah mulai
disuarakan, seperti yang dinyatakan Irwandi Yusuf disela-sela peletakan
batu pertama Meuligoe Wali Nanggroe, di mana ia mengatakan bahwa calon wali nanggroe haruslah orang yang bisa mengenal Aceh secara lengkap, tidak sepenggal-sepenggal.
Apapun
bentuk hasil akhir Qanun Lembaga Wali Nanggroe yang akan disahkan,
kriteria Wali Nanggroe harus seorang yang sangat bijak dan berwibawa,
mengenal dan dikenal luas masyarakat, tidak berpihak atau independen,
memiliki latar-belakang yang bersih, bukan eks kriminal, memiliki ilmu
pengetahuan agama Islam dan pengetahuan umum yang memadai dan
sebagainya. Kriteria pemimpin tertinggi adat menurut standar Aceh paling
kurang bisa membaca Quran dengan fasih (bukan qari), menjadi imam
shalat berjamaah atau khatib Jumat, kalau ada permintaan, bisa membaca
doa selamat untuk keperluan apa saja.
Nah,
siapa bisa mengkaji kalau calon wali nanggroe yang diusul Komisi A
dalam draft raqannya memenuhi syarat dan kriteria yang mereka buat
sendiri dan yang saya sebut di atas tadi?
Terlepas
dari itu, untuk merumuskan Raqan Wali Nanggroe harus ditinjau dari
segala aspek, supaya tidak bertabrakan dengan nilai-nilai Syariah, HAM,
demokrasi dan norma-norma lain yang dianut masyarakat Aceh sekarang.
Memanipulasi Sejarah
Awal
September lalu, jauh sebelum hiruk-pikuk ini terjadi, anggota Komite
Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh (PA) sudah mencalonkan kandidat
Wali Nanggroe dari kelompoknya sendiri dan sudah siap pakai. Pada bagian
keenam, pasal 14, ayat ke satu, Tengku Hasan Tiro disebut sebagai Wali
Nanggroe Aceh kedelapan. Pertanyaan: di manakah mereka mengambil
referensinya?
Sedangkan dalam buku-buku yang ditulis oleh Hasan Tiro di antaranya, ACHEH NEW BIRTH OF FREEDOM, yang diterbitkan oleh parlemen Inggris House of Lords, satu Mei, 1992, dalam appendix II, nama Tengku Hasan termaktub sebagai penguasa (ruler) Aceh yang ke 41 yang dimulai pada Sultan Ali Mughayat Syah (1500-1530) sampai kepada dirinya (1976-2010).
Sedangkan dalam buku-buku yang ditulis oleh Hasan Tiro di antaranya, ACHEH NEW BIRTH OF FREEDOM, yang diterbitkan oleh parlemen Inggris House of Lords, satu Mei, 1992, dalam appendix II, nama Tengku Hasan termaktub sebagai penguasa (ruler) Aceh yang ke 41 yang dimulai pada Sultan Ali Mughayat Syah (1500-1530) sampai kepada dirinya (1976-2010).
Apa
yang menjadi pijakan tim perumus ketika menempatkan Tengku Hasan di
Tiro sebagai raja Aceh ke delapan yang dimulai dari Tgk Syeh Muhammad
Saman di Tiro sebagai raja Aceh pertama dan diakhiri oleh cicitnya
Tengku Hasan di Tiro. Mereka ingin menghidupkan kembali dinasti di Tiro
dengan memangkas semua raja-raja yang terdahulu, mulai dari Sultan Ali
Mughayat Syah (1500-1530) sampai kepada Sultan Muhammad Dawud Syah
(1874-1903). Ini merupakan sebuah tindakan coup d’etat ke atas sejarah
Aceh.
Dalam pasal yang sama, ayat kedua disebutkan Malik
Mahmud sebagai perdana menteri dalam rapat sigom donya di Stavanger,
Norwegia pada 2 Juli 2002, otomatis dapat menggantikan kedudukan Hasan
Tiro sebagai pemangku jabatan wali nanggroe ketika beliau meninggal.
Pertama,
Rapat tertutup intern GAM di Stavanger pada 2 Juli 2002 yang dihadiri
oleh sebagian masyarakat Aceh di perantauan, khususnya dari Denmark dan
Norwegia, tidak bisa dibuktikan validitasnya.
Kedua, pelantikan Malik Mahmud (MM) sebagai perdana menteri hanya mengada-ada dan perlu dibuktikan.
Ketiga, kedudukan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan tidak bisa menggantikan kedudukan Wali Neugara sebagai kepala Negara walau dalam keadaan darurat sekalipun.
Kedua, pelantikan Malik Mahmud (MM) sebagai perdana menteri hanya mengada-ada dan perlu dibuktikan.
Ketiga, kedudukan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan tidak bisa menggantikan kedudukan Wali Neugara sebagai kepala Negara walau dalam keadaan darurat sekalipun.
Ketika
Carl XIII menggantikan kemenakannya sebagai Raja Swedia pada tahun
1809, dia tidak memiliki keturunan. Dan satu-satunya anak angkatnya,
putra mahkota Kristian August mangkat pada tahun 1810. Swedia memerlukan
putra mahkota yang baru untuk menggantikan Raja Carl VIII setelah ia
mangkat. Kerajaan bermusyawarah dan akhirnya mengirim utusan ke Perancis
untuk menawarkan kedudukan tersebut kepada salah seorang marsekal
Perancis Bernadotte yang paling dekat hubungan keluarga dengan Kaisar
Napoleon.
Pada
tanggal 21 Agustus 1810 Parlemen Swedia (Riksdag of the Estates)
memilih Jean Baptiste Bernadotte sebagai putra mahkota Sweden. Dan putra
mahkota baru ini dinobatkan sebagai Carl Johan. Jadi, sejak 1818 Swedia
diperintah oleh keturunan Barnadotte termasuk juga Norway antara 1818
dan 1905, ketika negara ini masih bersatu (union) dengan Swedia.
Besar
kemungkinan Malek Mahmud (MM) pernah membaca silsilah raja-raja Swedia
ketika duduk-duduk di kedai kebab Turki di Swedia dan terinspirasi
dengan kejadian tersebut. Untuk menjadi seorang raja tidak harus dari
keturunan raja-raja. Mungkin juga terinspirasi ala Menteri Luar Negeri
Aceh Habib Abdurrahman Zahir mempenetrasi inner circle kerajaaan Aceh
dalam masa singkat dengan mendekati dan mengontrol Ulee Balang yang
dipercayai Sultan sehingga dia pun mendapat kepercayaan Sultan.
Kenyataannya,
Malik Mahmud menggunakan metode yang sama dan malah jauh lebih sadis.
Mula-mula menguatkan posisi keurabeuëk setelah Hasan Tiro kena stroke
pada Mai 1997, kemudian mengambil alih kekuasan perlahan-lahan dan
akhirnya semua keurabeuëk berada dalam genggamannya sampai-sampai darah
biru milik endatunya yang suci itu disuntik ke dalam tubuh Malik Mahmud.
Sebagian keurabeuëk yang terlanjur mempercayainya dan memprotes
akhirnya disingkirkan.
Sumber: (http://theglobejournal.com/sosok/malik-mahmud-al-haytar-dikukuhkan-jadi-wali-nanggroe/index.php)
Yusuf Daud,
keturunan tenku Hasan ada dipulau pinang..kturunan hasan ini amatlah misteri dan sulit hendak diceritakan, kerana keturunan aceh yang tungal ini dilahir di kepala batas(barangkali ada cerita dari keturunan Haji Ahmad Badawi sahabat kepada tenku Hasan )tidak terima saudara sebelah emaknya lalu ditingalkan di rumah anak yatim sebelum diperlihara oleh hartawan.. akibat tidak diterima oleh anak hartawan ini..si waris ini mengalami sedikit tekanan kerana dirasakan dipingir saudaranya yang masih ada..perlakuannya tidak ubah seperti nenekdanya Cut Nyak Dhien ketika diculik tentera belanda dahulu..pada tahun 2000 si waris ini pun meninggal dunia akibat akibat sakit..si waris ini ada 6 orang anak 4 laki-laki dan 2 perempuan.. takdir Allah penentu segalanya si anak waris ini tetap ada darah keturunan aceh..si abang dan si adik masing-masing menyonkong perjuangan GAM (gerakan aceh merdeka)tanpa masing-masing mengetahuinya lansung.. sehinggalah pada suatu hari mereka mendapat tahu si abang dan si adik adalah admin kepada akaun facebook yang menyonkong aceh merdeka.. hanya Alllah taala sahaja mengetahui cerita ini...
ReplyDelete