Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
DAMPAK kasus dugaan penistaan Al-Quran oleh Gubernur (non aktif) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok masih belum padam sampai hari ini. Penulis meyakini – sebagai Muslim yang mengimani Al-Quran sebagai wahyu – energi Al-Quran Surat Al Maidah [5]: 51 ini akan terus “menyedot” banyak perhatian. Buktinya, dunia internasional sudah merespon tentang ini.
Penulis meyakini bahwa ummat Islam tidak akan mundur dalam membela Al-Quran. Karena Al-Quran bagi ummat Islam adalah “nadi” kehidupan mereka. Sepertinya banyak pihak yang tak menduga jika Aksi Damai Bela Islam II pada Jum’at (04/11/2016) lalu akan dihadiri oleh ummat Islam dari berbagai penjuru nusantara: dari Sabang sampai Merauki.
Jumlah yang hadir pun fantastis: diperkirakan mencapai 2,5 juta. Ini jelas tidak bisa dilakukan oleh partai maupun ormas manapun. Yang menggerakkan mereka adalah “kecintaan” mereka kepada Al-Quran sebagai Kitabullah yang suci.
Sehingga saat ini sudah banyak yang mengkhawatirkan sekiranya sampai tanggal 18/11/2016 kasus Ahok tidak tuntas lewat jalur hukum secara berkeadilan, akan muncul Aksi Damai Bela Islam III. Meskipun ini hal yang sah-sahnya saja dalam dunia demokrasi, karena memang ada jaminannya secara hukum.
Namun demikian, ada beberapa hal yang berkaitan dengan penistaan terhadap Al-Quran yang dilakukan oleh Ahok. Setidaknya ada tiga poin penting yang harus diperhatikan:
Pertama, pembela Ahok harusnya “siuman” sekarang. Mengapa? Yang selama ini digembar-gemborkan bahwa Ahok tidak sengaja atau minimal tidak punya niat menghina Al-Quran dan ulama’ di Kepulauan Seribu pada 27/9/2016.
Seolah-olah Ahok baru sekali mengucapkan Qs. 5: 51 itu, ternyata tidak. Karena jika ditelusiri secara lebih serius ternyata Ahok menyatakan hal yang sama bukan pertama kalinya, karena sejak 2008 pun Ahok sudah melakukannya.
Dalam buku biografinya, Merubah Indonesia: The Story of Basuki Tjahaja Purnama (2008),Ahok sudah melakukan kritik terhadap lawan politiknya yang katanya menggunakan surat al-Maidah 51. Lebih jelasnya, mari kita perhatikan kata-kata Ahok berikut,
“Selama karir politik saya dari mendaftarkan diri menjadi anggota partai baru, menjadi ketua cabang, melakukan verifikasi, sampai mengikuti pemilu, kampanya pemilihan bupati, bahkan sampai gubernur, ada ayat yang sama yang saya begitu kenal digunakan untuk memecah belah rakyat dengan tujuan memuluskan jalan meraih punyak kekuasaan oleh oknum yang kerasukan “roh kolonialisme”.” (Merubah Indonesia, 40).
Coba perhatikan, ayat itu kata Ahok, digunakan untuk “memecah-belah” rakyat dengan tujuan memuluskan jalan meraih puncak kekuasaan oleh oknum yang kerasukan “roh kolonialisme”.
Jadi – nanti akan kita lihat – Qs. 5: 51 itu digunakan untuk “memecah-belah” oleh oknum yang kerasukan “roh kolonialisme”. Ini jelas kata-kata yang tak patut diucapkan. Apa ia ada orang yang menggunakan ayat Al-Quran untuk menjadi seorang kolonial, meskipun dalam wujud spiritnya?
Tidakkah Ahok juga sedang menggunakan ayat yang sama dan memahaminya dengan pahamnya agar orang lain tak percaya ayat itu kemudian dia mulis menjadi penguasa?
Mari kita lihat lanjutan kata-kata Ahok berikut:
“Ayat itu sengaja disebarkan oleh oknum-oknum elite karena tidak bisa bersaing dengan visi misi program dan integritas pribadinya. Mereka berusaha berlindung di balik ayat-ayat suci itu agar rakyat dengan konsep “seiman” memilihnya.” (Merubah Indonesia, 40).
Kata-kata Ahok dia juga berbau tuduhan, bahkan ketakutan. Takut kalah oleh orang lain. Bahkan di sini dia sudah menyerang secara personal dengan kata-katanya: “integritas pribadinya”. Seolah-olah Ahok paling punya integritas. Dari sisi mana? Apa standarnya?
Di sini sangat rawan ketika membawa isu “integritas”. Karena standarnya dikaburkan oleh Ahok. Harusnya ada standarnya, agar orang bisa menilai dengan jujur dan adil. Ahok sedang main api dengan ummat Islam ketika mengatakan “berlindung” di balik ayat suci. Karena dia sendiri sedang memanfaatkan ayat itu agar ummat memilihnya.
Lebih jelas ke ayat mana tujuan Ahok, dia menyatakan:
“Dari oknum elit yang berlindung di balik ayat suci agama Islam, mereka menggunakan surat al-Maidah 51. Isinya, melarang rakyat menjadikan kaum Nasrani dan Yahudi menjadi pemimpin mereka, dengan tambahan jangan pernah memilih kafir jadi pemimpin. Intinya, mereka mengajak agar memilih pemimpin dari kaum yang seiman.” (Merubah Indonesia, 40).
Tentu saja kandungan Qs. 5: 51 tidak salah. Ia benar, karena ia wahyu Allah. Isinya pun, meskipun tidak digunakan untuk kampanye misalnya, tetap benar. Kapan dan dimana pun ummat Islam memang tak dibenarkan memilih orang kafir untuk menjadi pemimpin mereka. Hal yang sama juga berlaku bagi agama-agama yang lain: mereka pasti akan disuruh pemuka agama mereka untuk memilih pemimpin yang seiman.
Di sini mari kita bersikap jujur: “Jangan ada dusta di antara kita.” Adalah hipokrit ketika saudara seiman kita suruh memilih pemimpian yang lain agama. Semestinya, baik Ahok maupun para pendukungnya dari kalangan umat Islam ini baca Al-Quran surah al-Maidah itu dilanjutkan sampai ke ayat-ayat berikutnya.
Karena itu masih berkaitan. Ujung Qs. 5: 51 disebutkan, siapa yang memilih mereka maka ia bagian dari mereka. Dan dia gak bakalan dapat hidayah Allah, karena dia telah zalim (Qs. 5: 51). Namun, di sisi lain, ramai-ramai orang munafiq (sakit hatinya, rusak karena nifaq) cepat-cepat mendukung orang kafir, karena takut mendapat musibah (mungkin tak dapat jabatan, tak dapat jatah kursi, tak dapat kemewahan, cobaan kesulitan, dsb.) (Qs. 5: 52).
Orang-orang beriman bertanya, kok bisa orang-orang munafiq lakukan itu? Apakah mereka sungguh-sungguh anut Islam sebagai agamanya? Sungguh, kata Allah, “Amal kebaikan mereka sia-sia. Mereka menjadi orang-orang yang rugi di akhirat.” (Qs. 5: 53).
Karena, ketika orang-orang menjadi munafiq bahkan murtad dari Islam, Allah tidak akan merasa rugi. Agama ini tidak rusak karena perilaku orang-orang murtad dan munafiq.
Allah akan ganti mereka dengan orang-orang mencintai Allah dan Allah mencitai mereka. Mereka santun kepada orang Mukmin dan tegas dan keras kepada orang-orang kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dengan mencampakkan rasa takut untuk dihina. Itulah karena Allah yang diberikan kepada siap yang dikehendaki-Nya (Qs. 5: 54). Idelanya, ummat Islam itu ya seperti kata Allah dalam Qs. 5: 54 ini.
Ahok kemudian memperkuat argumentasinya dengan berkata:
“Padahal, setelah saya tanyakan ke teman-teman, ternyata ayat ini diturunkan pada saat adanya orang-orang muslim yang membunuh Nabi Besar Muhammad SAW dengan cara membuat koalisi dengan kelompok Nasrani dan kelompok Yahudi di tempat itu. Jadi, jelas bukan dalam rangka memilih kepala pemerintahan, karena di NKRI kepala pemerintahan bukanlah kepala agama/imam kepala.” (Merubah Indonesia, 40).
Di sini Ahok mengambil sumber yang salah: teman-teman. Al-Quran ini ditafsirkan oleh ulama’-ulama’ yang otoritatif di bidang Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Bukan manusia biasa yang tidak punya kapasitas dan basis keilmuan. Ada kualifikasi di dalamnya. Termasuk sebab turunnya ayat tersebut, dalam ilmu Asbab an-Nuzūl.
Apakah teman-teman Ahok ulama? Atau Ahokers? Atau siapa? Kalau mereka tak paham Al-Quran sebenarnya mereka sedang menyesatkan Ahok juga. Lantas apa tujuannya?
Mengenai sebab turunnya Qs. 5: 51, ada baiknya kita cermati dengan jujur. Bahwa menurut riwayat dijelaskan bahwa Abdullah bin Ubay bin Salul seorang tokoh munafik Madinah dan Ubadah bin Shamit salah seorang tokoh Islam dari Bani Auf bin Khazraj terikat dengan satu perjanjian untuk saling mempertahankan serta membela dengan kaum Yahudi Bani Qainuqa’.
Ketika Bani Qainuqa’ memerangi Rasulullah, Abdullah bin Ubay tidak melibatkan diri. Manakala Ubadah bin Shamit berangkat mengadap Rasulullah untuk membersihkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari ikatan dengan Bani Qainuqa’ itu serta menggabungkan diri kepada Rasulullah dan menyatakan ketaatan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Maka turunlah ayat di atas sebagai peringatan kepada orang beriman untuk tetap taat kepada Allah dan RasulNya dan tidak mengangkat kaum Yahudi dan Nasara menjadi pemimpin mereka.
(Lihat, Imam Jalaluddin Abu ‘Abd ar-Rahman as-Suyuthi (w. 911 H), Lubāb an-Nuqūl fī Asbāb an-Nuzūl (Beirut-Lebanon: Mu’assasah al-Kutub at-Tsaqafiyyah, 1422 H/2002 M), 103-104. Lihat juga, Imam Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ahmad al-Wahidi an-Naisaburi (w. 468 H), Asbāb an-Nuzūl, editor: ‘Isham ibn ‘Abd al-Muhsin al-Humaidan (ad-Damam: Dar al-Ishlah, 1412 H/1992 M), 198-199).
Maka, sekali lagi, teman-teman Ahok yang katanya pernah ditanya tentang konteks ayat Qs. 5: 51 tidak dapat dijadikan rujukan. Dan ummat Islam lebih percaya kepada para ulama’ mereka dibandingkan siapapun. Apalagi jika yang menafsirkan ayat itu tidak satu aqidah, maka tak bisa dijadikan rujukan pendapatnya. Ditambah lagi orang di luar Islam tentu tidak percaya dan tak mengimanai Al-Quran sebagai wahyu Allah.
Jika Ahok mengatakan bahwa konteks Qs. 5: 51 “tidak dalam rangka memilih kepala pemerintahan, karena NKRI kepala pemerintahan bukanlah kepala agama/imam kepala” jelas dia sedang menafsirkan ayat suci Al-Quran menurut keinginannya. Karena bagi setiap Muslim, ayat-ayat Al-Quran adalah wajib diamalkan semaksimal mungkin. Termasuk Al-Quran menjadi rujukan berbangsa dan bernegara.
Dan Qs. 5: 51 sangat berkaitan dengan larangan memilih pemimpin dari kalangan Yahudi atau Nasrani, apapun bentuk kepemimpinan itu. Nah, kemudian Ahok ternyata mengakui bahwa oknum elite Kristen menggunakan surat Galatia 6: 10 yang isinya, selama kita masih ada kesempatan, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman. (Merubah Indonesia, 49).
Kalau demikian, maka sah-sah saja setiap pemuka agama menyeru kepad jamaahnya untuk memilih pemimpin yang satu aqidah. Apakah ini SARA? Tentu tidak.
Ahok juga melanjutkan,
“Karena kondisi banyaknya oknum elite yang pengecut dan tidak bisa menang dalam pesta demokrasi dan akhirnya mengandalkan hitungan suara berdasarkan se-SARA tadi, maka betapa banyaknya sumber daya manusia dan ekonomi yang kita sia-siakan.” (Merubah Indonesia, 40).
Pernyataan di atas jelas tidak berdasar. Isu SARA dimana pun tak boleh dilakukan, begitu pun dalam pesta demokrasi. Kemudian, ketika Ahok memahami ayat Al-Quran semauanya apakah itu tidak memancing SARA. Apa ada maksud terselubung dari hal itu?
Tentu ada, yaitu untuk mendulang suara dari kalangan Muslim juga. Mengapa pula Ahok menyinggung ayat yang berisi tentang larangan memilih pemimpin dari kalangan Yahudi maupun Nasrani dalam kesempatan di luar kampanye. Karena masa kampanye belum dimulai. Dan jika dikaitkan peristiwa tanggal 27 September 2016 di Kepulauan Seribu dan pernyataannya dalam buku Merubah Indonesia yang terbit pada 2008 maka sangat sulit untuk dikatakan bahwa Ahok melakukan slip of the tongue. Karena kejadiannya berulang. Jika itu sengaja dilakukan, maka penistaannya semakin jelas. Wallahu Aʻlam bis-Shawab.
Penulis adalah pengasuh di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan. Penulis buku Buya Hamka dan Tafsir Al-Azhar (2016) dan pengasuh Majelis As-Shuffah.
(IH)
Penulis meyakini bahwa ummat Islam tidak akan mundur dalam membela Al-Quran. Karena Al-Quran bagi ummat Islam adalah “nadi” kehidupan mereka. Sepertinya banyak pihak yang tak menduga jika Aksi Damai Bela Islam II pada Jum’at (04/11/2016) lalu akan dihadiri oleh ummat Islam dari berbagai penjuru nusantara: dari Sabang sampai Merauki.
Jumlah yang hadir pun fantastis: diperkirakan mencapai 2,5 juta. Ini jelas tidak bisa dilakukan oleh partai maupun ormas manapun. Yang menggerakkan mereka adalah “kecintaan” mereka kepada Al-Quran sebagai Kitabullah yang suci.
Sehingga saat ini sudah banyak yang mengkhawatirkan sekiranya sampai tanggal 18/11/2016 kasus Ahok tidak tuntas lewat jalur hukum secara berkeadilan, akan muncul Aksi Damai Bela Islam III. Meskipun ini hal yang sah-sahnya saja dalam dunia demokrasi, karena memang ada jaminannya secara hukum.
Namun demikian, ada beberapa hal yang berkaitan dengan penistaan terhadap Al-Quran yang dilakukan oleh Ahok. Setidaknya ada tiga poin penting yang harus diperhatikan:
Pertama, pembela Ahok harusnya “siuman” sekarang. Mengapa? Yang selama ini digembar-gemborkan bahwa Ahok tidak sengaja atau minimal tidak punya niat menghina Al-Quran dan ulama’ di Kepulauan Seribu pada 27/9/2016.
Seolah-olah Ahok baru sekali mengucapkan Qs. 5: 51 itu, ternyata tidak. Karena jika ditelusiri secara lebih serius ternyata Ahok menyatakan hal yang sama bukan pertama kalinya, karena sejak 2008 pun Ahok sudah melakukannya.
Dalam buku biografinya, Merubah Indonesia: The Story of Basuki Tjahaja Purnama (2008),Ahok sudah melakukan kritik terhadap lawan politiknya yang katanya menggunakan surat al-Maidah 51. Lebih jelasnya, mari kita perhatikan kata-kata Ahok berikut,
“Selama karir politik saya dari mendaftarkan diri menjadi anggota partai baru, menjadi ketua cabang, melakukan verifikasi, sampai mengikuti pemilu, kampanya pemilihan bupati, bahkan sampai gubernur, ada ayat yang sama yang saya begitu kenal digunakan untuk memecah belah rakyat dengan tujuan memuluskan jalan meraih punyak kekuasaan oleh oknum yang kerasukan “roh kolonialisme”.” (Merubah Indonesia, 40).
Coba perhatikan, ayat itu kata Ahok, digunakan untuk “memecah-belah” rakyat dengan tujuan memuluskan jalan meraih puncak kekuasaan oleh oknum yang kerasukan “roh kolonialisme”.
Jadi – nanti akan kita lihat – Qs. 5: 51 itu digunakan untuk “memecah-belah” oleh oknum yang kerasukan “roh kolonialisme”. Ini jelas kata-kata yang tak patut diucapkan. Apa ia ada orang yang menggunakan ayat Al-Quran untuk menjadi seorang kolonial, meskipun dalam wujud spiritnya?
Tidakkah Ahok juga sedang menggunakan ayat yang sama dan memahaminya dengan pahamnya agar orang lain tak percaya ayat itu kemudian dia mulis menjadi penguasa?
Mari kita lihat lanjutan kata-kata Ahok berikut:
“Ayat itu sengaja disebarkan oleh oknum-oknum elite karena tidak bisa bersaing dengan visi misi program dan integritas pribadinya. Mereka berusaha berlindung di balik ayat-ayat suci itu agar rakyat dengan konsep “seiman” memilihnya.” (Merubah Indonesia, 40).
Kata-kata Ahok dia juga berbau tuduhan, bahkan ketakutan. Takut kalah oleh orang lain. Bahkan di sini dia sudah menyerang secara personal dengan kata-katanya: “integritas pribadinya”. Seolah-olah Ahok paling punya integritas. Dari sisi mana? Apa standarnya?
Di sini sangat rawan ketika membawa isu “integritas”. Karena standarnya dikaburkan oleh Ahok. Harusnya ada standarnya, agar orang bisa menilai dengan jujur dan adil. Ahok sedang main api dengan ummat Islam ketika mengatakan “berlindung” di balik ayat suci. Karena dia sendiri sedang memanfaatkan ayat itu agar ummat memilihnya.
Lebih jelas ke ayat mana tujuan Ahok, dia menyatakan:
“Dari oknum elit yang berlindung di balik ayat suci agama Islam, mereka menggunakan surat al-Maidah 51. Isinya, melarang rakyat menjadikan kaum Nasrani dan Yahudi menjadi pemimpin mereka, dengan tambahan jangan pernah memilih kafir jadi pemimpin. Intinya, mereka mengajak agar memilih pemimpin dari kaum yang seiman.” (Merubah Indonesia, 40).
Tentu saja kandungan Qs. 5: 51 tidak salah. Ia benar, karena ia wahyu Allah. Isinya pun, meskipun tidak digunakan untuk kampanye misalnya, tetap benar. Kapan dan dimana pun ummat Islam memang tak dibenarkan memilih orang kafir untuk menjadi pemimpin mereka. Hal yang sama juga berlaku bagi agama-agama yang lain: mereka pasti akan disuruh pemuka agama mereka untuk memilih pemimpin yang seiman.
Di sini mari kita bersikap jujur: “Jangan ada dusta di antara kita.” Adalah hipokrit ketika saudara seiman kita suruh memilih pemimpian yang lain agama. Semestinya, baik Ahok maupun para pendukungnya dari kalangan umat Islam ini baca Al-Quran surah al-Maidah itu dilanjutkan sampai ke ayat-ayat berikutnya.
Karena itu masih berkaitan. Ujung Qs. 5: 51 disebutkan, siapa yang memilih mereka maka ia bagian dari mereka. Dan dia gak bakalan dapat hidayah Allah, karena dia telah zalim (Qs. 5: 51). Namun, di sisi lain, ramai-ramai orang munafiq (sakit hatinya, rusak karena nifaq) cepat-cepat mendukung orang kafir, karena takut mendapat musibah (mungkin tak dapat jabatan, tak dapat jatah kursi, tak dapat kemewahan, cobaan kesulitan, dsb.) (Qs. 5: 52).
Orang-orang beriman bertanya, kok bisa orang-orang munafiq lakukan itu? Apakah mereka sungguh-sungguh anut Islam sebagai agamanya? Sungguh, kata Allah, “Amal kebaikan mereka sia-sia. Mereka menjadi orang-orang yang rugi di akhirat.” (Qs. 5: 53).
Karena, ketika orang-orang menjadi munafiq bahkan murtad dari Islam, Allah tidak akan merasa rugi. Agama ini tidak rusak karena perilaku orang-orang murtad dan munafiq.
Allah akan ganti mereka dengan orang-orang mencintai Allah dan Allah mencitai mereka. Mereka santun kepada orang Mukmin dan tegas dan keras kepada orang-orang kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dengan mencampakkan rasa takut untuk dihina. Itulah karena Allah yang diberikan kepada siap yang dikehendaki-Nya (Qs. 5: 54). Idelanya, ummat Islam itu ya seperti kata Allah dalam Qs. 5: 54 ini.
Ahok kemudian memperkuat argumentasinya dengan berkata:
“Padahal, setelah saya tanyakan ke teman-teman, ternyata ayat ini diturunkan pada saat adanya orang-orang muslim yang membunuh Nabi Besar Muhammad SAW dengan cara membuat koalisi dengan kelompok Nasrani dan kelompok Yahudi di tempat itu. Jadi, jelas bukan dalam rangka memilih kepala pemerintahan, karena di NKRI kepala pemerintahan bukanlah kepala agama/imam kepala.” (Merubah Indonesia, 40).
Di sini Ahok mengambil sumber yang salah: teman-teman. Al-Quran ini ditafsirkan oleh ulama’-ulama’ yang otoritatif di bidang Ilmu Al-Quran dan Tafsir. Bukan manusia biasa yang tidak punya kapasitas dan basis keilmuan. Ada kualifikasi di dalamnya. Termasuk sebab turunnya ayat tersebut, dalam ilmu Asbab an-Nuzūl.
Apakah teman-teman Ahok ulama? Atau Ahokers? Atau siapa? Kalau mereka tak paham Al-Quran sebenarnya mereka sedang menyesatkan Ahok juga. Lantas apa tujuannya?
Mengenai sebab turunnya Qs. 5: 51, ada baiknya kita cermati dengan jujur. Bahwa menurut riwayat dijelaskan bahwa Abdullah bin Ubay bin Salul seorang tokoh munafik Madinah dan Ubadah bin Shamit salah seorang tokoh Islam dari Bani Auf bin Khazraj terikat dengan satu perjanjian untuk saling mempertahankan serta membela dengan kaum Yahudi Bani Qainuqa’.
Ketika Bani Qainuqa’ memerangi Rasulullah, Abdullah bin Ubay tidak melibatkan diri. Manakala Ubadah bin Shamit berangkat mengadap Rasulullah untuk membersihkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari ikatan dengan Bani Qainuqa’ itu serta menggabungkan diri kepada Rasulullah dan menyatakan ketaatan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Maka turunlah ayat di atas sebagai peringatan kepada orang beriman untuk tetap taat kepada Allah dan RasulNya dan tidak mengangkat kaum Yahudi dan Nasara menjadi pemimpin mereka.
(Lihat, Imam Jalaluddin Abu ‘Abd ar-Rahman as-Suyuthi (w. 911 H), Lubāb an-Nuqūl fī Asbāb an-Nuzūl (Beirut-Lebanon: Mu’assasah al-Kutub at-Tsaqafiyyah, 1422 H/2002 M), 103-104. Lihat juga, Imam Abu al-Hasan ‘Ali ibn Ahmad al-Wahidi an-Naisaburi (w. 468 H), Asbāb an-Nuzūl, editor: ‘Isham ibn ‘Abd al-Muhsin al-Humaidan (ad-Damam: Dar al-Ishlah, 1412 H/1992 M), 198-199).
Maka, sekali lagi, teman-teman Ahok yang katanya pernah ditanya tentang konteks ayat Qs. 5: 51 tidak dapat dijadikan rujukan. Dan ummat Islam lebih percaya kepada para ulama’ mereka dibandingkan siapapun. Apalagi jika yang menafsirkan ayat itu tidak satu aqidah, maka tak bisa dijadikan rujukan pendapatnya. Ditambah lagi orang di luar Islam tentu tidak percaya dan tak mengimanai Al-Quran sebagai wahyu Allah.
Jika Ahok mengatakan bahwa konteks Qs. 5: 51 “tidak dalam rangka memilih kepala pemerintahan, karena NKRI kepala pemerintahan bukanlah kepala agama/imam kepala” jelas dia sedang menafsirkan ayat suci Al-Quran menurut keinginannya. Karena bagi setiap Muslim, ayat-ayat Al-Quran adalah wajib diamalkan semaksimal mungkin. Termasuk Al-Quran menjadi rujukan berbangsa dan bernegara.
Dan Qs. 5: 51 sangat berkaitan dengan larangan memilih pemimpin dari kalangan Yahudi atau Nasrani, apapun bentuk kepemimpinan itu. Nah, kemudian Ahok ternyata mengakui bahwa oknum elite Kristen menggunakan surat Galatia 6: 10 yang isinya, selama kita masih ada kesempatan, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman. (Merubah Indonesia, 49).
Kalau demikian, maka sah-sah saja setiap pemuka agama menyeru kepad jamaahnya untuk memilih pemimpin yang satu aqidah. Apakah ini SARA? Tentu tidak.
Ahok juga melanjutkan,
“Karena kondisi banyaknya oknum elite yang pengecut dan tidak bisa menang dalam pesta demokrasi dan akhirnya mengandalkan hitungan suara berdasarkan se-SARA tadi, maka betapa banyaknya sumber daya manusia dan ekonomi yang kita sia-siakan.” (Merubah Indonesia, 40).
Pernyataan di atas jelas tidak berdasar. Isu SARA dimana pun tak boleh dilakukan, begitu pun dalam pesta demokrasi. Kemudian, ketika Ahok memahami ayat Al-Quran semauanya apakah itu tidak memancing SARA. Apa ada maksud terselubung dari hal itu?
Tentu ada, yaitu untuk mendulang suara dari kalangan Muslim juga. Mengapa pula Ahok menyinggung ayat yang berisi tentang larangan memilih pemimpin dari kalangan Yahudi maupun Nasrani dalam kesempatan di luar kampanye. Karena masa kampanye belum dimulai. Dan jika dikaitkan peristiwa tanggal 27 September 2016 di Kepulauan Seribu dan pernyataannya dalam buku Merubah Indonesia yang terbit pada 2008 maka sangat sulit untuk dikatakan bahwa Ahok melakukan slip of the tongue. Karena kejadiannya berulang. Jika itu sengaja dilakukan, maka penistaannya semakin jelas. Wallahu Aʻlam bis-Shawab.
Penulis adalah pengasuh di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan. Penulis buku Buya Hamka dan Tafsir Al-Azhar (2016) dan pengasuh Majelis As-Shuffah.
(IH)
No comments:
Post a Comment