SALAH satu tugas dan tanggungjawab setiap muslim adalah berdakwah. Dakwah artinya mengajak, menyeru dan menunjukkan jalan kebenaran. Dakwah bukan tugas Kiai, Ustadz, Dai, Mubalig, dan penceramah saja. Dakwah adalah tugas bagi semua orang sesuai kemampuannya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda;
- “Siapa yang menunjukkan jalan hidayah ia mendapat pahala seperti pahala orang yang mengikuti seruan dakwahnya, tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun.” (HR. Ibnu Majah)
Keengganan mencatat setiap membaca, menyimak khutbah, kuliah, dan ceramah, akan membuat hikmah-hikmah yang kita sudah dapatkan, menguap begitu saja. Padahal, Allah telah mengajarkan penggunaan pena kepada manusia yang memiliki sifat lupa ini.
Dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, beliau selalu berupaya menyerdaskan umat lewat baca-tulis. Dalam suatu peristiwa usai perang Badar, Nabi memberikan tawaran kebebasan kepada sebagian para tawanan dengan syarat mengajarkan baca-tulis kepada para sahabat dan anak-anaknya. Baca-tulis sebagai syarat kebebasan merupakan keputusan langka bahkan termasuk pertama kali yang pernah ada.
Hasilnya? Para sahabat menjadi “gila” menulis. Mereka merasa bersalah jika tidak menulis wahyu atau hadis yang disampaikan oleh Nabi Muhammad. Bangsa Arab yang mengalami kemunduran di berbagai bidang kehidupan, pelan namun pasti, beranjak menjadi bangsa yang maju dan memiliki peradaban mulia.
Kalau tidak karena sikap Nabi yang tidak pernah memberi motivasi menulis dan membaca kepada para sahabat, tentu kita tidak akan pernah tahu seperti apa ayat dan surat dalam Al-Quran, karena tidak ada yang menuliskanya. Kalau bukan karena usaha Nabi untuk membuat sahabatnya gila menulis tentu kita akan buta tentang hadis-hadis yang berisi ajaran dan pola hidup Nabi Muhammd Shallallahu ‘Alaihi Wassallam.
Dakwah dengan pena bagian dari jihad. Inilah yang disebut dengan Jihad bil qalam yang artinya berjuang dengan pena, berjuang mengusir dan membasmi kebodohan dengan tinta.
Seorang ulama pernah berujar, “Apakah seseorang mengira bahwa dengan sibuk mengumpulkan harta di siang hari dan melakukan hubungan intim di malam hari, ia akan menjadi golongan ahli fiqh? Tidak mungkin. Demi Allah tidak mungkin, hingga ia menjadikan buku dan tinta sebagai kawannya dan sikap wara`, selalu mencari ilmu di sepanjang hari, bersabar dalam suka dan duka, dan bersabar dalam menanti cucuran rahmat.”
Pernah dikisahkan, ada seorang ulama yang ketika dalam detik-detik kemangkatannya meminta sesuatu kepada muridnya. Permintaannya di luar dugaan si murid. Sang guru memintanya untuk mengambilkan pena untuk mencatat suatu ilmu. Padahal ia dalam kondisi sakaratul maut.
Suatu kali, guru saya Habib Shalih bin Ahmad Alaydrus pernah menyampaikan suatu pertanyaan, “Apa karomah para Imam Empat Mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafii, dan Ahmad bin Hanbal)?”
Kami, santri di Pesantren Daruttauhid Malang, diam seribu bahasa. Dalam alam pikiran kami, karomah adalah hal-hal luar biasa yang terjadi di luar nalar manusia. Seperti, bisa berjalan di atas air, berpindah dari satu tempat ke tempat berikutnya dalam waktu singkat, atau merubah air menjadi sesuatu yang lain.
Setelah tahu tidak ada yang bisa menjawab, Habib Shalih yang merupakan Alumni Pesantren milik Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki-Makkah ini, mengatakan, “Karomah mereka adalah ilmu mereka yang bermanfaat. Mereka sudah wafat ratusan tahun silam namun sampai detik ini, jutaan umat Islam masih mengikuti ajaran dan mengamalkan ilmu yang mereka sampaikan. Inilah karomah terbesar,” kata-kata beliau masih terngiang kuat dalam pikiran saya sampai detik ini.
Ilmu bermanfat adalah karomah. Para Imam ini memiliki ilmu yang bermanfaat dikarenakan,
- pertama, anugerah Allah dan
- kedua mereka menuliskan ilmu-ilmu yang telah mereka raih.
Seandainya mereka tidak menulis dari mana kita akan bisa memelajari ilmu mereka? Semuanya meninggalkan warisan yang tak ternilai. Meski pun tubuh telah terbalut kafan dan terkubur dalam timbunan tanah beratus-ratus tahun lamanya, namun karya tulisnya terkenang sepanjang masa.
Jihad bil qalam harus menjadi kebiasaan dan tradisi kita. Dunia selalu tergoncang dengan pena sebagai karya yang abadi. Niatkan saat hendak menulis untuk ibadah dakwah agar tiap huruf yang tersusun bernilai pahala di sisi Allah Subhnahahu Wata’ala. Milikilah prinsip, “Menulis apa yang disampaikan dan menyampaikan apa yang ditulis.”
Wallaahu A`lam Bis Showaab.(IH)
No comments:
Post a Comment