Catatan Santai Ibnu Hasyim
alamat: ibnuhasyim@gmail.com 11 Jan 2013
KL
Berita Terkini..
Menteri Dalam Negeri,
Gamawan Fauzi, mengatakan bahwa peraturan daerah bisa dibatalkan bila
bermasalah, termasuk perda larangan membonceng motor mengangkang bagi
perempuan yang berlaku per Senin, 7 Januari 2013, di kota Lhokseumawe,
Nanggroe Aceh Darussalam.
“Pemerintah pusat berwenang mengevaluasi dan memverifikasi perda itu,” kata Gamawan.
Sepanjang tahun 2012
saja, pemerintah pusat membatalkan 173 perda dari 3.000 perda yang
dievaluasi. Perda bermasalah memang cukup banyak karena setiap harinya,
satu dari 497 kabupaten/kota di seluruh Indonesia ada saja yang
menerbitkan perda baru.
“Jadi Kementerian Dalam Negeri mencermati
pasal demi pasal dalam perda yang diterbitkan. Dari hasil evaluasi itu,
kadang suatu perda dibatalkan secara keseluruhan, atau dikoreksi
beberapa pasal di dalamnya saja,” ujar Gamawan.
Evaluasi satu perda
memakan waktu dua minggu atau 14 hari. Bila tahun 2012 Kemendagri
mencabut 173 perda, maka tahun 2011 perda yang dicabut berjumlah lebih
banyak lagi, yaitu 361 perda. Total ada sekitar 9.000
perda yang diterbitkan selama periode 2010-2014, itu belum termasuk
perda larangan membonceng motor mengangkang, menghadap ke depan, bagi
perempuan yang baru saja diterbitkan Pemerintah Kota Lhokseumawe, Aceh.
Periode sebelumnya, tahun
2001-2009, hampir 4.000 perda dibatalkan pemerintah. Pembatalan perda
sebanyak itu antara lain karena minimnya peran serta Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dalam mengawal penyusunan perda. “Banyak sekali DPRD yang
masa bodoh,” kata mantan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar.
Ribuan perda itu dicabut
karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, misalnya
Keputusan Presiden, atau karena bertentangan dengan kepentingan umum dan
bersifat diskriminatif.
Terkait perda larangan membonceng motor
dengan menghadap ke depan bagi perempuan di Lhokseumawe, Mendagri belum
tahu apakah perda itu diterbitkan karena dikaitkan dengan tradisi
setempat ataukah karena ada niat untuk mendiskriminasi perempuan. Untuk
itu Kemendagri akan mengevaluasinya segera setelah perda itu dievaluasi
lebih dulu oleh Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam.
Gubernur Aceh, Zaini
Abdullah, belum berkomentar mengenai penerbitan perda tersebut. "Sedang
kami bahas dengan pemda setempat. Butuh waktu," kata Zaini sembari
bergegas memasuki mobil dinasnya usai acara peresmian Jalan
Teunom-Meulaboh.
Merendahkan Harga Diri?
Kementerian
Dalam Negeri saat ini belum menerima dokumen perda larangan membonceng
motor mengangkang bagi perempuan di Lhokseumawe. Namun, kata Gamawan,
kalau perda itu dikeluarkan dengan menjadikan perempuan sebagai alasan,
maka itu tidak tepat.
Pemkot Lhokseumawe sendiri menyatakan,
perda itu dibuat agar perempuan terlihat lebih sopan saat duduk di
sepeda motor, dan agar perempuan tidak berpelukan dengan pasangan yang
bukan muhrimnya. Ide perda ini bermula dari Wali Kota Lhokseumawe,
Suaidi Yahya.
Suaidi mengatakan, perempuan duduk mengangkang
ketika membonceng motor bertentangan dengan kesopanan. Menurutnya, itu
menciderai penerapan syariat Islam di Aceh. Apalagi, ujar Suaidi, budaya
masyarakat Aceh menjunjung tinggi nilai-nilai syariat Islam.
“Perempuan duduk mengangkang di sepeda motor, apalagi dengan pasangan bukan muhrim, merendahkan marwah (harga diri) perempuan itu sendiri,” kata Suaidi.
Namun, pendapat Wali Kota Lhokseumawe itu mendapat tentangan dan protes dari aktivis perempuan di Aceh. Juru bicara Forum
Komunikasi Masyarakat Sipil Lhokseumawe dan Aceh Utara, Safwani,
mengatakan seharusnya Wali Kota melahirkan kebijakan pemberdayaan bagi
perempuan bila benar-benar berniat menaikkan derajat perempuan.
“Terlalu
sempit pandangannya jika perda itu diterbitkan untuk menaikkan derajat
perempuan. Suaidi sendiri tidak punya program berkualitas,” kata
Safwani.
Training Director Jakarta Defensive Driving Consulting,
Jusri Pulubuhu, mengatakan duduk menyamping ketika membonceng motor
justru membahayakan penumpang, pengendara, dan pengguna jalan lainnya.
“Dengan duduk menyamping,
kestabilan dan keseimbangan saat berkendara akan berkurang. Seharusnya
sebelum aturan dibuat, terlebih dahulu harus memperhatikan aspek
keselamatan, baru kepada estetika, norma, dan agama,” ujar Jusri.
Tak hanya kalangan dalam negeri yang mengomentari perda di Aceh itu, tapi juga media otomotif internasional, Jalopnik.
Dalam salah satu artikelnya, media online itu memasukkan salah satu
kota di Aceh tersebut ke dalam daftar tempat terburuk di dunia bagi
wanita pengendara motor.
Seluruh kritik dan tentangan itu tak
menggoyahkan sikap Pemkot Lhokseumawe. Suaidi menegaskan, meski perda
itu tak dipahami oleh orang di luar Aceh, kesopanan sudah menjadi
adat-istiadat Aceh sejak dulu. Pun bila dianggap berbahaya, menurut
Suaidi, itu hanya terjadi jika pengemudi mengebut dalam berkendara. (Viva news)
Sila lihat...
E-Buku IH-59: C/Santai (Minda) IH Mulai Jun 2012
Saya setuju dgn larangan itu kerna kalo ngangkang gitu bisa masuk angin anu nya, boleh jadi asem deh...
ReplyDelete