Parlindoengan Loebis-lah orangnya, dimana selama empat tahun (1941-1945) dia menjalani hidup sebagai tahanan politik di kamp konsentrasi Nazi Jerman. Tahun 1936 sampai 1939, dia menjadi ketua Perhimpunan Indonesia yang berhaluan kiri dan anti fasisme. Nazi menganggap organisasi ini berbahaya dan harus dibinasakan. Ini yang menjadi penyebab mengapa Parlindoengan Loebis bersama tokoh-tokoh PI lainnya ditangkap dan dijebloskan ke dalam kamp konsentrasi tanpa melalui proses persidangan. |
Nazi memang tidak pandang bulu, orang-orang yang dicurigai dan pernah aktif pada satu organisasi tertentu yang berseberangan dicaplok dan dapat dipastikan orang tersebut sudah berada di kamp-kamp konsentrasi.
Meskipun dia bukanlah satu-satunya orang Indonesia yang dimasukkan di kamp konsentrasi Nazi, tapi dapat dikatakan dialah satu-satunya yang berhasil selamat, dan semua ini sebagian besar berkat pendidikan dokter yang pernah dia pelajari selama kuliah di negeri Belanda.
Parlindoengan Loebis lahir di Batang Toru, lima puluh kilometer dari Sibolga, Tapanuli Selatan, tanggal 30 juni 1910. Orang tuanya (Karisoetan gelar Soetan Goeroe Sinomba dan Siti Halidjah) dari kalangan pejabat tinggi pribumi yang kekayaannya mampu menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke luar negeri seperti ke negeri Belanda.
Setelah lulus kandidat I di Algemene Middelbaare School (AMS) jurusan ilmu pasti dan ilmu alam, Parlindoengan Loebis melanjutkan ke sekolah tinggi kedokteran Universitas Leiden negeri Belanda. September 1932, dia tiba di Rotterdam dan langsung mendaftar sebagai mahasiswa kedokteran. Selama jadi mahasiswa dan kuliah di Leiden, dia aktif sebagai pengurus organisasi mahasiswa Indonesia negeri Belanda yang bernama Perhimpoenan Indonesia (PI). Organisasi inilah yang aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di negeri Belanda.
Loebis berangkat ke Negeri Belanda setelah lulus Kandidat I di Betawi (begitu dia menuliskannya). Semasa di Betawi, ia sempat aktif di Jong Islamieten Bond dan Jong Batak, yang kemudian bersama perhimpunan mahasiswa lain (selain Jong Java) bersatu membentuk PPPI dan Indonesia Moeda.
Sepeninggal Hatta cs, PI bersifat kekirian, dengan garis Stalinis yang jelas. Sempat Loebis menjadi ketua, selama 3 tahun, dan membawa PI ke arah yang tak begitu kiri. Kerjasama dengan Partai Komunis Belanda dihentikan, dan digantikan dengan kerjasama dengan Partai Sosialis (SDAP).
Dalam PI sendiri, Parlindoengan Loebis merupakan angkatan kedua setelah Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Santono, Iwa Koesoemasumantri, Ali Sastroamidjojo dan Su****n. Angkatan pertama inilah yang mendominasi pergerakan sebelum dan sesudah Indonesia merdeka. Dia tidak sempat bertemu dengan Hatta di negeri Belanda karena waktu berangkat ke sana, Hatta dalam perjalanan pulang ke Indonesia setelah menyelesaikan studinya. Loebis hanya sempat berpapasan dengan kapal yang membawa Hatta pulang ke tanah air saat melintas di perairan laut merah.
Loebis menjalani kehidupan sebagai mahasiswa di negeri asing tidak dalam keadaan mudah begitu saja, apalagi waktu itu terjadi krisis ekonomi global yang lebih dikenal sebagai Malaise, sehingga menambah beban para mahasiswa bangsa ini yang menuntut ilmu di negeri-negeri Eropa (khususnya di Belanda). Disini pula dia bertemu dengan jodohnya, Johana Soumokil (nanti lebih dikenal sebagai Jo Loebis), orang pribumi lain keturunan Maluku yang mengikuti ayahnya yang bekerja di negeri keju.
Kehidupan tampaknya akan baik-baik saja bagi pasangan muda ini. Tapi kemudian Perang Dunia II pecah. Bulan Mei 1940, saat Jerman bergerak ke barat, Belanda yang dengan arogan menjajah kita selama ratusan tahun menyerah nyaris tanpa perlawanan, dan berhasil ditunjukkan setelah hanya mampu melawan selama 4 hari saja!
Bahkan kemudian kehidupan masih tampak normal dalam pendudukan Jerman. Sebelum serangan Jerman pun, partai NSB pro Jerman pernah memperoleh suara cukup besar (separuh suara) dari rakyat Belanda. Selama pendudukan Jerman ini, Loebis sempat lulus di Leiden, menikah di Haarlem, menjajagi bekerja di Utrecht, dan akhirnya membuka praktek di Amsterdam. Tapi kemudian, 26 Juni 1941, dua orang reserse Belanda menjemputnya. Loebis dipenjarakan, dan kemudian dipindahkan ke Kamp Konsentrasi. (Baru pada tahun 1945, Loebis mengetahui alasan penahanannya: Jerman baru membuka front baru melawan Sovyet, dan para aktivis gerakan pro komunis ditakutkan menjadi partisan di belakang front).
Kamp Konsentrasi yang pertama dihuni adalah Kamp Schoorl. Di sini, tawanan belum disuruh bekerja, tetapi hanya disuruh apel dan berolah raga. Kemudian seluruh isi kamp ini digabungkan ke Kamp Amersfoort. Di sini, tawanan memperoleh perkerjaan konstruksi, termasuk memasang kawat berduri. Juga mulai sering disiksa secara kejam, baik oleh orang Jerman, maupun terutama oleh orang NSB.
Loebis kemudian dipindahkan ke Kamp Buchenwald di Jerman. Di sini Loebis mulai kehilangan harapan untuk dibebaskan, kecuali perang berakhir dengan kekalahan Jerman. Ia memutuskan untuk hidup secara efisien dan tanpa hati, untuk bertahan hidup selama mungkin. Di Buchenwald, mereka membuka hutan di pegunungan berkabut, memecah batu, membuat barak, saluran air, listrik, bengkel, dan lain-lain, selama 7 hari seminggu, 14 jam sehari. Tawanan sering dipukuli, bahkan hingga mati. Tawanan yang ketahuan mengobrol akan ditembak tanpa ampun.
Namun kemudian Loebis dipindahkan lagi, pada Oktober 1942, ke Sachsenhausen, ke instalasi pabrik pesawat perang Heinkel. Di sini situasi lebih baik. Kamp lebih difokuskan pada pekerjaan teknis, biarpun kekejaman masih berlangsung, dan menyita nyawa manusia segala bangsa di sana. Kali ini, Loebis ditugaskan sebagai dokter kamp, sehingga tugasnya lebih ringan. Loebis jarang mengulas tentang Yahudi. Ia beralasan bahwa barangkali para Yahudi dipisahkan, dan ditempatkan di kamp tersendiri. Atau barangkali … entahlah.
Saat akhirnya pasukan sekutu berhasil masuk ke Jerman, Kamp kacau. Para tawanan dan penjaga membentuk barisan tak teratur yang terus bergerak ke barat. Tawanan yang keluar barisan langsung ditembak di belakang kepala. Tapi banyak juga penjaga yang juga lari memisahkan diri. Mereka akhirnya berhenti di kampung Grabouw. Sempat barisan dari kamp lain bergabung. Dan akhirnya tentara Russia masuk juga ke kampung itu. Mereka resmi lepas dari tawanan. Tapi perlu waktu untuk memulihkan diri, dan mencari cara untuk lepas dari kawasan Russia, menyeberangi sungai Elbe, masuk ke kawasan Sekutu Barat, dan akhirnya kembali ke Belanda dengan kereta ke Maastricht, lalu naik mobil ke keluarganya di Amsterdam.
Namun, nun di timur, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, dan pada akhir 1945, berita itu mulai terdengar masyarakat Indonesia di Belanda. Loebis dkk langsung menyatakan diri bagian dari Republik Indonesia yang merdeka, dan kekikukan kemudian terjadi lagi. Sempat ada Kongres Pemuda Demokrat Sedunia di Cekoslovakia, dan Loebis ingin menghadiri kongres ini, atas nama Indonesia. Tentu Belanda tak memberikan pass, tetapi atas bantuan Inggris, Loebis bisa berangkat. Sambutan untuk Indonesia amat meriah, membuat berang para pemuda Belanda. Loebis kembali ke Belanda menumpang tim Belgia. Pemerintah Belanda akhirnya memperbolehkan orang Indonesia kembali ke negerinya.
Namun dengan status sebagai NICA. Banyak yang mengira bahwa ini adalah support yang baik, karena tidak menyadari bahwa NICA justru memusuhi Pemerintah Indonesia Merdeka. Loebis sempat menyadari, dan memberi peringatan kepada lainnya. Namun saat ia bertolak pulang, ia diberi juga pangkat Mayor NICA, yang tentu ia tolak. Ia mengambil status sebagai dokter kapal, dan dalam status itu sempat menyelundupkan Dr Setia Boedi (Douwes Dekker) kembali ke Indonesia.
Di Indonesia, Loebis meneruskan karir sebagai dokter, dan menolak berpolitik. Bekerja sebagai dokter di PT Timah, Belitung. Zaman kaum komunis Indonesia bangkit, Loebis difitnah dan dipensiunkan dini, karena dianggap tak mau mendukung kaum komunis. Tapi ia tetap tinggal di Belitung. Saat istrinya meninggal, baru ia pindah ke Jakarta. Loebis meninggal di ujung tahun 1994 (tepatnya tanggal 31 Desember), nyaris tanpa perhatian dari bangsa kita.(Viva)
Lihat sebelum ini..
E-Buku IH-20: Hitler, Masuk Islam & Meninggal Di Indonesia
No comments:
Post a Comment