Benteng 'Inong Balee' Atau Janda.
'BERJUANG dijalan Allah', itulah asas kekuatan perjuangan wanita Aceh. Wanita yang ditinggalkan suami atau menjadi janda. Sehingga terungkaplah kekaguman HC Zentgraaff, seorang Belanda, kopral marsose veteran Perang Aceh, dalam bukunya berjudul “De Atjeh” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, berbunyi..
“Wanita Aceh melebihi kaum wanita bangsa-bangsa lainnya dalam keberanian dan tidak gentar mati bahkan merekapun melampaui kaum lelaki.
Bukan sebagai wanita yang lemah dalam mempertahankan cita-cita dan agama mereka, menerima hak asasi di medan juang dan melahirkan anak-anak mereka diantara dua serbuan penyergapan.
Mereka berjuang bersama-sama suaminya, kadang-kadang di sampingnya atau di depannya dan dalam tangannya yang mungil itu kelewang dan rencong menjadi senjata yang berbahaya.
Wanita Aceh berperang di jalan Allah, mereka menolak segala macam kompromi.”
Demikian, kekaguman HC Zentgraaff dalam bukunya “De Atjeh”.
Video:
Inong Balee Beach, Krueng Raya, Aceh Besar, Indonesia
- Tjut Nyak Dhien,
- Tjut Mutia,
- Tjut Meurah Gambang (anak Tjut Nyak Dhien),
- Pocut Baren,
- Tjut Meurah Intan dan
- Laksamana Malahayati.
Tjut Nyak Dhien meneruskan perjuangan suaminya, Teuku Umar.
Tjut Mutia aktif di daerah Pase bergerilya bersama suaminya melawan Belanda. Ketika suaminya tertawan dan dijatuhi hukuman tembak, dia tetap melanjutkan perjuangan.
Pocut Baren, menjadi panglima perang menggantikan suaminya yang gugur di medan perang.
Laksamana Malahayati adalah pemimpin kapal perang, suaminya gugur saat berperang melawan Portugis.
Jadi, Inong Balee adalah janda yang bertekad meneruskan perjuangan suaminya, berjuang di jalan Allah.
Sejarah
Inong Balee, pada saat pemerintahan Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV (1589-1604), secara khusus dibentuk suatu pasukan yang prajuritnya adalah para janda yang suaminya gugur di medan pertempuran, dipimpin Malahayati. Selanjutnya pasukan ini dinamakan pasukan Inong Balee.
Sebagai tempat berkumpul para perempuan ini, dibangunlah Benteng Inong Balee. Selain tempat berkumpul, benteng ini pula adalah tempat untuk mengintai kedatangan kapal ke pelabuhan Kerajaan Aceh kala itu, kerana tempatnya terletak 100 meter di atas permukaan laut.
Dari benteng ini pula para Inong Balee turun bertempur di atas geladak kapal atau di daratan melawan Belanda dan Portugis.
Benteng Inong Belee
Laksamana Wanita Pertama Asia.
Membunuh Cornelis de Houtman dalam pertarungan satu lawan satu di atas geladak kapal.
Pemimpin Pasukan Inong Balee Malahayati dicatat sebagai laksamana perempuan pertama di Asia kerana keberaniannya menyerang kapal serta benteng-benteng Belanda. Dia pula yang membunuh Cornelis de Houtman (orang Belanda yang pertama tiba di Indonesia) dalam pertarungan satu lawan satu di atas geladak kapal tahun 1599.
Di bawah pimpinannya, Inong Balee menjadi pasukan andalan di tanah Aceh. Untuk menghargai kepahlawanan Malahayati, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Skep/1487/XI/1977 mengabadikan namanya di kapal TNI AL dengan nomor lambung 362. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) juga mencatatkan Benteng Inong Balee dalam Daftar Inventaris Benda Cagar Budaya Tidak Bergerak dan Situs dengan nomor registrasi 2/01-06/C/56.
Hingga kini, masih ada sisa-sisa bangunan benteng ini. Tepatnya terletak di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar atau sekitar 34.5 kilometer dari Kota Banda Aceh.
Sepanjang jalan menuju benteng ini pengunjung akan disuguhi panorama laut dan pegunungan Bukit Barisan yang Indah. Walau jalanan mendaki, tidak sulit menemukan benteng itu kerana di tepi jalan ada papan nama yang dipasang Depdiknas bertuliskan Benteng Inong Balee.
Dari Benteng Inong Balee terlihat pemandangan Teluk Krueng Raya dan pegunungan Bukit Barisan. Dari sini terlihat jelas kapal yang keluar masuk dari Pelabuhan Malahayati. Dari benteng ini terlihat juga makam Laksamana Malahayati. Diperkirakan benteng ini dibangun pada abad ke-16 bersamaan dengan pembentukan pasukan Inong Balee.
Bentuk asli benteng ini, menurut perkiraan Depdiknas, adalah persegi panjang, dengan panjang sisi barat mencapai 54 meter, sisi utara 18 meter. Ketinggian mencapai 2.5 meter. Ada tiga lubang pengintai, terowongan. Di sekitar benteng, tepatnya di sebelah utara terdapat sebuah bekas permukiman yang disebut-sebut sebagai Kampung Janda atau Kampung Inong Balee.
2 Perkara Perlu Diperhatikan..
Satu:
Benteng ini juga tak luput dari dampak konflik yang berkepanjangan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Studi kelayakan telah dibuat oleh Depdiknas pada 1999. Dari studi ini dilaporkan dana sekitar Rp 1,6 miliar siap dikucurkan untuk melestarikan peninggalan sejarah ini. Namun demikian , hal itu belum dapat dilaksanakan sepenuhnya. Sekarang kita tidak tahu statusnya bagaimana.
Dua:
Dikatakan sebutan Inong Balee mengandung makna negatif. Bukan lagi sebagai lambang patriotisme bangsa ini, melainkan “menjadi” milik Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pengertian Inong Balee adalah pasukan perempuan GAM. GAM mengklaim, Inong Balee adalah perempuan Aceh yang suaminya mati pada masa Daerah Operasi Militer (DOM) atau dibunuh penjajah seperti masa kolonial dulu. Sekarang Aceh kembali bersama NKRI melalui Perjanjian Helsinki. Segala salah faham boleh diperbetulkan.
Yang penting 'Berjuang dijalan Allah', itulah asas kekuatan perjuangan wanita Aceh. Wanita yang ditinggalkan suami atau menjadi janda. Perlu dikembalikan roh kekuatan berjuang di jalan Allah itu. Itulah asas perjuangan Islam yang menjadi teras kekuatan bangsa Aceh..
Bahagian Penerangan
Persatuan Kebajikan Bangsa Aceh Malaysia (PKBAM)
Kuala Lumpur.29 Jun 2016
Lihat sebelum ini.E-Buku IH-61: P.Kebajikan B/Aceh M'sia
Persatuan Kebajikan Bangsa Aceh Malaysia (PKBAM)
Kuala Lumpur.29 Jun 2016
Lihat sebelum ini.E-Buku IH-61: P.Kebajikan B/Aceh M'sia
No comments:
Post a Comment