“Di sini kami minoritas, cuman ada 16 KK,” ujar Hendro Usmantoro imam masjid Al-Ikhlas
CATATAN PERJALANAN
ADZAN Isya berkumandang di tanah Bulungan. Saya baru saja turun dari speedboat Tarakan-Bulungan. Bukan tanpa sebab kenapa malam baru tiba di ibu kota Kalimantan Utara itu. Esok pagi, perjalanan akan berlanjut ke hulu Sungai Kayang.
Untuk sampai ke lokasi, harus naik speedboat menuju Desa Long Telenjau yang memakan waktu 2,5 jam lebih.
“Itu jika lancar, kalau nanti kehabisan bensin di jalan, atau ada kendala, mungkin bisa sampai 3 – 4 jam,” ujar Luqman Kepala BMH Bulungan.
Masih banyak waktu untuk mencapai tempat terpencil ini. Namun rasanya, badan sudah merinding. Maklum, ini adalah kali pertama saya akan masuk wilayah pedalaman, guna mengunjungi aktivitas dai pedalaman yang dibina Hidayatullah.
Bertemu Dai Long Telenjau
Alam Sungai Kayang 4, nampaknya berbeda dengan Bulungan-Long Telenjau. Arus air Sungai Kayang terlihat jelas dan indah, sementara gelombang sedikit lebih keras. Bahkan beberapa kali speedboat yang saya tumpangi bergoyang keras akibat benturan ombak.
Berbeda dengan speedboat dari Tarakan-Bulungan, speedboat Bulungan-Long Telenjau ini lebih kecil yang hanya berkapasitas 7 penumpang. Jadi begitu mesin dibunyikan, ‘nahkoda’ langsung tancap gas. Saat itulah, speed terasa akan terbang bahkan seakan-akan mau terbalik. Karena begitu gas pertama badan speedboad bagian atas langsung naik seperti akan lepas landas.
Setelah dua jam lebih setia mendengar raungan mesin speedboad yang hanya beberapa puluh centimeter dari tempatku duduk, akhirnya tibalah saya di dermaga Desa Long Telenjau.
Kondisi dermaga ini jauh berbeda dengan pelabuhan Sungai Kayang di Tanjung (Bulungan). Ketika turun, saya harus melepas sepatu dan berpegangan pada speed agar tidak jatuh. Sebab, yang akan jadi pijakanku setelah ini adalah tanah berlumpur. Dengan terpaksa, celana panjangku pun harus dilipat tinggi-tinggi.
Itu belum selesai, mataku langsung menatap dan menyisir tebing sungai dengan derajat kemiringan nyaris 90 derajat.
Saya membawa beberapa kotak berisi kue, telur dan paket untuk dai, sementara Luqman, Kepala BMH Bulungan memanggul beras dan beberapa bawaan lainnya.
Setelah berbasah peluh dan dengan kaki tanpa alas, saya akhirnya tiba di Masjid Al-Ikhlas Long Telenjau. Di sana sudah berkumpul jama’ah shalat Jumat yang tak lebih jumlahnya hanya 20 orang.
“Di sini kami minoritas, cuman ada 16 KK,” ujar Hendro Usmantoro imam masjid Al-Ikhlas. “Tetapi, ya inilah kami, semoga yang segini ini tetap bisa semangat,” ucapnya sembari tersenyum.
“Kami di sini bersyukur ada BMH. Lembaga yang sangat peduli terhadap dakwah. Ini lho, motor dai dari BMH,” ucapnya sembari telunjuknya mengarah pada sebuah motor yang diparkir di halaman masjid.
“Kata Ustadz Luqman sih ini motor untuk dai tangguh. Berarti kami ini tangguh ya,” candanya sembari menepuk punggung Luqman temanku. “Padahal kami cuma melakukan yang kami bisa kok, itu saja,” imbuhnya merendah.
Sehabis Ashar, satu demi satu, anak-anak seumuran TK, SD dan SMP mulai bermunculan menuju masjid.
“Kami mau ikut acara BMH om, Jambore Anak Sholeh,” ucap Icha kepadaku.
Anak kelas 5 SD dari Desa Long Lembu itu terlihat semangat sekali.
Tidak lama kemudian, pembukaan Jambore Anak Nasional BMH yang bekerjasama dengan Asia Muslim Charity Foundation (AMCF) itu dibuka oleh Kepala KUA Kecamatan Peso Hilir.
Dalam sambutannya, Ketua KUA, Mansur, S.Ag, secara terbuka mengucapkan terimakasih tak terhingga karena membantu dakwah di Desa Long Telenjau dengan kegiatan Jambore Anak Sholeh yang diikuti 5 desa di Kecamatan Peso Hilir.
“Terimakasih kepada BMH yang susah payah mau menjangkau Desa Long Telenjau. Semoga sinergis dakwah ini bisa membawa perubahan positif bagi kami yang minoritas di sini dan kebaikan generasi Muslim masa depan,” ucapnya dalam sambutan pembukaan jamboree.
Menariknya, sekalipun Jambore Anak Sholeh ini khusus anak-anak, para guru TPA-nya tak absen mendampingi. Dari masing-masing desa, guru TPA-nya rela ikut bermalam, tidur di masjid. Begitu pula dengan Kepala KUA-nya.
“Wah hebat dai di sini ya, kepala KUA pun bisa ‘dipaksa’ untuk tidur di masjid,” ucap Luqman kepadaku sembari tersenyum bahagia.
Di desa itu, saya pun menikmati buka puasa, taraweh dan sahur bersama anak-anak suku pedalaman.
“Kalian beruntung di tempat ini. Bisa menjadi anak yang baik, tidak terganggu serbuan teknologi dan bisa banyak belajar di masjid. Tetapi, kalian harus bersiap-siap, karena nanti kalian dituntut untuk bisa melanjutkan risalah dakwah ini, bukan sekadar di Long Telenjau. Boleh jadi di seluruh pulau-pulau di negeri tercinta ini,” ucapku kala diberi kesempatan berbagi cerita usai shalat Subuh.
Kala berpamitan pulang, dalam hati aku berdoa, semoga kelak cahaya Islam di Long Telenjau kian berkilau.
“Ya Allah engkau Maha Mengetahui, kabulkanlah harapan dan doaku ini. Aamiin.
Diceritakan oleh Imam Nawawi
Hidayatullah. Com
Lihat sebelum ini..
E-Buku IH-51: Catatan Perjalanan
No comments:
Post a Comment