Oleh Dr. Adian Husaini
USAI khutbah Jumat di sebuah Masjid di kawasan Cibubur, seorang anak muda mendekati saya, dan bertanya,
“Ustad, apakah benar ikut dalam pemilu ini haram hukumnya. Bahkan, ada yang mengatakan, ikut pemilu itu hukumnya kufur, karena berarti terlibat dalam demokrasi, yang merupakan sistem kufur?”
Berulang kali pertanyaan seperti ini saya terima. Benarkah seperti
itu? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita ikuti dialog fiktif antara guru
dan murid berikut ini. Mudah-mudahan dialog ini bisa kita ambil
hikmahnya. Silakan mengikutinya.
Murid: Guru, saya dengar dari berita-berita, partai
Islam diramalkan akan kalah dalam Pemilu 2014, bahkan mungkin akan
semakin kecil perolehan suaranya. Apa benar begitu, Guru?
Guru: Baik kita sepakati dulu definisi partai
Islam adalah partai yang berasaskan Islam. Memang, kalau hanya
mendasarkan pada pemberitaan media massa pada umumnya, nasib
partai-partai Islam seolah-olah kurang menggembirakan. Suara mereka
kalah jauh dibandingkan dengan partai-partai sekuler. Banyak sebab yang
diungkapkan. Kalau tidak ada perubahan yang signifikan dalam pembangunan
citra partai Islam di tengah masyarakat – entah bagaimana caranya –
bukan tidak mungkin perkiraan suara partai-partai Islam itu akan menjadi
kenyataan. Dan nanti, akan dikampayekan, “ Lihat tuh… partai Islam
sudah tidak laku! Masyarakat sudah lebih memilih partai sekuler!”
Murid: Lalu, apa yang harus dilakukan oleh partai Islam, Guru, agar selamat?
Guru: Saya mengusulkan, sebagai bagian taushiyah
sesama Muslim, partai Islam perlu melakukan terobosan besar, tetapi
semua itu tetap dilakukan dalam batas-batas etika Islam. Sebab, bagi
Muslim, menjadi anggota legislatif itu bukan tujuan utama dan bukan
segala-galanya. Saya minta maaf, menurut saya, kurang patut membuat
iklan politik dengan bintang yang mengumbar aurat. Tujuan untuk meraih
suara dari kalangan tertentu, menurut hemat saya, tidak harus dilakukan
dengan cara menampilkan wakil dari kalangan tersebut.
Saya paham, salah
satu “ironi” dalam demokrasi, adalah tidak adanya penilaian kualitas
suara. Yang dinilai hanya kuantitas. Suara kyai sama nilainya dengan
suara penjahat. Suara pelacur sama hitungannya dengan suara wanita
shalihah. Meskipun begitu, jika kita ingin menarik suara para pelacur
tidak sepatutnya menampilkan sosok pelacur aktif sebagai bintang iklan
partai Islam. Menurut saya, dan saya yakin, semua aktivis partai Islam
sepakat, bahwa keridhaan Allah lebih penting ketimbang jumlah suara.
Murid: Guru, kalau partai Islam tidak dengan tegas menyuarakan Islam, apa masih perlu didukung?
Guru: Mendukung itu banyak bentuknya. Jika kita
rajin memberikan taushiyah kepada tokoh-tokoh partai Islam, itu juga
suatu dukungan. Begitu juga dengan dukungan doa. Dalam kaitan pemilu,
pilihan kita hanya dua saja, ikut pemilu atau tidak. Jika ikut pemilu,
maka kita harus memilih. Kita harus memilih yang ada; bukan yang kita
inginkan keberadaannya. Nanti, kalau ada pilihan capres-cawapres, kita
juga dihadapkan pada pilihan-pilihan yang mungkin saja semua calonnya
tidak ideal.
Misalnya, calon yang satu tidak rajin solat, tetapi
memiliki pandangan positif terhadap aspirasi Islam. Calon yang lain,
kelihatan cukup rajin shalat, tetapi dikelilingi orang-orang yang sangat
tidak aspiratif terhadap cita-cita Islam. Calon yang lain, rajin
shalat, tidak korup, tetapi sangat lemah kemampuan intelektual dan
leadershipnya sehingga peluang terpilih sangat kecil.
Murid: Kalau seperti itu, siapa yang harus didukung, Guru?
Guru: Sebenarnya, di sinilah tugas partai Islam
untuk berjuang menampilkan calon-calon legislatif atau calon presiden
yang ideal, sehingga laku dijual di tengah masyarakat. Calon seperti itu
perlu disiapkan jauh-jauh sebelumnya. Saya yakin, masih ada tokoh yang
layak dicalonkan, meskipun mungkin sekarang belum kelihatan. Dalam hal
ini, perlu dipadukan aspek pragmatis dan idealis.
Menurut saya, sudah
saatnya partai Islam berani untuk mencalonkan sendiri calon presidennya.
Pilih orang yang betul-betul mendekati kriteria pemimpin yang ideal
dalam Islam. Bukan hanya karena tampan, kaya, atau populer. Ini semua
perlu persiapan, perlu perencanaan, perhitungan, kesungguhan, dan yang
terpenting, keyakinan akan kemenangan yang diraih dengan pertolongan
Allah. Di partai-partai Islam sekarang, banyak orang-orang pintar, dan
jika berpikir sunguh-sungguh, insyaAllah mampu mencari rumusan strategi
yang baik.
Murid: Guru, saya sering mendengar sekarang,
perjuangan melalui sistem demokrasi, lewat parlemen tidak membuahkan
hasil. Bahkan, FIS di Aljazair dan juga Al Ikhwan al Muslimun di Mesir,
setelah memenangkan Pemilu, akhirnya belum berhasil juga?
Guru: Kalau kita menilai sesuatu, harus dengan
standar yang jelas. Apa yang dimaksud dengan “belum berhasil”? Apakah
kalau belum berhasil meraih kekuasaan yang sempurna, lalu berarti
perjuangan itu tidak ada hasilnya sama sekali? Banyak perjuangan para
Nabi yang akhirnya berujung pada kekalahan melawan penguasa zalim,
seperti Nabi Ibrahim. Apakah kita mengatakan, dengan begitu, bahwa
perjuangan Nabi Ibrahim tidak ada hasilnya dan sia-sia?
Tentu tidak!
Ada juga gerakan-gerakan Islam yang berjuang tidak lewat pemilu dan
mencitakan berdirinya negara Islam (khilafah Islamiyah), tapi sudah
puluhan tahun belum juga terwujud khilafah tersebut, apakah lalu
dikatakan, perjuangan mereka tidak ada hasilnya sama sekali alias
sia-sia juga? Di sinilah perlunya kita memahami masalah secara mendalam, meneliti
secara hati-hati, sebelum menjatuhkan vonis, bahwa perjuangan tersebut
adalah sia-sia atau bathil.
Sebab, kadangkala yang kita nilai itu adalah
orang-orang bahkan tokoh dan ulama yang juga bersungguh-sungguh dalam
menegakkan cita-cita Islam. Bahkan, mungkin apa yang kita kerjakan
sekarang ini, belum ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah
mereka kerjakan. Lahum a’maaluhum, wa-lanaa a’maalunaa. Bagi mereka amal
mereka, dan bagi kita amal kita sendiri.
Murid: Guru, partai-partai Islam itu kenapa sulit bersatu? Guru pernah bilang, mereka sedang dikeroyok untuk dimusnahkan?
Guru: Sebenarnya, yang berpecah belah itu bukan
hanya partai Islam. Partai-partai sekuler juga terpecah belah. Inilah
dunia manusia. Kita tidak bisa menemukan sosok atau kelompok ideal yang
100 persen sempurna. Pasti ada kekurangan dan kelemahannya. Betapa pun
kondisinya, yang tetap perlu dijaga adalah silaturrahim-nya. Tapi, itu
bukan berarti membenarkan perpecahan dalam Islam.
Sebab, jelas sekali, dalam QS Ali Imran:103, kita diperintahkan untuk
berpegang pada “ikatan Allah” dan jangan berpecah belah, wa-laa
tatafarraquu! Lebih jelas, dalam QS ash-Shaff: 4, bahwa Allah mencintai
orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang rapi, laksana
bangunan yang kokoh.
Tentu, mafhum-mukhalafah-nya, Allah tidak cinta
kepada kita, jika kita berjuang di Jalan Allah, tidak dalam barisan yang
rapi; apalagi saling bermusuhan satu sama lain, saling jegal, saling
caci, saling mengintai kelemahan saudara sendiri; yang lebih celaka,
jika bersekutu dengan musuh untuk memerangi saudara sendiri.
Jadi,
berjuang di jalan Allah saja tidak cukup. Berjuang harus dalam barisan
yang rapi; dalam ikatan yang kokoh. Lebih parah lagi, jika tidak
berjuang; atau berjuang tetapi tidak berjuang di jalan Allah, tetapi di
jalan thaghut atau jalan setan. Mari kita introspeksi, apakah kita
berjuang di jalan Allah, karena Allah, untuk memperjuangkan kebenaran,
demi tegaknya kalimah Allah; atau berjuang untuk kebanggaan diri sendiri
atau lebih untuk kebanggaan kelompok!? (Diangkat dari Hidayatullah.com)
No comments:
Post a Comment