Komuniti Cina Indonesia yang dijumpai di Pulau Hainan, Republik Rakyat Tiongkok. Ada yang berasal dari Rote, Kupang, dan di sejumlah daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia. “Saya kaget begitu tahu mereka berasal dari Rote, NTT. Bahkan, mereka sudah enam generasi di Hainan,” ujar Supardi, tokoh masyarakat Indonesia di Hongkong, yang juga aktif menulis untuk media berbahasa Tionghoa, Xingzhouribao.
CATATAN PERJALANAN: Kalimantan siri 15
TERINGAT saya semasa mula sampai di Pontianak, saya bertanya seorang taukeh hotel berbangsa Cina tempat saya menginap, "Berapa peratus penduduk Cina di Kalimantan Barat ini?""Kalimantan Barat.. Hah? Jangankan Kalimantan, pada saya, tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah sejak Indonesia merdeka.." Jawabnya mendengus."Namun perkiraan kasar yang dipercaya sampai sekarang ini, jumlah suku Tionghoa adalah berada di antara 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia. Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika responden sensus ditanyakan mengenai asal suku mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Daerah asal suku Tionghoa-Indonesia adalah di wilayah tenggara Tiongkok."Menurutnya lagi, orang-orang Cina atau Tionghoa dari tenggara Tiongkok itu, termasuk suku-suku, Hakka, Hainan, Hokkien, Kantonis, Hokchia, Tiochiu. Daerah asal tertumpu di persisir tenggara situ ialah kerana dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou, malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.
Ibnu Hasyim sedang minum air dari perigi Abi Waqqas di kawasan Maqam beliau di Guangzhou kira-kira 4 tahun lalu. (
Haus Di Maqam Abi Waqqas..)
Kembali menelusuri sejarah kedatangan Islam di Cina, asalnya orang China mengenal Islam dengan sebutan
Yisilan Jiao yang berarti ‘
agama yang murni’. Masyarakat Tiongkok menyebut Makkah sebagai tempat kelahiran
‘Ma-hia-wu’ (
Nabi Muhammad SAW). Ajaran Islam pertama kali tiba di China pada sekitar tahun 615 M. Adalah Khalifah Utsman bin Affan menugaskan
Sa’ad bin Abi Waqqash membawa ajaran Illahi ke daratan China (Konon,
Sa’ad meninggal dunia di Cina pada tahun 635 M, dan kuburannya dikenal sebagai
Geys’ Mazars).
Gambar: Ibnu Hasyim, semasa berada depan antara masjid yang tertua di negeri China. Masjid Huai Sheng, di bandar Guangzhou. Utusan khalifah itu diterima secara terbuka oleh
Kaisar Yung Wei dari
Dinasti Tang. Kaisar ini, kemudian memerintahkan pembangunan
Masjid Huaisheng atau masjid Memorial di
Kanton, yang merupakan masjid pertama di daratan Cina. Ketika itu
Dinasti Tang berkuasa, China tengah mencapai masa keemasan, sehingga dengan mudah ajaran Islam tersebar dan dikenal masyarakat Tiongkok.
Di dalam kitab sejarah Cina, yang berjudul
'Chiu T’hang Shu' diceritakan Cina pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang
Ta Shih (Arab). Orang-orang
Ta Shih ini, merupakan duta dari
Tan mi mo ni’ (Amirul Mukminin), yang ke-3 (
Khalifah Utsman bin Affan).
Sementara itu,
HAMKA didalam bukunya
'Sejarah Umat Islam' menulis, pada tahun 674M-675M, Cina didatangi salah seorang sahabat Rasulullah,
Muawiyah bin Abu Sufyan (Dinasti Umayyah), bahkan disebutkan setelah kunjungan ke negeri Cina,
Muawiyah melakukan observasi di tanah Jawa, iaitu dengan mendatangi kerajaan
Kalingga.
Berdasarkan catatan, diperoleh informasi, pada masa
Dinasti Umayyah ada 17 duta muslim datang ke China, sementara di masa
Dinasti Abbasiyah dikirim sebanyak 18 duta. Pada awalnya, pemeluk agama Islam terbanyak di China adalah para saudagar dari Arab dan Persia. Orang China yang pertama kali memeluk Islam adalah suku
Hui Chi. Ketika
Dinasti Song bertahta, umat Muslim telah menguasai industri eksport dan import. Bahkan, pada periode itu jabatan direktur jenderal pelayaran secara konsisten dijabat oleh orang Muslim.
Pada tahun 1070 M,
Kaisar Shenzong dari
Dinasti Song mengundang 5,300 lelaki Muslim dari
Bukhara untuk tinggal di China. Tujuannya untuk 'membangun zon penyangga' antara China dengan Kekaisaran Liao di wilayah Timur Laut. Orang-orang
Bukhara itu lalu menetap di daerah antara
Kaifeng dan
Yenching (Beijing). Mereka dipimpin Amir Sayyid alias
‘So-Fei Er’, yang kemudian dikenal sebagai `bapa’ komuniti Muslim di China.
Ketika
Dinasti Mongol Yuan (1274 M -1368 M) berkuasa, jumlah pemeluk Islam di China semakin besar. Mongol, sebagai minoriti di China, memberi kesempatan kepada imigran Muslim untuk naik status menjadi China Han. Sehingga pengaruh umat Islam di China semakin kuat. Ratusan ribu imigran Muslim di wilayah Barat dan Asia Tengah direkrut
Dinasti Mongol untuk membantu perluasan wilayah dan pengaruh kekaisaran.
Bangsa Mongol menggunakan jasa orang Persia, Arab dan Uyghur untuk mengurus cukai dan kewangan. Pada waktu itu, banyak Muslim yang memimpin korporasi di awal periode
Dinasti Yuan. Para sarjana Muslim mengkaji astronomi dan menyusun kalender. Selain itu, arkitek Muslim juga membantu mendezain
ibu kota Dinasti Yuan, Khanbaliq (Sumber :
Sejarah Islam di Negeri Tirai Bambu).
Pada masa kekuasaan
Dinasti Ming, Muslim masih memiliki pengaruh yang kuat di lingkaran pemerintahan. Pendiri Dinasti Ming,
Zhu Yuanzhang adalah jenderal Muslim terkemuka Ada lagi
Lan Yu Who, sekitar tahun 1388. Lan memimpin pasukan Dinasti Ming dan menundukkan Mongolia. Selain itu, di masa
Kaisar Yong Le (Zhu Di) muncul seorang pelaut Muslim yang handal, bernama
Laksamana Cheng Ho, seperti disebutkan sebelum ini.
Tujuan utama Kerajaan China pada masa itu adalah Asia Tenggara. Kerana pelayaran sangat tergantung pada angin musim. Maka setiap tahun, para pedagang Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang.
Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan, Sumatra Utara, Bangka-Belitung, Sumatra Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
Taukeh hotel itu nampaknya amat berminat dengan sejarah bangsanya di rantau orang, terutama di Ketapang Pontianak. Dia menjelaskan lagi..
"Dalam perkumpulan se marga bagi orang Tionghoa ada semacam ikatan batin, selain saling tolong menolong, bilamana se marga dalam kesulitan baik moral mahupun material. Itu tergantung kepada yayasan masing- masing. Menurut buku sejarah, marga-marga itu sudah tercatat abad 21 sebelum Masehi berkelanjutan terus-menerus sampai sekarang.
"Tidak akan berubah dalam tulisan kanji dalam 1 marga. Dalam ejaan / dialek bisa berbeda, tetapi tulisan kanji tidak. Menurut para budayawan, didunia ini hanya orang Tionghoa yang memiliki marga yang unik. Tidak akan hilang dan berubah, kecuali oleh rejim Orba (order baru).
"Marga itu ada ratusan, tetapi yang lazim kita temui tidak sampai 100. Sebagai contoh, di Kodya Pontianak yang dikoordinir oleh Yayasan Bhakti Suci ada 52 yayasan. Dari 52 yayasan 3 berupa suku, 27 marga dan 22 gabungan aneka marga. Yang 27 bermarga itu, minimalnya memiliki 100 anggota se marga, baru bisa dirikan yayasan. Yang 22 lagi tidak, kerana sedikit marganya tidak cukup." Jelas taukeh hotel itu lagi.
Menurutnya, tujuan yayasan ini diutamakan adalah untuk mengurus orang yang meninggal dunia bila cukup wang. Bantuan diberi kepada anggota yang kurang mampu atau miskin. Marga Tionghoa selama ribuan tahun tidak berubah, tetap berlanjut dari generasi ke generasi. Sedangkan suku dan dialek dapat berubah sesuai daerah masing-masing..