(ANTARA FOTO/R. Rekotomo)
Jakarta: Satinah akan dipancung awal April tahun ini . Tenaga kerja asal Indonesia itu dinyatakan bersalah telah membunuh dan merompak majikannya di Arab Saudi .
Nyawa Satinah boleh diselamatkan asalkan mampu membayar diyat yang diminta pihak keluarga korban sebesar Rp21 bilion ( Rp1,000,000,000 bersamaan 290,196.40 hari ini) . Angka yang hebat . Permintaan diyat yang sangat besar ini kemudian menuai pro kontra di tanah air .
Satu sisi , undang-undang yang berlaku di Arab Saudi , seseorang yang terbukti membunuh maka ganjarannya adalah hukuman mati , dan boleh bebas jika dimaafkan oleh keluarga asal membayar diyat . Di sisi lain , banyak pihak mahukan Satinah dibebaskan dari hukuman mati kerana hak asasi manusia .
Sebelum memimpin rapat terhad soal pembebasan Satinah , Rabu 26 Mac 2014 , Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan yang menjadi sukar adalah masyarakat tidak boleh membezakan TKI yang mengalami masalah di luar negeri kerana kejahatannya , dengan yang tidak mendapat hak - haknya .
" Saya mengerti jika masyarakat marah , tapi kadang-kadang mereka tidak mengerti . Jika dijatuhkan hukuman , seolah - olah mereka tidak bersalah , " kata SBY .
Kata SBY , undang-undang yang berlaku di Arab Saudi memang seperti itu . Vonis mati berlaku bagi terpidana yang terbukti yang melakukan pembunuhan . Apakah itu TKI , ataupun warga Arab Saudi sendiri .
SBY mengatakan , Indonesia juga akan melakukan perkara yang sama apabila ada warga negara lain yang melakukan kejahatan di Indonesia .
" Itulah yang perlu dijelaskan kepada masyarakat kita , duduk permasalahannya , " ujar dia .
" Diperas " lewat diyat.
Jika diertikan secara terminologi , diyat bermakna wang tebusan yang perlu dibayar pelaku pembunuhan kerana adanya maaf dari keluarga mangsa , guna membebaskan terpidana dari hukuman mati . Satinah boleh bebas jika mampu membayar diyat . Jika tidak tidak boleh membayar wang diyat yang diminta keluarga mangsa , Satinah sudah pasti dipancung .
Angka Rp21 bilion diminta yang keluarga mangsa sebenarnya telah mengalami tiga kali penurunan . Awalnya keluarga mangsa meminta 15 juta Riyal atau Rp45 bilion , kemudian turun menjadi 10 juta Riyal atau Rp30 bilion . Mengapa wang diyat yang diminta begitu besar ?
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi , Muhaimin Iskandar , menilai tindakan mengumpul dana dari masyarakat yang prihatin dengan nasib Satinah justru memunculkan persepsi bahawa negara Indonesia mempunyai wang banyak dan bersedia untuk menebus Satinah dengan diyat berapa .
" Kami sangat menghargai respon awam dan perpaduan soal dana bagi Satinah . Tetapi dengan aksi penggalangan ini , kami khawatirkan angka diyatnya justru makin naik , " ujar Muhaimin Selasa 25 Mac 2014 .
TKI Satinah: Aksi perpaduan untuk Satinah
Nyawa Satinah boleh diselamatkan asalkan mampu membayar diyat yang diminta pihak keluarga korban sebesar Rp21 bilion ( Rp1,000,000,000 bersamaan 290,196.40 hari ini) . Angka yang hebat . Permintaan diyat yang sangat besar ini kemudian menuai pro kontra di tanah air .
Satu sisi , undang-undang yang berlaku di Arab Saudi , seseorang yang terbukti membunuh maka ganjarannya adalah hukuman mati , dan boleh bebas jika dimaafkan oleh keluarga asal membayar diyat . Di sisi lain , banyak pihak mahukan Satinah dibebaskan dari hukuman mati kerana hak asasi manusia .
Sebelum memimpin rapat terhad soal pembebasan Satinah , Rabu 26 Mac 2014 , Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan yang menjadi sukar adalah masyarakat tidak boleh membezakan TKI yang mengalami masalah di luar negeri kerana kejahatannya , dengan yang tidak mendapat hak - haknya .
" Saya mengerti jika masyarakat marah , tapi kadang-kadang mereka tidak mengerti . Jika dijatuhkan hukuman , seolah - olah mereka tidak bersalah , " kata SBY .
Kata SBY , undang-undang yang berlaku di Arab Saudi memang seperti itu . Vonis mati berlaku bagi terpidana yang terbukti yang melakukan pembunuhan . Apakah itu TKI , ataupun warga Arab Saudi sendiri .
SBY mengatakan , Indonesia juga akan melakukan perkara yang sama apabila ada warga negara lain yang melakukan kejahatan di Indonesia .
" Itulah yang perlu dijelaskan kepada masyarakat kita , duduk permasalahannya , " ujar dia .
" Diperas " lewat diyat.
Jika diertikan secara terminologi , diyat bermakna wang tebusan yang perlu dibayar pelaku pembunuhan kerana adanya maaf dari keluarga mangsa , guna membebaskan terpidana dari hukuman mati . Satinah boleh bebas jika mampu membayar diyat . Jika tidak tidak boleh membayar wang diyat yang diminta keluarga mangsa , Satinah sudah pasti dipancung .
Angka Rp21 bilion diminta yang keluarga mangsa sebenarnya telah mengalami tiga kali penurunan . Awalnya keluarga mangsa meminta 15 juta Riyal atau Rp45 bilion , kemudian turun menjadi 10 juta Riyal atau Rp30 bilion . Mengapa wang diyat yang diminta begitu besar ?
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi , Muhaimin Iskandar , menilai tindakan mengumpul dana dari masyarakat yang prihatin dengan nasib Satinah justru memunculkan persepsi bahawa negara Indonesia mempunyai wang banyak dan bersedia untuk menebus Satinah dengan diyat berapa .
" Kami sangat menghargai respon awam dan perpaduan soal dana bagi Satinah . Tetapi dengan aksi penggalangan ini , kami khawatirkan angka diyatnya justru makin naik , " ujar Muhaimin Selasa 25 Mac 2014 .
TKI Satinah: Aksi perpaduan untuk Satinah
Menurut
Muhaimin , berdasarkan pengalaman sebelum ini , respon awam soal
perpaduan melalui dana memang mencetuskan kenaikan diyat . Dari awalnya hanya berkisar sebesar Rp1 bilion , kemudian membengkak menjadi puluhan bilion .
Oleh kerana itu , Muhaimin berharap , aksi perpaduan tersebut tidak perlu dibesar - besarkan , agar tidak menimbulkan persepsi lain dari ahli waris . [ Baca lebih lanjut " Penggalangan Dana untuk TKI Satinah Justru Picu Kenaikan Wang Diyat " ]
Menteri Koordinator Undang-undang , Politik , dan Keselamatan , Djoko Suyanto , melihat diyat saat ini sudah menjadi komoditi .
" Angkanya tidak masuk awal . Peraturan konvensional 100 ekor unta . Tetapi dari tahun ke tahun sudah menjadi komoditi yang tidak sehat . Ada rasa ketidakadilan , " kata Djoko di pejabatnya , Jakarta , Selasa 25 Mac 2014 .
Djoko mengatakan , Raja Arab Saudi pun sebenarnya sudah memberikan maaf kepada Satinah . Tetapi memang , dalam undang-undang negara itu , hukuman mati boleh dicabut jika terpidana mendapat maaf dari keluarga mangsa dan membayar diyat . Sementara , keluarga majikan mengajukan diyat yang sangat besar .
" Kalau mengeluarkan wang sebegitu bagaimana dengan pelaku kejahatan di dalam negeri , " kata Djoko .Meski demikian , Kerajaan , kata Djoko , tetap berupaya tertinggi dalam beberapa hari ke depan untuk membebaskan Satinah . Misalnya , dengan kembali melobi keluarga mangsa ." Dalam peraturan , tidak ada kewajiban pemerintah mengeluarkan wang . Tapi kan tidak mungkin keluarga mengeluarkan wang sebanyak itu , " kata dia .
Hal senada dikatakan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat , Agung Laksono . Agung mengatakan adanya wang diyat sebagai pengganti hukuman mati telah berubah menjadi komoditi bagi masyarakat di Arab Saudi .
" Ini kerana di cover oleh kerajaan dengan pelbagai cara , saya kira ( wang diyat yang diminta ) ini di luar kewajaran , " ujar dia .
" Kita tidak mempersoalkan apakah Satinah itu kerana hukumnya benar atau tidak , tetapi fakta hukumnya dia bersalah . Kita sudah melakukan seintens mungkin . Bagaimana jangan sampai WNI kita dihukum mati di negeri orang , " tuturnya .
Tetapi , kata Agung jangan sampai kerajaan Indonesia menjadi objek permainan orang - orang Arab Saudi yang meminta diyat .
" Kami juga tidak sudi jadi komoditi , apalagi dari pelbagai pihak yang mendorong - dorong keluarga ( korban ) , boleh saja itu berlaku . Kita tidak pernah tahu , " kata dia .
Sejauh ini , kerajaan sudah menawarkan diyat sebesar Rp12.1 bilion kepada keluarga majikan Satinah. Namun , keluarga belum menjawab tawaran itu . Lembaga pemerhati Tenaga Kerja Indonesia ( TKI ) di luar negeri , Migrant Care , bahkan menduga ada mafia diyat di Arab Saudi . Mereka mencatat , ada sejumlah TKI tersandung kes pembunuhan di sana bertanggungjawab wang diyat yang sangat besar .
" Katakan Siti Zaenab yang terancam hukuman mati sejak 1999 itu juga diminta Rp90 bilion , " kata Pengarah Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah di , Jakarta , Jumat 28 Mac 2014 .
Sebelumnya juga ada TKI bernama Darsem , yang dihukum mati kerana membunuh ahli keluarga majikannya . Namun , selepas kerajaan membayar diyat sebesar Rp4.7 miliar , Darsem bebas dari hukum pancung dan boleh kembali ke tanah air .
Anis menegaskan , ada mafia diyat yang selama ini memang bekerja untuk kes - kes TKI atau majikan yang terbunuh . Pada umumnya , kes mereka tidak diselesaikan melalui jalur hukum yang adil , tapi melalui mekanisme diyat .
" Sehingga ini menjadi perniagaan para calo yang selama ini sudah berlangsung lama dan dibiarkan oleh kerajaan . Harusnya ini dibanteras , " ujarnya .
" Artinya ada mafia yang selama ini terancang di antara dua negara di Arab Saudi dan Indonesia . Bisa jadi itu melibatkan dua negara dan mungkin itu juga berkaitan dengan mafia perdagangan orang juga , " kata Anis .
Kembali lobi keluargaKepala BNP2TKI Gatot Abdullah Mansyur optimistik Satinah bebas dari hukuman mati . Kata Gatot , dari hasil rundingan antara kerajaan dengan pihak keluarga mangsa bersetuju bahawa bila mampu menyediakan wang 1 juta real , maka hukuman mati tersebut boleh ditunda hingga dua tahun lagi .
Menurut Ismail , hingga saat ini wang pengganti atau diyat yang dituntut pihak keluarga sebanyak 7.5 juta real atau sekitar Rp21 bilion sudah terkumpul juta 4 real . Sebanyak 3 juta real berasal dari Kementerian Luar Negeri dan 1 juta real dari para donatur .
" Hingga hari ini sudah terkumpul wang diyat sebanyak 4 juta real dan ada tempat 1 juta real lagi dari para donatur lain , " tuturnya .
Wang diyat itu , kata Ismail , dibawa oleh bekas Menteri Agama Maftuh Basyuni yang mewakili Presiden SBY ke Arab Saudi . Maftuh berangkat pada Jumaat 28 Mac 2014 untuk menyerahkan wang tersebut kepada pihak keluarga .
" Semoga pihak keluarga mangsa tidak berubah lagi sehingga nyawa Satinah dapat diselamatkan , " ujar dia .
Gatot berharap dalam rundingan yang kembali digelar itu , kerajaan cukup membayar 5 juta real dari tuntutan keluarga korban 7.5 juta real .
" Semoga yang 2.5 juta real tidak lagi dituntut oleh pihak keluarga mangsa . Kami akan berusaha agar itu tidak berlaku , " tuturnya .
" Saya optimis sekali , Insya Allah Satinah kali ini akan selamat . Raja dan gabenor yang ada di sana akan turut membantu , " katanya .
Kronologi kes Satinah
Satinah bekerja di Arab Saudi tahun 2006 . Mengadu ke tanah Arab melalui penyalur TKI , PT Djasmin Harapan Abadi . Di Arab , Satinah bekerja pada keluarga Nra Al Garib . Kes Satinah terjadi pada 16 Jun 2007 .
Saat itu , perempuan asal Dusun Mruten , Semarang , Jawa Tengah , tersebut bertengkar dengan majikannya , Nura Al Garib . Nura terhantuk kepala Satinah ke tembok kerana telah bercakap dengan anak lelakinya . Peristiwa itu berlaku di dapur .
Perlakuan seperti itu bukan kali pertama dialami Satinah . Sudah berulang . Satinah kerap mendapat perlakuan kasar dari sang majikan . Tapi untuk kali itu , Satinah melawan . Satinah membalas dengan memukulkan kayu penggilingan roti ke bahagian tengkuk sang majikan yang sudah berusia lanjut . Sang majikan langsung pengsan . Setelah dirawat di rumah sakit setelah mengalami koma, majikannya akhirnya meninggal .
Satinah lantas kabur membawa beg majikannya yang mengandungi wang bernilai 37,970 Riyal atau Rp122 juta . Satinah kemudian menyerahkan diri ke pejabat polis tempatan dan mengakui perbuatannya . Sejak saat itu Satinah berada di Penjara Gassem . Kemudian , dalam persidangan syariah tingkat pertama pada 2009 sampai kasasi 2010 , Satinah dijatuhi hukuman mati atas tuduhan melakukan pembunuhan berencana pada majikan perempuannya .
Awalnya Satinah dirancang dihukum mati Ogos 2011 , kemudian diundur Disember 2011 , Disember 2012 , dan Jun 2013 . Akhirnya , keluarga mangsa bersetuju dengan pembayaran diyat selepas kerajaan Indonesia melakukan pendekatan . ( IH/VIVA.co.id )
No comments:
Post a Comment