CATATAN SANTAI IBNU HASYIM
AIR satu jerigen harganya tiga ribu rupiah, kira-kira RM1. Itupun perlu di beli di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Begitu berita terkini dari kumpulan Hidayatullah.com yang baru ke sana. Saya (Ibnu Hasyim) juga pernah ke sana. Lihat catatan perjalanan saya... Jalan Darat Dari Dili T/Leste Ke Kupang Indonesia Itulah yang terjadi di Pulau Kera.
Diceritakan, pulau ini pada zaman Belanda tumbuh sarat dengan pohon kelapa. Milik orang China Kupang 'Toko Baroe'. Tapi dengan kedatangan Jepun tahun 1941, semua pohon kelapa di tebang dengan tujuan supaya tidak ada kapal-kapal laut, musuh mereka masa itu, dapat memanfaatkan pulau ini sebagai tempat persembunyian. Lagi pula pucuk pohon kelapa adalah makanan yang lazat bagi mereka.
Pulau Kera selalu menjadi perhatian bagi siapa saja yang baru pertama kali berkunjung ke Kota Kupang kerana letaknya persis di tengah-tengah Teluk Kupang, antara Kota Kupang dan Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang. Pulau Kera selalu disalah ertikan sebagai Pulau Monyet, sebenarnya pulau Kera bererti pulau Penyu atau Kea, iaitu bukan monyet.
Secara administratif, Pulau Kera merupakan bahagian dari Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Perlu waktu sekitar 30 menit menggunakan perahu motor dari Kupang untuk sampai ke Pulau Kera. Tidak ada dokumen tertulis yang berkisah tentang Sejarah Pulau Kera. Yang pasti Pulau Kera kini ditempati oleh 260 jiwa yang terbahagi dalam 54 keluarga.
Semuanya adalah keluarga nelayan tradisional bersuku Bajo dari Sulawesi, seluruhnya beragama Islam. Diceritakan, Bantiu Rabana adalah salah satu tokoh masyarakat yang dihormati di sana, beliau adalah Imam di Masjid "Darul Bahar", satu-satunya Masjid di Pulau Kera, merupakan bantuan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nusa Tenggara Timur, diresmikan penggunaannya pada tahun 2000.
Kegiatan rutinnya adalah mengaji setiap sore menjelang matahari terbenam . Selain mengabdikan diri mengurus Masjid, Bantiu Rabana juga mengabdi sebagai Ketua Badan Pengurus Madrasah Hifidiyah, satu-satunya madrasah di Pulau Kera yang secara fiziknya sungguh sangat memprihatinkan. Dibangun secara swadaya oleh masyarakat Pulau Kera dan baru beroperasi pada tahun 2007.
Madrasah tak bernama ini, memiliki 43 siswa yang terbagi dalam 3 kelas dengan tenaga pengajar sebanyak 3 orang. Yakni: Bantiu Rabana (lulusan SMEA), Dirman Surang (lulusan MTs) dan Rustam Ndou (lulusan SMA). Madrasah Hifidiyah ini kini dibina oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kupang. Selain Masjid dan Madrasah, ada satu kios di Pulau Kera yang menyediakan barang dagangan keperluan harian untuk masyarakat Pulau Kera.
Menurut berita dari kumpulan Hidayatullah.com lagi..
"Pulau ini memang berada di tengah lautan air. Tapi air bersih menjadi barang langka di sini. Sebab, lautan air itu tidak bisa digunakan untuk memasak. Maklum air laut, rasanya asin. Maka untuk mendapatkan air bersih penduduk harus menempuh perjalanan sekitar 40 menit dengan naik perahu tempel.
"Bukan hanya air bersih yang langka. Listrik dan papan juga tidak ada. Jika malam, untuk menyalakan lampu, penduduk memakai minyak gas. Lebih menyedihkan lagi keadaan rumah mereka, semuanya berupa gubuk terbuat dari seng atau jerami.
Bangunan sekolah itu baru setengah jadi, bangku, papan tulis dan buku-buku juga belum ada..
"Mereka selama ini dianggap masyarakat liar. Pemerintah Kabupaten Kupang hingga kini tidak mengakui keberadaan mereka. Sekalipun faktanya, mereka sudah menghuni pulau berpasir putih itu sejak puluhan tahun lalu. Tapi anehnya, walau pemerintah tidak mengakui keberadaan mereka, setiap pemilu (pilihan raya) mereka diberi hak mencoblos." Demkian menurut kumpulan Hidayatullah.com
Di pulau ini tidak ada fasilitas umum seperti pendidikan atau kesihatan. Tidak ada sekolah, nyaris semua pendudukanya tidak mengenyam bangku sekolah. Termasuk kanak-kanak dan remajanya. Ini yang memprihatinkan. Mata pencarian mereka melaut, yang hasilnya untuk makan kais pagi makan pagi saja..
Seterusnya, menurut kumpulan Hidayatullah.com...
"Keadaan seperti itulah yang mengetuk nurani Syaiful Bahri, dai Hidayatullah di Kupang. Sejak tahun 2000, anak muda ini membina masyarakat Pulau Kera. Sekarang, setidaknya seminggu sekali Syaiful datang membina mereka. Bukan hanya memberi siraman rohani, terkadang ia juga membagi-bagi sembako gratis.
"Belakangan, Syaiful tidak sendirian. Ia ditemani Ramli, dai dari Dewan Dakwah Islamiyah (DDI). Merekalah yang kini bahu membabu membina masyarakat Pulau Kera. Perhatian utama mereka sekarang adalah pendidikan untuk anak-anak dan remaja. “Sekarang kami sedang membangun sekolah,” kata Syaiful.
"Bangunan sekolah itu baru setengah jadi. Berukuran sekitar 5 X 10 meter, dindingnya terbuat dari batako dan beratap seng. Itupun dinding bagian atasnya masih bolong. Untuk fasilitas lain seperti bangku, papan tulis dan buku-buku juga belum ada. “InsyaAllah, nanti kami lengkapi. Sekarang cari dana dulu,” kata Syaiful. Nah, siapa berkenan membantu?"
Berita sebelum ini...
Ada Sunatan Massal di Pulau Kera (Kamis, 05 Januari 2012 )
"Alhamdulillah, anakku akan disunat,’’ seru Ny Hawasa, menyambut Tim Dewan Da’wah dan Hidayatullah yang akan menyelenggarakan sunatan massal di Pulau Takera, Kupang, Nusa Tenggara Timur, dua pekan lalu.
Sunatan diikuti 30 anak bocah Pulau Takera, yang sehari-hari menjadi santri TPA Darul Bahar yang diasuh dua da’i Dewan Da’wah yang ditugaskan di sini. Sebagian peserta juga berasal dari Pulau Sulamu, yang terletak sekitar 1 jam penyeberangan dari Takera.
Pulau Takera mengapung di seberang Darmaga Oeba Kota Kupang, NTT, dihuni 78 keluarga atau 315 jiwa yang semuanya muslim dan dhuafa. Menurut salah seorang tokoh setempat, Naseng Rabbani, nenek moyang mereka dari suku Bajo sudah menghuni Pulau Takera sejak 1911.
‘’Nenek moyang kami dari suku Bajo Sulawesi Tenggara, datang ke sini atas undangan Raja Kupang Nesneno untuk mengajari masyarakat berlaut,” tutur Rabbani.
Para
pelaut Bajo lalu mendiami Pulau Takera, berdasarkan prinsip “di mana
ikan bagus untuk dijemur, di situlah mereka berdiam”. Takera memang
sangat bagus untuk menjemur apa saja termasuk ikan. Sejak pukul 7 pagi
saja, pulau ini sudah sangat menyengat panasnya.
Walau
berjasa secara historis, hingga kini warga Pulau Takera tidak memiliki
status kependudukan, meskipun secara administratif pulau ini termasuk
wilayah Kota Kupang.
Ustadz Ramli, Da’i Dewan Da’wah di NTT, mengatakan, selama ini Dewan Da’wah dan ormas Islam Kupang terus membina warga Pulau Kera.
‘’Persoalan umat di sini adalah minimnya papan, air bersih, listrik, dan sarana pendidikan,’’ ungkapnya. ‘’Mereka korban pemiskinkan secara struktural,’’ tandasnya.
Para nelayan itu dimodali tauke Kupang untuk melaut, tapi hasilnya hampir semua untuk si tauke. Melaut tiga hari berturut-turut dengan awak 4 orang, paling banter masing-masing nelayan mendapat Rp 50 ribu atau senilai dengan 25 jirigen (500 liter) air tawar yang harus mereka beli di Kupang. Itu lantaran kalkulator usaha nelayan berada sepenuhnya di tangan tauke.
Sekolah formal masih jadi kemewahan buat generasi belia Pulau Takera. Namun belakangan ini beberapa remaja Takera mulai keluar pulau untuk melanjutkan sekolah ke Kupang dengan beasiswa dari Dewan Da’wah Islamiyah, Hidayatullah, MUI, dan Bazda NTT. (MR/bowo)
Ustadz Ramli, Da’i Dewan Da’wah di NTT, mengatakan, selama ini Dewan Da’wah dan ormas Islam Kupang terus membina warga Pulau Kera.
‘’Persoalan umat di sini adalah minimnya papan, air bersih, listrik, dan sarana pendidikan,’’ ungkapnya. ‘’Mereka korban pemiskinkan secara struktural,’’ tandasnya.
Para nelayan itu dimodali tauke Kupang untuk melaut, tapi hasilnya hampir semua untuk si tauke. Melaut tiga hari berturut-turut dengan awak 4 orang, paling banter masing-masing nelayan mendapat Rp 50 ribu atau senilai dengan 25 jirigen (500 liter) air tawar yang harus mereka beli di Kupang. Itu lantaran kalkulator usaha nelayan berada sepenuhnya di tangan tauke.
Sekolah formal masih jadi kemewahan buat generasi belia Pulau Takera. Namun belakangan ini beberapa remaja Takera mulai keluar pulau untuk melanjutkan sekolah ke Kupang dengan beasiswa dari Dewan Da’wah Islamiyah, Hidayatullah, MUI, dan Bazda NTT. (MR/bowo)
Peserta Sunat Massal Lazis Dewan Da’wah di Pulau Kera NT
Bukan dakwah dari pulau ke pulau sahaja, tetapi juga dakwah dari rakyat kepada kerajaan. Kerajaan yang belum Islam perlu diIslamkan. Kerajaan yang sudah mengaku Islam tetapi tidak laksanakan Islam sepenuhnya perlu disuruh laksanakan sepenuhnya.
Bagaimana menyuruhnya?
Oh, mudah sahaja. PRU 13 sudah dekat, beberapa bulan lagi. Gunakan undi kamu untuk Islam. Untuk manaikkan Islam. Pilih parti yang berperlembagaan Islam. Bukan asobyah kebangsaan, yang menolak hukum Allah. Di Malaysia ada Parti Islam (PAS) dan gabungannya. Tolak parti asobiah UMNO (Pertubuhan Asobiah Melayu Bersatu) dan gabungannya.
Ingat Allah SWT tahu apa yang kita buat, walaupun dalam tempat mengundi yang kononnya dirahsiakan.
UNDILAH PAs DAN RAKAN-RAKANNYA!
Wassalam.
Catatan Santai Ibnu Hasyim
Alamat: ibnuhasyim@gmail.com
23 Jan 2013
KL
Sila lihat...
E-Buku IH-59: C/Santai (Minda) IH Mulai Jun 2012
No comments:
Post a Comment