CATATAN PERJALANAN: Kalimantan siri 10
SAMPIT Berdarah, beginilah ceritanya..
Awal kerusuhan:
Kerusuhan bernuansa etnis di Sampit meletus semenjak peristiwa pembunuhan terhadap beberapa warga Madura di komplek perumahan yang terletak di sebelah utara pinggiran kota Sampit yang dilakukan oleh sekelompok orang yang dibayar oleh dua provokator masing-masing pegawai PEMDA dan Dinas Kehutanan Sampit. Peristiwa itu terjadi tengah malam minggu (Sabtu malam 17/2/2001) sekitar pukul 23.00 WIB disaat korban sedang tidur lelap.
Warga Madura yang berada di sekitar kejadian terkejut dan emosi mereka terpancing karena merasa dalam keadaan bahaya dan sedang diaserang oleh sekelompok suku Dayak, dan merekapun melakukan pembalasan hingga trerjadilah bentrokan yang menelan belasan korban jiwa. Dengan peristiwa ini warga dayak tidak tinggal diam mereka langsung menghadakan pembunuhan dan pembakaran terhadap rumah-rumah warga Madura.
Pada hari minggu pagi saya kontak melalui telpon kepada bibi dan paman yang bertempat tinggal di jalan S. Parman Sampit menanyakan tentang peristiwa tersebut dan pengaruhnya terhadap masyarakat kota Sampit pada umumnya. Bibi malah biasa-biasa saja dan tidak mempunyai perkiraan bahwa bentrok akan meluas, bahkan ia mengatakan “tidak apa-apa dan aman-aman saja, karena peristiwanya ada di pinggiran” tegasnya.
Pada hari yang sama yang menghubungi teman dekat yang ada di jalan Sampit Samuda menanyakan tentang peristiwa tersebut. Ia pun menjawab senada dengan jawaban bibi. Keesukan harinya saya lakukan kontak lagi kepada paman dan jawbannya tidak jauh berbeda dengan jawaban kemarin. Berbeda dengan jwaban teman yang saya kontak pada hari itu, ia mengatakan keadaan gawat dan kerusuhan meluas dan terjadi penambahan korban dari dua belah pihak. Pada hari Selasa, saya lakukan kontak kembali, akan tetapi telpon sudah tidak ada yang mengangkat.
Lalu saya menghubingi teman di rumah mertuanya dan kebetulan ia telah sembunyi di sana dan ia mengatakatan bahwa keadaan sangat mencekam karena orang-orang Dayak dengan seketika berdatangan dari berbagai penjuru dan pedalaman Kalimantan Tengah dan aparat kewalahan tidak dapat membendung arus kedangan mereka. Orang-orang Madura yang memang tidak sadar dan tidak menduga bahwa mereka akan dibersihkan dari Sampit akhirnya kalang kabut dan panik, karena diserang oleh Dayak yang lengkap dengan berbagai senjata tajamnya.
Maka korbanpun berjatuhan tergeletak tanpa kepala di rumah-rumah dan di jalan-jalan setiap sudut kota Sampit. Orang-orang Dayak melakukan swepping besar-besaran ke seluruh rumah-rumah penduduk tanpa terkecuali dan membunuh setiap orang yang dicurigai dari suku Madura tanpa memandang jenis kelamin atau usia. Maka warga dari suku Madura yang terjebak kepungan orang-orang Dayak dan tidak sempat mengungsikan diri menjadi sasaran empuk terjangan tobak dan mandau.
Sebelum etnis Dayak melakukan serangan mereka berkumpul bersama untuk membulatkan tekad dan bersumpah untuk mengikis habis etnis Madura dari Kal-Teng yang dimulai dari Sampit. Untuk mengobar semangat juang Dayak, Para provokator Dayak menebarkan kebencian dikalangan mereka terhadap warga Madura. Kata mereka :
”Warga Madura harus dikikis habis dari Kal-Teng, supaya etnis Madura tidak berkuasa di Kal-Teng”.
Informasi terakhir (dini hari Senin 25/2) yang saya terima dari Kec. Samuda (40 km dari Sampit) mengatakan bahwa pengikisan warga Madura sekarang juga sedang terjadi di ibu kota Palangkaraya dan sekitarnya. Orang-orang Dayak dalam melakukan kebiadabannya tidak cukup dengan menghabiskan nyawa suku Madura yang tidak berdosa, tetapi membakar rumah-rumah, tempat-tempat usaha, masid-masjid, lembaga-lembaga pendidikan, pesanteren-pesantren dan lain-lainnya yang dibangun oleh suku Madura.
Postingan ini merupakan lanjutan dari sampit berdarah ( bag 1 ).
aba118.wordpress.com
Rujuk Dari Sanggau Ledo hingga Sampit. HAJI Abdullah (53), tokoh masyarakat Madura ...
zkarnain.tripod.com
Tragedi Sampit berdarah adalah buntut dari Tragedi Sambas dengan perencanaan yang matang.
Semenjak Sambas meletus masyarakat Dayak pedalaman telah mengadakan pembicaraan untuk melakukan serangan terhadap etnis Madura. Hal itu terungkap dari keterangan adik ipar saya yang - kebetulan berdarah Dayak tetapi leluhurnya telah memeluk Islam – bekerja sebagai pedagang sembako yang setiap hari hilir-mudik ke pedalaman Kalimantan Tengah (Rantau Pulut dan sekitarnya). Adik ipar tersebut sering mengemukakan alasan-alasan bahwa rencana tersebut sebaiknya diurungkan, karena menurutnya, orang-orang Madura adalah orang yang baik-baik dan sedikit diantara mereka yang berbuat jahat seperti suku-suku lainnya, ujarnya.
Bahkan, ia sendiri mengakui bahwa istrinya berasal dari keluarga yang baik dari suku Madura. Akan tetapi orang-orang Dayak tersebut tetap pada pendiriannya dan mengatakan bahwa mereka tidak akan mengganggu istrinya. Tentang rencana jahat Dayak tersebut sering diutarakan oleh adik ipar saya kepada keluarga kami. Beberapa hari sebelum Kerusuhan Sampit meletus adik ipar saya segera pulang dari pedalaman Kal-Teng dengan menyarter speedboard dan meninggalkan klotoknya di pedalaman untuk memberitakan akan rencana jahat Suku Dayak dan ipar saya menyerankan kepada seluruh keluarga segera menjual harta yang dapat dijual sebelum peristiwa terjadi, akan tetapi keluarga tidak mengindahkan saran tersebut.
Sebelum peristiwa Kerengpangi meletus (bebera[pa minggu sebelum peristiwa Sampit) sudah santar isu bahwa orang-orang Dayak akan menyerang suku Madura, dan kerana santarnya isu tersebut teman akrab ayah saya yang juga mantan anggota DPRD Tingkat I Palangkaraya sering berpesan dan menyarankan apabila nanti ada serangan Dayak maka sebaiknya keluarga saya berlindung di rumahnya di Palangkaraya. Ini juga memperkuat adanya perencenaan sebelum tragedi Sampit meletus.
Dua hari setalah Tragedi Sampit meletus orang-orang Dayak dari berbagai penjuru dan pelosok pedalaman Kalimantan –Tengah secara bergelombang dan berbondong-bondong membanjiri kota Sampit untuk melakukan memusnahan terhadap etnis Madura. Ini adalah suatu indikasi nyata dari perencaan jahat tersebut. Dan ketika berita Tragedi Sampit menyebar ke berbagai pelosok, penyerangan terhadap etnis Madura di pelosok-pelosok pun mereka lancarkan, hingga ratusan korban berjatuhan.
Maka dari itu sangat tidak salah kalau berbagai madia masa menyebutkan korban tewas lebih dari 200 orang. Adapun sebenarnya korban tewas jauh lebih besar dari yang diperkirakan, sebab suku Madura tersebar banyak di berbagai kecamatan dan pelosok yang terpencil di Kab. Kotawaringin Timur sebagai petani dan bercocok tanam, dan mereka tidak luput dari sasaran amukan orang-orang Dayak. Satu hari setelah meletusnya Sampit Berdarah masyarakat Dayak di Palangkaraya berdemontrasi menuntut kepada Pemerintah setempat agar mengusir seluruh etnis Madura dari propinsi Kal-Teng.
Aparat tidak bertindak tegas terhadap perusuh.
Pasukan Kepolisian dan Tentara yang disiagakan di Sampit bersikap pengecut bahkan tidak memberikan perlindungan kepada suku Madura. Hal itu terlihat dari ketidak mampuan mereka dalam membendung arus perusuh Dayak yang datang membanjiri kota Sampit dan membiarkan mereka melakukan swepping kerumah-rumah dan menghabisi jiwa setiap orang yang diduga dari etnis Madura, dengan tidak memandang apakah itu bayi, orang jumpo, laki-laki atau perempuan.
Bahkan serangan serangan yang merembak ke berbagai kecamatan dan pelosok dengan sangat mudah dilakukan oleh para perusuh Dayak tanpa ada usaha pencegahan atau sikap tegas dari aparat. Seharusnya aparat beritindak tegas terhadap setiap perusuh yang memasuki wilayah tugasnya tanpa pandang bulu. Bahkan ketidak tegasan aparat itupun tampak dengan dilepasnya puluhan tahanan etnis Dayak perusuh dan membiarkan mereka bergabung dengan para perusuh lainnya untuk melakukan pembunuhan.
Dan Penyerangan dan pembunuhan tidak hanya dikosentrasikan di kota Sampit saja, bahkan semenjak kerusuhan di kota Sampit meletus secara serempak di Kecamatan-kecamatan lain dilakukan penyerangan yang sama, dan dengan leluasa tanpa pencegahan dan tidakan tegas dari aparat mereka membunuh dan mengahncurkan segala harta dan rumah penduduk etnis Madura. Kemarin (Minggu 25/2/2001) saya kontak telpon dengan salah satu penduduk dari etnis Banjar di Sampit untuk mendapat imformasi terakhir tentang kota Sampit, orang itu mengimformasikan bahwa sampit makin mencekam para pengungsi yang berlindung di sekitar kantor PEMDA sedah kekurangan bahan pangan dan sudah banyak korban yang jatuh tewas kelaparan.
Sementara arus perusuh terus membanjiri Sampit dan mereka mengadakan serangan ke Kec. Samuda 40 km. Dari Sampit yang disana terdapat penduduk etnis Madura yang terpencar-pencar dalam jumlah yang sangat banyak diperkirakan lebih dari 1000 KK. Sedangkan tempat pengfungsian atrau persembunyian di sana tidak ada. Dan perusuh telah melakukan pemusnahan di sana tanpa ada aparat yang menghalangi atau bertindak tegas terhadap mereka. Bahkan pesanteren terbesar di Kec. Ini –yang juga tempat saya nyantri dahulu- telah luluh lantak. Tidak ada satupun rumapenduduk etnis Madura melainkan digempur habis-habisan.
Dan dari imformasi yang saya terima dari etnis Banjar di Kecamatan ini (dini hari ini –Senin 26/2) para perusuh dayak sudah sampai desa Parebok (Kec. Samuda) dan di situ mereka mendapat perlawanan dan terjadi korban dari dua belah pihak. Karena pihak perusuh tidak mampu, maka Dayak mengirimkan lagi 2 truk ke desa ini, dan akhirnya mereka dapat menghancurkan perlawanan etnis Madura. Para perusuh dari etnis Dayak tersebut menggunakan tanda pengenal merah di kepala, tangan dan tombak yang mereka bawa.
Evakuasi atau pengusiran?
Desakan etnis Dayak agar Pemerintah setempat mengusir etnis Madura dari Kal-Teng terus mereka lakukan sambil menyuarakan tuntutan agar Kapolda Kal-Teng mundur dan diganti dengan yang lain, akhirnya Kapolda menginstruksikan kepada segenap jajarannya di Sampit dan Kecamatan agar mendesak etnis Madura segera mengungsi ke Madura dengan alasan keselamatan. Bahkan Kapolsek di Kuala Pembuang sangat ketakuatan ketika mendengar perintah dari atasannya sehingga membuatnya segera melakukan evakuasi dan mengungsikan etnis Madura dari Kuala Pembuang (ibu kota kec. Seruyan Hilir 150 km dari Sampit) ke jawa. Bahkan di Palangkaraya sendiri dilakukan pengungsian etnis Madura ke Banjarmasin setelah menakut-nakuti mereka.
Kerusuhan Sampit bernuansa sentimen agama dan Masyarakat Dayak sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Suku Madura tinggal di Kal-Teng semenjak lima puluh tahun yang lalu dan hidup berdampingan secara damai dengan etnis-etnis setempat (Banjar dan Dayak), tidak ada perselisahan diantara sesama mereka sehingga mereka hidup sebagaimana layaknya warga setempat. Keharmunisan hubungan dua belah pihak itu tampak dan makin jelas dengan makin banyaknya nikah silang (Dayak-Madura, Madura-Banjar) diantara mereka. Maka tidak heran jika lelaki muslim dari etnis Dayak nikah dengan perempuan asal etnis Madura atau sebaliknya.
Kriminalitas berupa pembunuhan, perjudian dan pencurian dilakukan oleh berbagai etnis bukan hanya dari etnis Madura, bahkan yang sering terjadi adalah pembunuhan antara etnis Madura itu sendiri bukan antar etnis Madura dengan etnis lainnya. Lalu kenapa Kerusuhan itu terjadi dan bahkan kerusuhan di Sampit diprovokasi oleh dua orang pegawai negeri sipil yang beragama non Islam? Lalu kenapa pembakaran dan pembunuhan dilakukan kepada semua warga etnis Madura tanpa pandang bulu?
Kenapa masjid-masjid, pesantren-pesantren, rumah-rumah warga madura yang tidak berdosa bahkan Kia asal Madura dihabisin? Tidakkah kita ketahui bahwa sebagian besar pesantren di Kal-Teng itu didirikan oleh suku Madura, bahkan pesantren terbesarpun adalah milik warga Madura? Kenapa etnis Madura jadi sasaran? Seorang Doter –sekarang bertugas di salah satu Rumah Sakit terkenal di Jakarta- yang juga berperan sebagai da`I selama masa tugasnya di Kalimantan Tengah (Kuala Pembuang dan Pangkalanbun) dalam beberapa tahun yang lalu, mengatakan bahwa suku Madura adalah merupakan suku yang paling lemah di Kal-Teng.
Secara organisatoris mereka tidak mempunyai ikatan atau wadah persekutuan etnis Madura, karena mereka sudah merasa menjadi bagian dari penduduk asli Kalimantan sehingga mereka melebur dengan meluruh komponen masyarakan di sana. Di sisi lain mereka merupakan komonitas yang memperbengkak jumlah komonitas umat Islam Kal-Teng, sehingga jumlah umat Islam Kal-Teng mencapai lebih 80 % . Namun imej yang dilontarkan kepermukaan adalah bahwa orang Islam di Kal-Teng merupakan penduduk menoritas, karena instansi-instansi penting di Pemerintahan setempat banyak dikuasai non muslim (Kristen Dayak).
Usaha kristenisasi di Kalimantan sangat berjalan lamban dan boleh dikatakan gagal. Para mesionaris akhirnya memilih Dayak sebagai sasaran dan alat untuk mencapai tujuan. Orang Dayak yang berhasil dikristenkan dikader untuk memainkan peran dalam proses kristenisasi dan menyingkirkan orang-orang Islam atau paling tidak, menjauhkan generasi Islam dari nilai-nilai ajaran islam. Sebagai contoh, Kec. Seruyan Hilir (Kuala Pembuang) mayoritas 96 % penduduknya adalah Muslim, yang terdiri dari berbagai etnis Banjar, Madura, Dayak dan Bugis.
Letaknya sangat stategis, karena merupakan kota transit bagi wilayah-wilayah pedalaman. Di Kec. Ini dahulunya tidak ada tempat lokalisasi pelacuran, tidak ada tempat perjudian, tidak ada tempat penjualan minuman keras dan tidak ada gereja. Akan tetapi, setelah jabatan pembantu Bupati dipegang oleh seorang dari etnis Dayak Kristen yang istrinya adalah seorang misionaris, maka gereja didirkan, tempat pelacuran dan perjudian diadakan, izin penjualan minuman keras diberikan (kepada orang keturunan cina ) yang mengakibatkan hancurnya akhlak generasi setempat sekalipun telah banyak mengundang berbagai protes dari tokoh-tokoh masyarakat setempat.
Bahkan, setelah masa tugasnya berakhir ia memilih menjadi stap dari pada dipindah dari Kuala Pembuang dan menjadi pelindung tempat-tempat kemaksiatan tersebut. Yang lebih parah lagi, ketika jalan Sampit-Kuala Pembuang dapat dioprasikan, orang tersebut berusaha untuk membuka lokalisasi pelacuran baru di km. 7 dekat perkampungan etnis Madura sekalipun protes keras dilancarkan oleh kepala desa dan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Bahkan ia menawarkan sebuah mobil Kijang kepada kepala Desa asal dizinkan rencananya.
Dengan sinis ia mengatakan “Orang Madura orang suci tidak menyukai keramaian!!”
Ketika SMU N I Kuala Pembuang dikepalai oleh orang Kristen Dayak, banyak anak SMU yang masuk sekolah dalam keadaan teler (mabuk). Mereka pun akhirnya diusir oleh guru-guru Muslim. Namun Kep. Sek. Melarang tindakan guru-guru tersebut dan ia mengatakan kepada mereka “biarkan mereka mabuk asal sekolah!”.
Etnis Madura yang tinggal di Kalimantan-Tengah (begitu juga di wilayah lainnya) tidak satupun dari mereka yang tidak muslim dan mereka mempunyai peran penting dalam memperkuat posisi Islam di Kalimantan. Hal itu terbukti dengan masjid-masjid dan pesantren serta Madrasah-madrasah yang mereka dirikan. Bahkan, untuk wilayah Kal-Teng mayoritas pesantren didirkan oleh etnis Madura, bahkan yang terbesar di Sampit dan di Palangkaraya pun pesantren yang dipimpin oleh etnis Madura, yang sekarang ludes diamuk etnis Dayak.
Bagi Masyarakat Dayak yang masih menganut kepercayaan Kaharingan (19 %) (Animesme) perbedaan agama sebenarnya tidak menjadi masalah dan mereka tidak pernah diresahkan dengan berkembangnya agama Islam di Kalimantan, karena memang etnis Madura dan etnis lainnya tidak pernah mengusik mereka, dan bila mereka memeluk Islam itupun karena kerelaan mereka. Tetapi berbeda dengan etnis Dayak yang sudah dikader menjadi misionaris oleh para Zending Batak di pedalaman.
Dayak Kristen inilah yang dijadikan alat oleh mereka untuk mencapai sasaran mereka. Untuk mencapai tujuan, maka Ikatan Mastyarakat Dayak pun dibentuk sebagai wadah kekuatan masyarakat Dayak. Sehingga apabila timeng waktu untuk merencanakan makar, masyarakat dayak Animesme dan Dayak Kristen menghimpun menjadi suatu kekuatan.
Otonomi Daerah Menimbukan kekhatiran Kristen Dayak.
Baru saja saya dihubungi teman dari Samuda (dini hari Senin 25/2) bahwa isu yang mereka sebar luaskan dikalangan etnis Dayak dan untuk memperteguh jiw a juang dan menanamkan kebencian mendalam terhadap etnis Madura adalah “kekhawatiran mereka kalau otonomi daerah sudah berjalan, maka yang berkuasa adalah etnis Madura”. “Kalau kita tidak menghabisi etnis Madura maka kita akan dilkuasi mereka”.
Maka di Palangkaraya sekarang sudah terjadi apa yang terjadi di Sampit dan sekarang mereka mulai bergerak ke Kab. Kotawaringin Barat (Pangkalanbun dan sekitarnya). Dan mereka menginstruksikan kepada perusuh Dayak agar membakar setiap rumah dan bangunan-bangunan lainnya yang diduga milik etnis Madura yang telah ditinggalkan penduduknya mengungsi. Padahal etnis Madura di sana mayoritasnya adalah petani dan tukang kebun, dan amat sedikit dari mereka yang di Pemerintahan dan yang menjadi pengusaha.
SERUAN DAN AJAKAN :
Melalu tulisan ini kami masyarakat Kalimantan Tengah menyerukan :
- Pemerintah harus segera menghentikan pembunuhan dan pembasmian terhadap muslim Madura di Kal-Teng.
- Menyerukan agar aparat bertindak tegas jangan berat sebelah atau menjadi pengecut.
- Menyerukan kepada Pemerintah untuk memberikan bantuan makanan dan kesehatan kepada para pengungsi yang hampir puluhan ribu jiwa.
- Menyerukan kepada LSM HAM untuk segera mengadakan infestigasi terhadap pelanggaran HAM di Sampit.
- Mendesak Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum untuk segera mengadili Provokator yang mendalangi kerusuhan Sampit.
- Menyerukan kepada tokoh-tokoh partai politik dan pimpinan-pimpinan organisasi Islam untuk mendesakPemerintah agar menghentikan kerusuhan di Kal-Teng dan bertindak tegas.
- Mengajak kaum Muslimin di mana saja agar segera melakukan pembelaan kepada saudara-saudara yang beriman yang sekarang sedang dibasmi oleh Dayak Kristen dan para pendukungnya.
- Menyerukan agar diadakan Tabligh Akbar untuk memberitakan apa yang sebenarnya sedang terjadi terhadap muslimin Madura di Kal-Teng.
Tulisan ini di tulis dengan sejujur-jujurnya oleh:
H. Musthofa Aini. Lc. Mahasiswa Pascasarjana di salah satu Unv. Islam di Jakarta.
Warga asli Sampit dari suku Madura.
Penulis terus mengadakan kontak langsung setiap hari kepada berbagai etis (Banjar dan Jawa) di Sampit untuk menanyakan informasi terbaru tentang kerusuhan.
Penulis juga kembali dari Sampit beberapa minggu yang lalu sebelum tragedi Sampit meletus.
Pusat Informasi & Komunikasi Islam Indonesia Al-Islam
Jl. Pahlawan Revolusi, No 100, Jakarta 13430
Telpon: 62-21-86600703, 86600704, Fax: 62-21-86600712
E-Mail: info@alislam.or.id
2001
Aku cuma sampaikan berita, walaupun satu ayat (bukti) yang aku tahu...
Bersambung, Insya Allah!
Ibnu Hasyim
alamat: ibnuhasyim@gmail.com
26 Feb 2012
Pontianak, Ind.
Lihat catatan perjalanan...
E-Buku IH-51: Perjalanan Ke Kalimantan