Presiden Mesir, Mohammed Mursi
KAIRO: Pemerintah Mesir menunda referendum nasional yang telah disetujui Dewan Konstitusi dan eksekutif minggu lalu. Perlawanan oposisi (pembangkang) memaksa Presiden Muhammad Mursi mengambil langkah tersebut.
Pemerintah menawarkan dialog penawar kerusuhan. Dalam pernyataan resmi melalui wakilnya, Presiden Mursi mengatakan keputusan menunda referendum adalah solusi mengatasi krisis politik yang terjadi belakangan. Perlawanan oposisi menjadi pertanyaan serius bagi pemerintah untuk mengakhiri konflik horizontal di Ibu Kota Kairo dan di wilayah lainnya.
Akan tetapi penundaan harus diiringi dengan bersedianya oposan melakukan dialog yang menghasilkan keputusan final.
"Kekuatan politik yang menuntut (oposan) harus memberikan jaminan bahawa tidak akan ada banding terhadap penundaan di pengadilan," kata pernyataan yang dibacakan oleh Wakil Presiden Mahmoud Mekki, seperti dikutip Ahramonline, Jumaat (7/12) waktu setempat.
Lembaga darurat Dewan Konstituante merampungkan konstitusi baru bagi Mesir, Jumaat (30/11) lalu. Konstitusi mengatur berlaku konstitusi tersebut melalui referendum nasional, 15 hari setelah diterima oleh presiden pada Sabtu (1/12) lalu. Oposisi didominasi oleh Partai-partai Liberal dan Kristian Koptik tidak menyetujui rumusan undang-undang baru pascarevolusi 2011 tersebut.
Mereka meyakini rumusan konstitusi baru, tidak mencerminkan nilai-nilai universal yang diharapkan oleh masyarakat Mesir. Mereka menuduh kelompok Ikhwanul Muslimin sengaja memasukkan nilai-nilai Islam yang dianggap akan mengekang kemajemukan masyarakat di Mesir. Sejumlah pasal dari 234 pasal juga dikatakan berpotensi menghalangi kebebasan berekspresi dan pers.
Oposisi yang geram sejak keluarnya Dekrit Presiden, Khamis (22/11) lalu, menghendaki agar Mursi hengkang dari kekuasaan, lantaran dianggap sebagai suara politik Ikhwanul Muslimin.
''Kami inginkan kejatuhan Mursi. Pergi, pergi,'' teriak demonstran penentang Mursi, saat melakukan aksi di halaman Istana Heliopolis, Kairo, Jumaat (7/12), seperti dilaporan Reuters, di hari yang sama.(IH/ROL)
No comments:
Post a Comment