SUATU hari, anak Abu Thalhah meninggal dunia. Ummu Sulaim, isteri beliau berkata kepada orang-orang yang ziarahi anaknya, “Jangan beritahu Abu Thalhah biar aku sendiri beritahu khabar duka ini.”
Terus Ummu Sulaim merapikan jenazah puteranya.
Bila malam, Abu Thalhah pulang. Diapun tanya keadaan anaknya. “Ia tenang macam biasa.” jawab Ummu Sulaim.
Isteri taat ini bergegas menyuguhkan makan malam suaminya. Tak lupa juga menghias diri di depan cermin agar nampak lebih indah dari biasa. Melihat isterinya yang berhias cantik itu, Abu Thalhah pun naik geram ghairah. Malam itu, Ummu Sulaim melayani suaminya ke tempat tidur.
Setelah selesai, Ummu Sulaim melihat suaminya puas dan
tenang jiwanya, ia pun berkata lembut, “Oh, abang Thalhah! Bila ada
keluarga meminjam sesuatu kepada keluarga lain, lalu keluargta itu minta balik barang yang diberi pinjaman itu, tetapi keluarga penerima tak mahu kembalikan, apa pendapatmu?”
“Sungguh, sekali-kali mereka tidak berhak menolaknya (untuk tidak bagi balik) kerana tiap pinjaman perlu dikembalikan kepada pemiliknya,”
jawab Abu Thalhah cepat.
Ummu Sulaim tersenyum dan berkata lagi, “Sesungguhnya anakmu adalah barang pinjaman dari Allah,
dan Allah telah mengambilnya.”
"Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un." Ucap Talhah.
"Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un." Ucap Talhah.
Esoknya, Abu Thalhah menceritakan kejadian itu
kepada Rasulullah SAW. Jawab Rasul. “Semoga Allah memberkahi malam kamu berdua.”
Anak adalah permata jiwa yang senantiasa dinanti dan dirindui kehadirannya. Ketiadaan anak menjadikan hidup terasa sepi, sedang kehadirannya menjadikan hidup terasa menjadi ramai dan ceria.
Kerana itu, seorang ulama pernah berkata, “Hendaknya kedua orangtua bersabar
dan menerima ketentuan takdir Allah, kerana putusan Allah pada seorang
mukmin dalam hal yang tidak menyenangkan mungkin lebih baik dari hal yang menyenangkan.”
Apalagi, bagi orang-orang yang bersabar menghadapi
kematian anak seperti Abu Thalhah tadi, akan memperoleh “buah manis” yang akan dipetik di akhirat
nanti. Di antara buah manis itu tak lain adalah syurga.
- Rasulullah bersabda, “Jika anak seorang hamba meninggal dunia, maka Allah berfirman kepada malaikat, ‘Kamu telah mengambil anak hamba-Ku?” Mereka (malaikat) berkata, ‘Ya’. Allah berfirman, ‘Kamu telah mengambil buah hati hamba-Ku?’ Mereka berkata, ‘Ya’. Allah berfirman, ‘Apa yang diucapkan oleh hamba-Ku?’ Mereka menjawab, ‘Ia memuji-Mu dan ber-istirja’.’ Maka Allah berfirman, ‘Bangunkanlah bagi hamba-Ku rumah di syurga dan berilah nama Baitul-Hamd’.” (Riwayat At-Tirmidzi)
Bersedih adalah luapan ekspresi yang lumrah ketika
seseorang berpisah dengan sosok yang disayanginya (anak). Bersedih
seperti ini justru menunjukkan ekspresi kecintaan dan kasih sayang. Yang
tidak dibolehkan adalah ketika kesedihan berlebih-lebihan diiringi suara tangis ratapan.
Rasulullah sendiri diriwayatkan begitu bersedih ketika
menghadapi kematian Ibrahim, anaknya. Rasulullah bahkan
menangis sehingga matanya basah. Dalam sebuah riwayat disebutkan, kesedihan dan tangis
Rasulullah itu terlihat jelas oleh sebagian kaum Muslimin yang
bertakziyah di rumah beliau.
Berkatalah salah satu hadirin, “Mengapa Tuan menangis? Bukankah Tuan pernah melarang kami menangisi orang mati?”
Jawab Nabi, “Aku tidak pernah melarang bersedih, tetapi yang pernah kularang itu hanya mengangkat suara dengan menangis. Yang kamu lihat padaku adalah bekas kandungan dalam hati, rasa cinta dan sayang. Siapa yang tidak menyatakan kasih sayang, orang lain tidak akan menyatakan kasih sayang terhadapnya.”
Jadi, sedih menghadapi kematian anak dalam batas yang wajar dibolehkan syariat. Yang dilarang adalah jika tangisan itu
dilakukan dengan meratap. Apalagi bila disertai menampar pipi
dan merobek-robek pakaian, hal ini jelas dilarang syariat
Islam sebagaimana sabda Rasulullah,
- “Bukan dari golonganku orang yang (ditinggal mati keluarganya) memukul-mukul pipi dan merobek-robek (kain) saku dan menjerit-jerit dengan suara jeritan kaum jahiliyah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Maka, bersedihlah dalam batas-batas wajar. Terimalah takdir kematian itu
dengan sabar dan ikhlas. Mudah-mudahan dengan begitu, kematian anak akan
menjadi “buah manis” yang akan dipetik di akhirat nanti. Ya, anak
tersebut akan menjadi jalan menuju syurga bagi orangtuanya.
Di sinilah kisah Ummu Sulaim di atas adalah
sebagai pelajaran berharga tentang ketabahan luar biasa seorang
ibu menghadapi kematian anaknya. Itu semua tentu sebagai akibat dari
spirit keimanan yang benar-benar merasuk ke dalam kalbunya. Itulah bahasa cinta ketika diuji kesedihan.
Wallahu a’lam bishshowaab.(IH)
No comments:
Post a Comment