CATATAN PERJALANAN IBNU HASYIM
Asal Usul Bangsa Bunian
MEMANG dikatakan kemunculan Bangsa Bunian sedikit banyak memberi perasaan takut dalam diri manusia. Meski mereka sebenarnya tidak mengganggu. Kemunculannya kerap membuat bulu tengkuk merinding.
Maklum, perbedaan alam mereka telah membuat semacam jurang pemisah. Padahal, bila ditelusuri, asal usul kaum Bunian ini adalah manusia juga. Kata orang, keberadaan mereka sangat erat hubungannya dengan kerabat Keraton Sambas. Siapakah sebenarnya kaum Bunian ini?
Tahun 1757 M, Kerajaan Islam Sambas berada di puncak kejayaan. Raden Djamak yang bergelar Sultan Oemar Aqqamaddin (II), naik tahta. Ia mengantikan ayahanda Sulta Abubakar Kamaluddin, keturunan Sultan Hasan Ibnu Syaiful Rizal. Keraton Sambas kerap pula disebut istana Alwaat Zik Hubbillah.
Sambas-Borneo - Catatan sejarah adalah cermin dan gambaran bahawa negeri negeri Melayu di Pulau Borneo mempunyai hubungan dan Silsilah ...
Hasan
Menurut Hasan (65), kuncen Keraton Sambas, yang juga masih keturunan Pangeran Bendahara, putra Sultan Moehammad Tsafiuddin II, menolak jika ghaibnya sang pangeran kerana diambil untuk dijadikan raja di Kerajaan Bunian.
“Itu tidak benar. Tidak ada orang Bunian yang mengambil Raden Sandi. Beliau ghaib kerana kehendak Allah semata,” tuturnya.
“Itu tidak benar. Tidak ada orang Bunian yang mengambil Raden Sandi. Beliau ghaib kerana kehendak Allah semata,” tuturnya.
Raden Sandi Braja, kata Hasan, adalah salah satu putera raja Sambas Sultan Moehammad Tsafioeddin II. Ia termasuk sosok yang genius dan mampu menyelesaikan sekolah sekolah sebelum waktunya. Tanggal 8 Desember 1890, ia melanjutkan sekolah ke tanah Jawa diantar Menteri Pangeran Tjakranegara Pandji Anom. Keberangkatannya bersamaan dengan diasingkannya sang ayahanda ke tempat pembuagnan oleh Penjajah Belanda.
Raden Sandi dan saudaranya Raden Mohammad diserahkan kepada Tuan Bestantjesdijk, direktur Opleideing School di Bandung. Dan, lima tahun kemudian keduanya kembali setelah berhasil menyeelsaikan pelajarannya dengan baik. Seusai itu ia langsung diangkat menjadi putera mahkota, namun belum sempat menduduki tahta, beliau meninggal dunia.
Ada beberapa versi soal kematian Raden Sandi Braja. Konon, sang pangeran muda jatuh cinta pada seorang gadis dalam lingkungan istana. Sayangnya, hubungan itu tidak direstui Datu Sultan. Maklum, sang gadis ternyata masih saudara sendiri. Ini sangat dipantangkan di keraton.
Sebenarnya, sang pangeran muda itu telah dijodohkan dengan gadis yagn berasal dari Negeri Titis Sepancuran, Brunai Darussalam. Kerana memang begitulah pesan leluhur memerintahkan. Tapi ia tetap saja menolak, sampai akhirnya mengambil jalan tengah. Dengan lapang dada ia menerima saran dari ibundanya. Sarannay, jika tetap menolak untuk dijodohkan dengna puteri dari Brunai, maka ia dibolehkan mencari puteri dari negeri lain, asalkan bukan dengan saudara sepupu sendiri.
Maka berangkatlah Raden Sandi ke negeri Johor. Tapi, baru beberapa bulan di sana, ia mendapat khabar bahawa kekasihnya telah dinikahkan dengan seorang lelaki asal negeri Siak. Mendengar khabar tidak sedap itu, Raden Sandi langsung membatalkan perantauannya. Ia pulang ke Sambas untuk membuktikan kebenaran khabar itu. Dan, kenyataannya telah membuatnya sakit hati.
Ia tak menyangka ayahandanya sampai hati memutuskan hubungan mereka. Maka tanpa pikir panjang lagi, Raden Sandi melampiaskan amarahnya. Ia mengamuk dan tak seorang pun mampu menahan kehebatannya. Usai melampiaskan kemarahannya, ia bersumpah tak akan menduduki tahta kerajaan dan akan meninggalkan Sambas selama-lamanya. Agaknya, takdir berkehendak lain.
Belum sempat Raden Sandi meninggalkan istana Sambas, ia terserang penyakit yang tak ada obatnya. Penyakit itu akhirnya merenggut jiwanya. Namun sebuah keajaiban terjadi. Sesaat setelah mengembuskan nafas, tubuh Raden Sandi hilang entah ke mana. Yang tinggal hanyalah batang pisang. Raden Sandi hilang secara misterius. Menurut sebagian kawula istana, jenazah putera mahkota itu lenyap misterius dan diganti batang pisang.
Tapi banyak pula yagn mengatakan bila ia mati diambil oleh orang Bunian di Paloh. Konon, itu sebagai tebusan atas nyawa burung peliharaan Puteri Kibanaran (Orang Bunian) yang tewas saat Raden Sandi berburu di hutan Paloh. Orang pintar dari keraton menyatakan bahawa Raden Sandi Braja telah menjadi raja di Negeri Kibanaran.
Maka berangkatlah Raden Sandi ke negeri Johor. Tapi, baru beberapa bulan di sana, ia mendapat khabar bahawa kekasihnya telah dinikahkan dengan seorang lelaki asal negeri Siak. Mendengar khabar tidak sedap itu, Raden Sandi langsung membatalkan perantauannya. Ia pulang ke Sambas untuk membuktikan kebenaran khabar itu. Dan, kenyataannya telah membuatnya sakit hati.
Ia tak menyangka ayahandanya sampai hati memutuskan hubungan mereka. Maka tanpa pikir panjang lagi, Raden Sandi melampiaskan amarahnya. Ia mengamuk dan tak seorang pun mampu menahan kehebatannya. Usai melampiaskan kemarahannya, ia bersumpah tak akan menduduki tahta kerajaan dan akan meninggalkan Sambas selama-lamanya. Agaknya, takdir berkehendak lain.
Belum sempat Raden Sandi meninggalkan istana Sambas, ia terserang penyakit yang tak ada obatnya. Penyakit itu akhirnya merenggut jiwanya. Namun sebuah keajaiban terjadi. Sesaat setelah mengembuskan nafas, tubuh Raden Sandi hilang entah ke mana. Yang tinggal hanyalah batang pisang. Raden Sandi hilang secara misterius. Menurut sebagian kawula istana, jenazah putera mahkota itu lenyap misterius dan diganti batang pisang.
Tapi banyak pula yagn mengatakan bila ia mati diambil oleh orang Bunian di Paloh. Konon, itu sebagai tebusan atas nyawa burung peliharaan Puteri Kibanaran (Orang Bunian) yang tewas saat Raden Sandi berburu di hutan Paloh. Orang pintar dari keraton menyatakan bahawa Raden Sandi Braja telah menjadi raja di Negeri Kibanaran.
Belakangan, ada beberapa sumber yang menyebut bahawa dulu pernah ada pengusaha dari Singapura yang pergi ke Bandar Paloh dan berjumpa dengan Raden Sandi. Dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan betapa suasana di Bandar Paloh sangat ramai dan sibuk, laksana pelabuhan laut sebuah negara besar. Transaksi dagang dengan Raden Sandi pun berlangsung. Tapi apa yang terjadi.
Saat sang pengusaha yang bernama Taib bin Djasman membuka map transaksi di depan rekannya dari Jakarta, kertas berharga itu hanyalah selembar daun sirih yang sudah layu. Dengan penasaran sang pengusaha itu kembali ke Bandar Paloh. Tapi, yang didapat di sana berbeda. Yang dia lihat sekarang hanyalah sebuah desa dan pasar kecil di pinggir sungai kecil. Sebagian kawasan masih ditumbuhi hutan lebat.
220px Lokasi ibu kota terakhir Kesultanan Sambas, Kalimantan Barat | |
Berdiri | 1675-1944 |
Didahului oleh | Kerajaan Sambas |
Digantikan oleh | Kabupaten Sambas |
Ibu negeri | Sambas |
Bahasa | Sambas |
Agama | Islam Sunah Waljamaah mazhab Syafii (rasmi) |
Pemerintahan -Sultan pertama -Sultan terakhir | |
Sejarah -Didirikan -Zaman kejayaan -Krisis pengganti | - |
Keraton Sambas Dari Sudut Lain..
Masa keemasan Kerajaan Sambas telah berakhir. Namun sisa-sisa kebesarannya masih bisa disaksikan hingga kini. Salah satunya adalah keberadaan Keraton Sambas yang masih berdiri kokoh di sisi muara dari tiga cabang anak sungai di Sambas. Rasa hormat masyarakat pun masih tinggi terhadap keluarga keraton. Uniknya, banyak kisah-kisah kisah seputar keraton yang sulit diterima logika.
Sulit rasanya mencari keterangan lengkap asal mula nama Sambas. Namun, cerita rakyat, menyebut bahawa nama Sambas berasal dari dua orang sahabat yakni Samsudin dan Abas. Samsudin berasal dari Suku Dayak dan Abas suku Melayu. Di antara mereka ada seorang tokoh keturunan Tionghoa. Dalam bahasa Cina, persahabatan mereka disebut 'Sam' yang ertinya tiga. Maka orang-orang Tionghoa di sana menyebut mereka Sambas.
Menurut satu versi, asal mula Sambas berasal dari Paloh, pusat kerajaan urang Kibanaran atau kaum Bunian. Dan orang yang kali pertama kahwin dengan kaum Bunian adalah Samsudin. Sejak perkawinannya dengan kaum Bunian di Paloh, Samsudin tidak pernah memperlihatkan dirinya lagi.
Masa keemasan Kerajaan Sambas telah berakhir. Namun sisa-sisa kebesarannya masih bisa disaksikan hingga kini. Salah satunya adalah keberadaan Keraton Sambas yang masih berdiri kokoh di sisi muara dari tiga cabang anak sungai di Sambas. Rasa hormat masyarakat pun masih tinggi terhadap keluarga keraton. Uniknya, banyak kisah-kisah kisah seputar keraton yang sulit diterima logika.
Sulit rasanya mencari keterangan lengkap asal mula nama Sambas. Namun, cerita rakyat, menyebut bahawa nama Sambas berasal dari dua orang sahabat yakni Samsudin dan Abas. Samsudin berasal dari Suku Dayak dan Abas suku Melayu. Di antara mereka ada seorang tokoh keturunan Tionghoa. Dalam bahasa Cina, persahabatan mereka disebut 'Sam' yang ertinya tiga. Maka orang-orang Tionghoa di sana menyebut mereka Sambas.
Menurut satu versi, asal mula Sambas berasal dari Paloh, pusat kerajaan urang Kibanaran atau kaum Bunian. Dan orang yang kali pertama kahwin dengan kaum Bunian adalah Samsudin. Sejak perkawinannya dengan kaum Bunian di Paloh, Samsudin tidak pernah memperlihatkan dirinya lagi.
Dikhabarkan bila Samsudin telah menjelma menjadi bangsa Kibanaran atau kaum Bunian. Wujudnya menghilang dan tak nampak lagi oleh pandangan mata. Namun meski berbeda alam, Samsudin masih mengikuti kedua sahabatnya. Ke manapun mereka pergi, Sam selalu ikut. Begitu pula sebaliknya. Persahabatan mereka kekal dan dikenal sejarah hingga kini.
Sampai suatu ketika, ketiga sahabat ini meneguhkan perjanjian untuk tidak saling menyakiti sampai akhir hayat. Sejak itu seakan tercetus ikrar antara suku Dayak yang disebut orang darat dan suku Melayu yang disebut orang Laut. Sebagai tanda ikrar, diambillah sebongkah batu bekas reruntuhan Gunung Sibatu.
Terucaplah ikrar keramat mereka, "jika batu itu timbul, maka akan perang orang darat melawan orang laut." Diserta merta dengan ikrar, dibuanglah batu di persimpangan Sungai Tibarrau dan Sungai Subah.
Tiba-tiba air tempat jatuhnya batu itu berputar, seperti hendak memberikan peringatan bahawa janji yang dibuat tak boleh dilanggar. Sampai saat ini, masih bisa disaksikan air di sekitar tempat itu masih berputar. Orang-orang Sambas menyebutnya Muara Ulakkan, kerana air mengulak atau berputar. Akhirnya tercetuslah nama Sambas yang berasal dari Samsudin dan Abas.
Daerah itupun dikenal banyak buayanya. Salah satunya terdapat seekor buaya kuning. Oleh penduduk di sana, raja air itu dinamakan Nek Goro atau Nek Agou. Bila cuaca hujan rintik yang dibarengi sinar matahari (hujan panas), buaya ini akan menampakkan diri. Ia berenang hilir mudik dengan tenangnya, tanpa berkocak permukaan airnya.
Ingat kata pepatah Melayu, mungkin pepatah Bunian juga.. "Air tenang jangan disangka tiada buaya!"
No comments:
Post a Comment