LARANGAN BERNYANYI (BERMUSIK) DAN BERJOGET
Oleh : Ust. Achmad Rofi’i, Lc. (Siri 3)
...sambungan
(Tanyajawab yang dijawab di sini hanyalah yang berkaian dengan bernyanyi, bermuzik dan berjoget sahaja)
Pertanyaan:
Seperti kita ketahui bahwa menurut riwayat, maka Sunan Drajat itu adalah seorang seniman. Beliau menyebarkan agama Islam di Jawa dengan syair-syair dan nyanyian-nyanyian. Bagaimana kita menyikapi hal tersebut, selain banyak juga seniman-seniman Islam yang berdakwah dengan karya seni suara?
Jawaban:
Kalaupun memang benar riwayat itu ada pada salah seorang pendakwah Islam di Pulau Jawa ketika itu, dan ada pula pendakwah lain yang menggunakan musik, nyanyian, wayang atau wayang golek atau apa saja yang bermakna Musik dan Nyanyian untuk dijadikan sebagai media dakwah; maka tetaplah yang kita ikuti adalah Rosuululloohصلى الله عليه وسلم. Apa sebabnya? Karena Al Qur’an telah melarang Nyanyian. As Sunnah telah melarang Nyanyian.
Maka kalau ada seseorang yang berdakwah, mengajak orang kepada Islam, namun jalan dan cara-cara berdakwah yang digunakannya tidak sesuai dengan Syari’at Islam, tidak sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan tidak sesuai dengan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم; maka yang kita ikuti tetaplah Al Qur’an dan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Walaupun orang yang berdakwah itu dianggap oleh masyarakat sebagai Wali sekalipun, tetapi bila cara-cara dakwahnya menyelisihi tuntunan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم, maka jangan kita jadikan sebagai patokan. Karena hendaknya yang menjadi panutan kita adalah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Kalau cara dakwah yang dipakai bukan berasal dari Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka tetap tergolong berma’shiyat.
Kalaupun itu betul dilaksanakan oleh mereka, maka kita harus mengambil pelajaran bahwa itu adalah cara yang pernah dilakukan dan diterapkan namun merupakan cara yang keliru dan hendaknya tidak ditiru. Dan apabila hal itu dilakukan oleh orang yang sudah berlalu masanya, sudah meninggal, maka bisa jadi baru sampai disitulah ilmu dien yang mereka ketahui pada saat itu.
Yang sudah, maka sudahlah, mudah-mudahan mereka diampuni oleh Allooh سبحانه وتعالى. Bagi kita sekarang yang sudah tahu, maka tidak boleh lagi dijadikan sebagai suatu metode dakwah. Karena Nyanyian/Musik bukanlah metode dakwah yang diajarkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Di zaman sekarang, masih ada sebagian kalangan yang menggunakan metode Nyanyian/Musik untuk berdakwah, misalnya mereka menyebut dirinya “Nada dan Dakwah”, ada “Musik Islami”, ada Qasidah, dll. Tetapi cobalah kita renungkan dengan hati yang jernih, adakah para Mujahid dari kalangan para Salaful Ummah di zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, mereka itu mengingat Allooh سبحانه وتعالى, gigih berjihad di medan laga untuk menegakkan kalimat Laa Ilaaha Illallooh Muhammadur Rosuulullooh lalu terbersit di dalam hati dan pikiran mereka untuk ber-Musik dikala mereka keluar dari rumah-rumah mereka untuk berjihad?
Tentulah tidak.
Maka kalau ada seseorang yang berdakwah, mengajak orang kepada Islam, namun jalan dan cara-cara berdakwah yang digunakannya tidak sesuai dengan Syari’at Islam, tidak sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan tidak sesuai dengan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم; maka yang kita ikuti tetaplah Al Qur’an dan Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Walaupun orang yang berdakwah itu dianggap oleh masyarakat sebagai Wali sekalipun, tetapi bila cara-cara dakwahnya menyelisihi tuntunan Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuul-Nya صلى الله عليه وسلم, maka jangan kita jadikan sebagai patokan. Karena hendaknya yang menjadi panutan kita adalah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Kalau cara dakwah yang dipakai bukan berasal dari Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, maka tetap tergolong berma’shiyat.
Kalaupun itu betul dilaksanakan oleh mereka, maka kita harus mengambil pelajaran bahwa itu adalah cara yang pernah dilakukan dan diterapkan namun merupakan cara yang keliru dan hendaknya tidak ditiru. Dan apabila hal itu dilakukan oleh orang yang sudah berlalu masanya, sudah meninggal, maka bisa jadi baru sampai disitulah ilmu dien yang mereka ketahui pada saat itu.
Yang sudah, maka sudahlah, mudah-mudahan mereka diampuni oleh Allooh سبحانه وتعالى. Bagi kita sekarang yang sudah tahu, maka tidak boleh lagi dijadikan sebagai suatu metode dakwah. Karena Nyanyian/Musik bukanlah metode dakwah yang diajarkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Di zaman sekarang, masih ada sebagian kalangan yang menggunakan metode Nyanyian/Musik untuk berdakwah, misalnya mereka menyebut dirinya “Nada dan Dakwah”, ada “Musik Islami”, ada Qasidah, dll. Tetapi cobalah kita renungkan dengan hati yang jernih, adakah para Mujahid dari kalangan para Salaful Ummah di zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, mereka itu mengingat Allooh سبحانه وتعالى, gigih berjihad di medan laga untuk menegakkan kalimat Laa Ilaaha Illallooh Muhammadur Rosuulullooh lalu terbersit di dalam hati dan pikiran mereka untuk ber-Musik dikala mereka keluar dari rumah-rumah mereka untuk berjihad?
Tentulah tidak.
Bukankah lebih utama untuk mengingat Allooh سبحانه وتعالى, berjuang untuk menegakkan kalimatLaa Ilaaha Illallooh Muhammadur Rosuulullooh itu dengan membekali diri-diri kita dengan dzikir-dzikir ma’tsuur yang diajarkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم? Dengan istighfar, dengan taubat, dengan tawakkul kepada Allooh سبحانه وتعالى, dengan keseriusan dalam hidup untuk mengkaji hukum-hukum Allooh سبحانه وتعالى, karena hidup di dunia ini adalah bagaikan “berjual beli” dengan Allooh سبحانه وتعالى.
Bila ingin mendapatkan cinta dan ridho Allooh سبحانه وتعالى, maka tentulah dengan berdzikir dan berdoa pada-Nya, dan bukannya dengan Nyanyian / Musik yang diharomkan-Nya.
Bila ingin mendapatkan cinta dan ridho Allooh سبحانه وتعالى, maka tentulah dengan berdzikir dan berdoa pada-Nya, dan bukannya dengan Nyanyian / Musik yang diharomkan-Nya.
Pertanyaan:
Apa hukumnya syair yang merupakan ungkapan pada Kitab-Kitab Tafsir?
Jawaban:
Syair yang ada pada Kitab Tafsir, itu Kitab Tafsir apa? Secara husnudzon, kalau Tafsir itu menjelaskan tentang ayat-ayat Allooh سبحانه وتعالى, dan menjabarkan ayat-ayat Allooh سبحانه وتعالى, lalu memakai syair atau syi’ir (– perkataan yang benar adalah “Syi’ir –), maka apabila Syi’ir-Syi’ir didalam Kitab tersebut adalah dalam rangka memperkuat apa yang ditafsirkan dan tetap berada dalam koridor kaidah-kaidah Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, maka yang demikian itu masih termasuk Ja’iz (Boleh).
Adapun syi’ir selain yang disebutkan diatas, maka perlu didetailkan lagi; apalagi berkaitan dengan sastra di zaman sekarang. Perlu dicheck terlebih dahulu, adakah isi atau kandungan redaksi (perkataan) syi’ir-syi’ir tersebut sesuai dengan Syari’at Islam ataukah malah sudah termasuk kedalam perkara berlebih-lebihan dalam berkata-kata atau bersyi’ir yang dapat menyebabkan jatuhnya seseorang kedalam Syirik ataupunBid’ah? Ini perlu dicheck terlebih dahulu.).
Pertanyaan:
Mengenai nyanyian dan musik memang seringkali pelakunya memamerkan aurot dsbnya, namun bagaimana dengan fenomena adanya Da’i yang terkenal di negeri kita ini dimana ia bersama murid-muridnya mengadakan pentas di TV, kelihatannya sopan, santun dan lagu-lagunya juga syahdu. Apakah itu termasuk Harom juga?
Jawaban:
Dari apa yang disampaikan oleh Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله tersebut diatas, maka ada perkataan “Az Zuhdiyaat Al Maliihah”, itu artinya adalah “Kata-kata yang syahdu”. Pada zaman beliau hidup, “Az Zuhdiyaat Al Maliihah” (Kata-kata yang syahdu) itu pun sudah tidak boleh (Harom), apalagi di zaman sekarang yang sudah semakin banyak tambahan-tambahannya.
Maka menurut para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah sebagaimana yang kami sebutkan diatas, apa yang dilakukan oleh siapapun dengan mengatasnamakan dakwah Islam, seterkenal apa pun Da’i tersebut di zaman sekarang, sesering apa pun ia muncul di TV-TV, tetapi bila cara berdakwah yang digunakannya itu tidak sesuai dengan Syari’at Islam; maka tetaplah tidak boleh.
Karena apa yang dilakukannya itu tidak ada contoh dan tuntunannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Boleh anda cari dalam Siroh (Sejarah Islam), adakah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, paraShohabat, ataupun para Taabi’iin, Taabi’ut Taabi’iin dan para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah yang mu’tabar berdakwah dengan menggunakan unsur Musik dan Menyanyi memakai Alat Musik? Tidak ada.
Oleh karena itu, hendaknya kita mencontoh orang-orang yang sudah jelas diridhoi oleh Allooh سبحانه وتعالى sebagaimana Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Perhatikanlah QS. At Taubah (9) ayat 100 berikut ini:
Jawaban:
Syair yang ada pada Kitab Tafsir, itu Kitab Tafsir apa? Secara husnudzon, kalau Tafsir itu menjelaskan tentang ayat-ayat Allooh سبحانه وتعالى, dan menjabarkan ayat-ayat Allooh سبحانه وتعالى, lalu memakai syair atau syi’ir (– perkataan yang benar adalah “Syi’ir –), maka apabila Syi’ir-Syi’ir didalam Kitab tersebut adalah dalam rangka memperkuat apa yang ditafsirkan dan tetap berada dalam koridor kaidah-kaidah Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, maka yang demikian itu masih termasuk Ja’iz (Boleh).
Adapun syi’ir selain yang disebutkan diatas, maka perlu didetailkan lagi; apalagi berkaitan dengan sastra di zaman sekarang. Perlu dicheck terlebih dahulu, adakah isi atau kandungan redaksi (perkataan) syi’ir-syi’ir tersebut sesuai dengan Syari’at Islam ataukah malah sudah termasuk kedalam perkara berlebih-lebihan dalam berkata-kata atau bersyi’ir yang dapat menyebabkan jatuhnya seseorang kedalam Syirik ataupunBid’ah? Ini perlu dicheck terlebih dahulu.).
Pertanyaan:
Mengenai nyanyian dan musik memang seringkali pelakunya memamerkan aurot dsbnya, namun bagaimana dengan fenomena adanya Da’i yang terkenal di negeri kita ini dimana ia bersama murid-muridnya mengadakan pentas di TV, kelihatannya sopan, santun dan lagu-lagunya juga syahdu. Apakah itu termasuk Harom juga?
Jawaban:
Dari apa yang disampaikan oleh Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله tersebut diatas, maka ada perkataan “Az Zuhdiyaat Al Maliihah”, itu artinya adalah “Kata-kata yang syahdu”. Pada zaman beliau hidup, “Az Zuhdiyaat Al Maliihah” (Kata-kata yang syahdu) itu pun sudah tidak boleh (Harom), apalagi di zaman sekarang yang sudah semakin banyak tambahan-tambahannya.
Maka menurut para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah sebagaimana yang kami sebutkan diatas, apa yang dilakukan oleh siapapun dengan mengatasnamakan dakwah Islam, seterkenal apa pun Da’i tersebut di zaman sekarang, sesering apa pun ia muncul di TV-TV, tetapi bila cara berdakwah yang digunakannya itu tidak sesuai dengan Syari’at Islam; maka tetaplah tidak boleh.
Karena apa yang dilakukannya itu tidak ada contoh dan tuntunannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Boleh anda cari dalam Siroh (Sejarah Islam), adakah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, paraShohabat, ataupun para Taabi’iin, Taabi’ut Taabi’iin dan para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah yang mu’tabar berdakwah dengan menggunakan unsur Musik dan Menyanyi memakai Alat Musik? Tidak ada.
Oleh karena itu, hendaknya kita mencontoh orang-orang yang sudah jelas diridhoi oleh Allooh سبحانه وتعالى sebagaimana Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Perhatikanlah QS. At Taubah (9) ayat 100 berikut ini:
وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya:
- “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allooh ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allooh dan Allooh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”
Renungkan pula perkataan Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yakni ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه,
“من كان منكم مستناً فليستن بمن قد مات فإن الحي لا تؤمن عليه الفتنة أولئك أصحاب محمد كانوا والله أفضل هذه الأمة، وأبرها قلوباً وأعمقها علماً وأقلها تكلفاً قوم اختارهم الله لصحبة نبيه وإقامة دينه، فاعرفوا لهم فضلهم واتبعوهم في آثارهم وتمسكوا بما استطعتم من أخلاقهم ودينهم، فإنهم كانوا على الهدي المستقيم”
Artinya:
- “Barangsiapa yang mau mengambil sebagai sunnah, maka ambillah sunnah itu dari orang yang telah mati. Karena orang yang telah mati itu, telah selesai dari fitnah.”
Lalu ditanyakan pada ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه, “Siapakah mereka itu?”
Maka jawab beliau رضي الله عنه, “Mereka ialah para Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.” (Dinukil dari Kitab ‘Aqiidah Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah tulisan Al Imaam Al Laalika’i رحمه الله)
Oleh karena itu hendaknya kita mencontoh para Shohabat Nabi صلى الله عليه وسلم yang telah diridhoi oleh Allooh سبحانه وتعالى, jangan mencontoh kepada orang-orang yang justru cara-caranya tidak sesuai dengan Sunnah dan tidak sesuai dengan para Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Pertanyaan:
Setiap bangsa dan negara, biasanya mempunyai Lagu Kebangsaan. Apakah itu juga tidak boleh?
Jawaban:
Jawaban:
Harus diperinci terlebih dahulu, apakah yang anda maksud dengan “Lagu Kebangsaan” itu merupakan Nyanyian Memakai Alat Musik ataukah merupakan Nyanyian Tanpa Alat Musik? Kemudian, harus diperinci pula apakah dalam redaksinya terdapat kata-kata yang berlebih-lebihan yang menyalahi syari’at Islam ataukah tidak.
Kalau ia bermakna Menyanyi Memakai Alat Musik, artinya sama saja seperti yang sudah kita bahas tadi. Karena munculnya Nyanyian dengan Musik itu dari budaya siapa? Apakah dari budaya Islam? Tidak.
Apakah menyatakan suatu identitas itu haruslah dengan Menyanyi/Bermusik? Banyak cara-cara lain untuk menunjukkan suatu identitas, dengan tanpa menggunakan Nyanyian/Musik.
Sebetulnya kalau kita kaum Muslimin Indonesia ingin serius, bersungguh-sungguh untuk menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai pedoman hidupnya; maka masih banyak identitas lain yang bisa diperlihatkan. Tetapi karena Indonesia bukan semuanya orang Islam, maka pelarangan itu tidaklah bisa untuk umum atau untuk semua orang. Namun, bagi yang Muslim, kenapa tidak mau konsekwen dengan dienul Islamnya?
Pertanyaan:
- Dalam riwayat, ketika Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم hijrah dari Mekkah ke Madinah, beliau disambut oleh orang-orang Anshor Madinah dengan lagu-lagu, misalnya: Asraqol Badru ‘Alaina, dstnya. Apakah yang demikian itu tidak ditafsirkan sebagai Nyanyian?
- Ketika orang sedang mengadakan kegembiraan misal Walimatul ‘Ursy (Pesta Pernikahan), kalau tidak salah ada Haditsnya bahwa dibolehkan asal lagu-lagunya tidak membawa kepada suatu kema’shiyatan. Bagaimana tentang hal itu?
- Untuk lagu-lagu yang bersemangat Jihad, supaya orang bersemagat untuk berjihad, bagaimana dengan lagu-lagu tersebut yang ketika itu dinyanyikan oleh orang Anshor Madinah?
- Nasyid yang dimaksud yang didalam ceritanya merupakan bagian dari penyambutan datangnya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dari Mekkah ketika tiba di Madinah itu, oleh Syaikh Akrom Diyaa’ Al ‘Umari, dalam Kitab As siiroh Nabawiyyah Ash-Shohiihah Jilid I telah di-isbath (dikritisi) bahwa riwayat Hadits tentang adanya Nyanyian dalam penyambutan Hijrah Rosuululloohصلى الله عليه وسلم itu adalah riwayatnya Dho’iif (Lemah). Jadi tidak bisa dijadikan sebagai daliil. Bagi yang tidak puas, maka silakan anda membaca Kitab tersebut yang terdiri dari 2 Jilid. Dan peristiwa tentang Hijrahnya Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم itu ada di Jilid I.
- Mengenai Ad Duf (rebana) yang dibolehkan oleh Syar’i itu adalah hanya dalam 2 Munasabah, yaitu Walimah dan Hari Raya (‘Ied). Jadi hanya boleh di dalam Hari Raya (‘Iedul Fithri atau‘Iedul Adha), atau Walimah khususnya Walimatul ‘Ursy, dan Nyanyiannya tetap tidak boleh yang menggerakkan syahwat.
- Berkenaan dengan Jihad, sebenarnya yang dimaksud dengan “Nasyid” didalam seni ‘Adab(Sastra) adalah seni pembacaan Syi’ir didalam bahasa Arab (mengangkat suara dengan membaca syair-syair sambil berusaha membaguskan dan melembutkan suara). Dan itu bukan dalam bentuk “Nyanyian memakai Alat Musik”, sebagaimana yang banyak dilakukan oleh sebagian kalangan di negeri kita Indonesia ini. Nasyid untuk Jihad, kalau dalam bentuk membaca Syi’ir untuk Jihad, maka itu BOLEH. Misalnya sebelum berangkat ke medan jihad, dibacakanlah syi’ir-syi’ir atau pantun atau kata-kata mutiara lalu orang menjadi bersemangat untuk siap mati menghadap Allooh سبحانه وتعالى, maka yang demikian itu adalah BOLEH.
Berbagai Ulama Ahlus Sunnah Mutaa’akhiriin (zaman sekarang), seperti Syaikh Bin Baaz , Syaikh Muhammad bin Shoolih al-‘Utsaimin, Syaikh al-Albaani, Syaikh ‘Abdullah Al-Jibrin berpendapat bahwa hukum ‘Nasyid‘ adalah mubah, dan sebagian dari mereka menganggap Nasyid sepertiSya’ir. Namun meskipun demikian, para ‘Ulama tersebut membolehkan Nasyid dengan beberapa ketentuan, yaitu: Konten/redaksi dari Nasyid tersebut tidaklah menyelelisihi Syari’at Islam, seperti mengandung kesyirikan atau mengundang syahwat atau mengandung kekufuran atau ejek-ejekan ataupun olok-olokan.
- Tidak diiringi musik / alat musik.
- Konten/redaksinya adalah yang dapat membangkitkan semangat Jihad/ perjuangan, memberikan nasehat-nasehat dan Hikmah-Hikmah.
- Tidak terlalu berlebihan dalam menikmati Nasyid, sehingga dapat melalaikan tugas dan kewajibannya serta memalingkannya dari Al Qur’an.
- Tidak ada background suara yang menyerupai suara musik, meskipun dari suara mulut yang menyerupai alat musik (yang biasa disebut “akapela“), dimana dalam hal ini syaikh Abdul Aziz At-Tarifi mengatakan:
ما شابه الباطل فهو باطل
Artinya:
- “Sesuatu yang menyerupai kebaathilan, maka hukumnya baathil (juga)“.
Dengan demikian, yang dimaksud ‘Nyanyian‘ tercela itu adalah yang diiringi dengan Alat Musik. Sedangkan kata ‘Nasyid’ –seringkali- digunakan untuk yang tidak ada peralatan musik yang dikenal. Sehingga orang yang berbicara tentang “Nyanyian yang tercela” maksudnya adalah lantunan pengundang syahwat yang diiringi peralatan musik. Dan orang yang berbicara tentang Musik maksudnya adalah berbicara tentang penggunaan peralatan musik oleh para Penyanyi dalam Nyanyiannya.
Tetapi “Nasyid” yang dipahami oleh sebagian kalangan di Indonesia di zaman kita ini sangat jauh bentuknya dari “Nasyid” yang dimaksud oleh seni ‘Adab (Sastra) sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang terdahulu. “Nasyid di Indonesia” adalah berupa nyanyian-nyanyian memakai Alat Musik, dan yang seperti ini maka tidak ada tuntunannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم maupun para ‘UlamaSalafus Shoolih pendahulu ummat ini.
Apabila anda ingin mengetahui yang dimaksud dengan “Nasyid” dalam seni ‘Adab (Sastra) contohnya adalah Nasyid tentang “Kicau Bulbul” berikut ini :
Bukankah sangat jauh berbeda dengan yang disebut “Nasyid” oleh sebagian kalangan di negeri kita Indonesia saat ini yang sebenarnya adalah Nyanyian dengan iringan Alat Musik?
Al-Hafiz Ibnu Hajar رحمه الله di dalam Kitab Fathul Baari (10/538) mengatakan, “Termasuk Hida’(– dendangan tanpa alat musik, yang mubah/dibolehkan — pent.) disini adalah Nasyid para jamaah haji yang mencakup kerinduan untuk berhaji dengan menyebut Ka’bah dan pemandangan lainnya. Yang sepadan dengan itu juga Nasyid para Mujahid untuk berperang. Diantaranya juga Nasyid seorang ibu untuk menenangkan anaknya dalam gendongan.”
Jadi semua Nyanyian yang ada pengharaman atau celaan dari ‘Ulama Salafush Shoolih, adalah yang disertai dengan Alat Musik; atau nyanyian wanita asing dihadapan lelaki yang bukan mahromnya atau sebaliknya; atau yang di dalamnya ada lenggak-lenggok dan gerakan kebanci-bancian; atau yang di dalamnya ada kata-kata (menyalahi dien / syari’at) yang mengharuskan untuk diharomkan dan dicela; atau berlebih-lebihan dalam penggunaannya sehingga melalaikannya dari kewajiban dien (agama).
Jadi semua Nyanyian yang ada pengharaman atau celaan dari ‘Ulama Salafush Shoolih, adalah yang disertai dengan Alat Musik; atau nyanyian wanita asing dihadapan lelaki yang bukan mahromnya atau sebaliknya; atau yang di dalamnya ada lenggak-lenggok dan gerakan kebanci-bancian; atau yang di dalamnya ada kata-kata (menyalahi dien / syari’at) yang mengharuskan untuk diharomkan dan dicela; atau berlebih-lebihan dalam penggunaannya sehingga melalaikannya dari kewajiban dien (agama).
Alhamdulillah, kiranya cukup sekian dulu bahasan kita kali ini, mudah-mudahan bermanfaat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Senin malam, 12 Jumadil Akhir 1426 H – 18 Juli 2005 M.
Bersambung..
31 Okt 2016 - Dimuat naik oleh Al-Bahjah TV
Buya Yahya | Hukum Musik Menurut Para Ulama Follow our Channel : Website : http://buyayahya.org ...
1 Okt 2017 - Dimuat naik oleh Al-Bahjah TV
Bagaimana Imam 4 mandzab menghukumi musik? Buya Yahya Al-Bahjah TV Follow our Channel ...
Lihat sebelum ini..
No comments:
Post a Comment