Ibu-ibu mangsa konflik berkumpul di kampung Cot Keeng, Kecamatan Bandar Dua, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Kampung Cot Keeng dirujuk sebagai "kampung balu" kerana wanita di kampung itu ditinggalkan oleh suami mereka yang bertempur dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kampung ini juga menyaksikan sejarah kekerasan konflik di Aceh sejak Kawasan Operasi Tentera (DOM) telah diadakan. | Foto: Alaidin Ikrami
Kampung Tanpa Lelaki
Oleh: Alaidin Ikrami
BANDA ACEH - 2 November 2010
"Kraaak!" Tangan kecil Juwairiah membelah kayu bakar di belakang rumahnya. Perempuan Desa Cot Keeng, Kecamatan Bandar Dua, Pidie Jaya, terbiasa melakukan pekerjaan kaum pria.
“Kalau tidak kerja begini, bagaimana bisa menghidupkan keluarga?” kata perempuan berusia 56 tahun itu, enggan membuka pembicaraan.
Selain melakukan pekerjaan rumah, ibu tiga anak ini harus mengurus ladang. Pekerjaan kasar terpaksa dilakukan Juwairiah sendirian, setelah suaminya ditembak mati ABRI tahun 1990.
Suami Juwairiah dituduh terlibat Gerakan Pengacau Keamanan. Keluarga dilarang menguburkan jenazah. ”Suami saya diculik bulan Puasa, ketika memotong padi milik orang di sawah. Dia dibawa ke kantor Camat Ulee Glee,” tutur Juwairiah sambil berlinang air mata.
Meski kematian suaminya meninggalkan kesedihan mendalam, Juwairiah sadar keluarganya harus tetap hidup. Mencari kayu bakar dan bertani, satu-satunya cara bertahan hidup yang dia tahu.
Perempuan Desa Cot Keeng biasa melakukan pekerjaan kaum pria. Cot Keeng menjadi ”daerah merah” ketika Aceh dicengkeram Daerah Operasi Militer. Ladang pembantaian. Laki-laki tak berani tinggal di rumah.
Separo warga kampung kehilangan suami dan anak laki-laki dewasa. Cot Keeng dikenal sebagai Kampung Janda di kaki Bukit Barisan. Nama tersebut pemberian TNI untuk kampung tanpa suami ini.
Daerah Operasi Militer diberlakukan di Aceh sejak tahun 1989 hingga 1997. Status ini diberlakukan setelah Gubernur Ibrahim Hasan meminta tambahan pasukan kepada Presiden Soeharto.
”Saya mengundang putra-putra terbaik bangsa dari Jakarta untuk membantu memulihkan keamanan di Aceh,” kata Ibrahim Hasan kepada Tempo, Agustus 1998. ”Beri nasi kalau mereka lapar, dan air kelapa jika mereka haus. Ibarat orang meukeurija rayuek (pesta besar), sudah tentu risikonya akan pecah piring dan gelas selusin-dua lusin. Hal itu janganlah jadi soal.”
Salah seorang korban DOM Aceh, Iskandar Hasan, Kepala Desa Blang Miro saat itu. Blang Miro berada tak jauh dari Desa Cot Keeng.
Iskandar ditangkap tentara bersama 60 warga. Warga Desa Cot Keeng dan Blang Miro dituduh mendukung Gerakan Pengacau Keamanan.
Perempuan Desa Cot Keeng biasa melakukan pekerjaan kaum pria. Cot Keeng menjadi ”daerah merah” ketika Aceh dicengkeram Daerah Operasi Militer. Ladang pembantaian. Laki-laki tak berani tinggal di rumah.
Separo warga kampung kehilangan suami dan anak laki-laki dewasa. Cot Keeng dikenal sebagai Kampung Janda di kaki Bukit Barisan. Nama tersebut pemberian TNI untuk kampung tanpa suami ini.
Daerah Operasi Militer diberlakukan di Aceh sejak tahun 1989 hingga 1997. Status ini diberlakukan setelah Gubernur Ibrahim Hasan meminta tambahan pasukan kepada Presiden Soeharto.
”Saya mengundang putra-putra terbaik bangsa dari Jakarta untuk membantu memulihkan keamanan di Aceh,” kata Ibrahim Hasan kepada Tempo, Agustus 1998. ”Beri nasi kalau mereka lapar, dan air kelapa jika mereka haus. Ibarat orang meukeurija rayuek (pesta besar), sudah tentu risikonya akan pecah piring dan gelas selusin-dua lusin. Hal itu janganlah jadi soal.”
Salah seorang korban DOM Aceh, Iskandar Hasan, Kepala Desa Blang Miro saat itu. Blang Miro berada tak jauh dari Desa Cot Keeng.
Iskandar ditangkap tentara bersama 60 warga. Warga Desa Cot Keeng dan Blang Miro dituduh mendukung Gerakan Pengacau Keamanan.
Menurut Iskandar, penangkapan tersebut sebagai peristiwa paling menakutkan selama hidupnya. Hantaman popor senapan bertubi-tubi masih terekam dalam ingatan. Gelap. Kain hitam menutup matanya. ”TNI saat itu benar-benar tidak bermoral. Menangkap warga tanpa alasan,” ujarnya.
Selama penyekapan, Iskandar dipaksa mengaku sebagai anggota GPK. ”Jika tidak mengaku akan dipukuli dengan rotan dan popor senjata. Tubuh kami diinjak-injak. Ada yang ditembak di hadapan semua warga,” katanya.
Akibat penyiksaan, Iskandar kini tak lagi sanggup bekerja berat. Jika melihat tentara bergerombol, tubuhnya gemetar ketakutan. ”Jangankan untuk bekerja, duduk saja saya menahan sakit di punggung dan dada,” ujarnya.
Tidak hanya kaum pria, perempuan Aceh juga menjadi korban kekerasan tentara pada masa DOM. Salah seorang korban, Lina, mengaku tidak dapat melupakan peristiwa tragis yang menimpanya pada tahun 1998.
Lina diperkosa prajurit batalyon yang mendirikan pos penjagaan di Ulee Glee. Prajurit itu memaksanya menandatangani surat pernyataan tidak membawa masalah ini ke pengadilan. Lina hamil. Kini anak perempuannya berusia 12 tahun.
Lina tidak banyak bicara. Lebih banyak tertunduk. Sesekali menarik nafas panjang sambil memilin ujung kerudung.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat, selama diberlakukan Daerah Operasi Militer di Aceh, 102 perempuan menjadi korban pemerkosaan. Ratusan perempuan lainnya disiksa, dianiaya, atau dilecehkan.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan Aceh melaporkan, 1.258 orang tewas dan 550 orang hilang akibat DOM Aceh. ”Itu data yang baru diverifikasi Komnas HAM,” kata Koordinator Kontras Aceh, Hendra Fadhli.
Menurut Hendra, meski warga laki-laki kampung Cot Keeng sudah banyak yang kembali, butuh proses panjang untuk memulihkan mental dan menghapus trauma. “Menghilangkan trauma tidak cukup dengan program pendampingan. Harus ada advokasi dan penegakan hukum. Terutama bagi perempuan korban konflik, para janda, dan anak-anak.” []
Catatan:
Tulisan ini tayang sekitar tanggal 2 November 2010 di situs VHR.com (link –>http://www.vhrmedia.com/2008/Kampung-Tanpa-Lelaki-kisah6410.html)
Tulisan ini tayang sekitar tanggal 2 November 2010 di situs VHR.com (link –>http://www.vhrmedia.com/2008/Kampung-Tanpa-Lelaki-kisah6410.html)
Aktivis dari Koalisi NGO HAM Aceh membawa spanduk saat berunjukrasa dalam rangka memperingati 16 tahun pencabutan Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh di Kantor Komsi HAM Aceh, Banda Aceh, Kamis (7/8). Aksi Koalisi NGO HAM yang tidak mendapat respon oleh Komnas HAM itu menuntut kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Aceh diberlakukan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) diusut tuntas. ANTARA FOTO/Ampelsa/ss/nz/14
Catatan:
Tulisan ini tayang sekitar tanggal 2 November 2010 di situs VHR.com (link –>http://www.vhrmedia.com/2008/Kampung-Tanpa-Lelaki-kisah6410.html)
Hibur Hibur Sikit..
No comments:
Post a Comment