Tuesday, November 16, 2021

Kisah perbatasan Kalimantan, kerjasama apa?

 

Daerah ini merupakan perbatasan RI-Malaysia. TEMPO/Dewi Nurita. Ini sempadannya.. Kehidupan masyarakat di Dusun Gun Tembawang, Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat. 

1. Kisah dari Perbatasan, Saat Warga Lebih Mengandalkan Negeri Jiran

TEMPO.COEntikong - Menetap di wilayah Indonesia tak serta-merta membuat warga Dusun Gun Tembawang di perbatasan Indonesia-Malaysia mengenal rupiah sebagai mata uang. Di dusun terisolir yang terletak di Kecamatan Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat, ini hanya berlaku satu mata uang, yakni ringgit Malaysia. Dusun ini memang berbatasan langsung dengan Malaysia. Kurangnya perhatian pemerintah setempat, membuat warga dusun menggantungkan hidup kepada Malaysia. Mulai dari memenuhi kebutuhan pokok, sekolah, hingga kesehatan.

Kepala Dusun Gun Tembawang, Marselus Gaut, 56 tahun, bercerita bahwa dia dan warga dusun masih mencintai Indonesia, namun pemerintah setempat tidak pernah mengacuhkan kehadiran mereka. “Kami tak punya jalan, sekolah. Kalau saya ceritakan penderitaan kami sepanjang malam, mungkin tidak akan habis,” ujar Marselus saat Tempo berkunjung ke Dusun Gun Tembawang, Rabu, 31 Oktober 2018.

Kalau orang bilang Indonesia sudah merdeka, ujar Marselus, warganya tidak pernah merasakan kemerdekaan itu.  “Maka jangan heran, kalau orang Gun Tembawang ini banyak yang pindah ke Malaysia karena tidak diperhatikan pemerintah,” ujar Marselus.

Lelaki paruh baya itu mengatakan, saat ini jumlah warga dusunnya sekitar 170 orang. Jika tidak ada yang pindah ke Malaysia, warga dusun sebetulnya mencapai 300-400 orang. Dengan kata lain, setengah dari warga dusun sudah pindah ke Malaysia. Termasuk sebagian keluarga Marselus. “Keluarga saya itu 10 kakak-beradik, 5 diantaranya sudah pindah ke Malaysia,” ujar dia. 

Kehidupan masyarakat di Dusun Gun Tembawang, Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat. Daerah ini merupakan perbatasan RI-Malaysia. TEMPO/Dewi Nurita

Sehari-hari, warga dusun bekerja sebagai petani dan juga berladang. Hasil kebun mereka berupa sahang atau lada, terong asam, jahe, cabai dan bawang kucai. Semuanya dijual ke Malaysia. Sebab, akses jalan lebih mudah ke Malaysia, ketimbang harus menjual ke Entikong. Ongkos menuju Entikong, juga tiga sampai empat kali lebih besar daripada ke Malaysia. “Kalau untuk ke Entikong, kami bawa hasil kebun 100 kilogram, untuk ongkos di jalan saja tidak cukup. Kalau ke Malaysia, biar kita bawa 5 kilogram, dihargai 2 ringgit per kilo, masih dapat 10 ringgit,” ujar Marselus.

Warga Dusun Gun Tembawang terbiasa berjalan kaki melewati jalan semak belukar yang mendaki menurun menuju Malaysia, untuk menjual hasil kebun mereka. Baik laki-laki atau perempuan, terbiasa memikul berkilo-kilo hasil kebun menggunakan keranjang bambu, yang kemudian talinya disangkutkan ke kepala. Tidak sampai dua jam, warga dusun sudah bisa sampai di Malaysia dengan berjalan kaki ke Kampung Sepit, Malaysia. Jika ingin ke Kuching, bisa menggunakan sepeda motor dengan waktu tempuh sekitar satu jam.

Warga keluar masuk Malaysia tanpa paspor, hanya mengandalkan kedekatan sebagai sesama suku Dayak Bidayuh. Suku ini banyak tinggal di Kampung Sepit, wilayah Serawak. Maklum, jangankan paspor, kartu tanda penduduk saja, tak sampai setengah warga yang memilikinya. Sebab, surat-menyurat hanya bisa diurus di Entikong. Untuk menuju kesana memakan waktu sekitar 3-4 jam, itu pun jika cuca bagus. Akses jalan juga tidak memadai. Warga harus menjajal medan berat menuju Entikong dengan sepeda motor melewati jalan paralel perbatasan.

Kehidupan masyarakat di Dusun Gun Tembawang, Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat. Daerah ini merupakan perbatasan RI-Malaysia. TEMPO/Dewi Nurita

Dari Desa Gun Tembawang menuju Entikong, Tempo mencoba menjajal jalan tanah merah bercampur kerikil ini dengan motor trail. Tak jarang, motor harus terperosok berkali-kali karena jalan yang jelek. Terlebih sesudah hujan, motor tak bisa lewat dan harus didorong mendaki menurun jalan. Salah sedikit, motor bisa masuk jurang. Belum lagi jika melewati jembatan tipis, yang hanya pas ukuran ban sepeda motor, harus bersabar dan sangat berhati-hati. Bukan hanya satu, tapi kurang lebih 20 jembatan yang harus dilewati.

Tak cukup melewati jalan yang rumit itu saja, setelahnya harus melewati Sungai Sekayam dengan speed boat. Jangan bayangkan speed boat besar, perahu untuk melewati sungai ini hanya cukup diisi enam orang, dengan mesin kecil di bagian belakang. Jika gelombang datang, perahu kerap teroleng-oleng dan air menyembur masuk ke dalam perahu dan membasahi penumpang. Sungai Sekayam yang dilewati juga berisi batu-batu besar, jika tak ahli, maka perahu bisa menabrak batu dan teerbaik.

Patok perbatasan RI-Malaysia di Desa Gun Tembawang. TEMPO/Dewi Nurita

Usai menyusuri sungai selama kurang lebih 45 menit, maka warga baru bisa melihat aspal mulus dan mencapai Entikong dengan mobil carter-an. Ongosnya tak murah, Rp 500 ribu untuk pulang-pergi. Jika membawa barang, dikenakan biaya tambahan sebesar satu ringgit per kilogram. Lengkap sudah. Maka wajar, jika warga dusun lebih menggantungkan hidup ke Malaysia. Sekolah ke Malaysia, sakit pun harus ke Malaysia. Namun, warga juga masih terbatas dengan biaya.

Satu-satunya yang membantu mereka jika sakit, hanyalah satuan tugas TNI yang bertugas di sekitar wilayah perbatasan Entikong. TNI berperan memberikan pengobatan gratis, ikut mengajar anak-anak, dan membentuk badan jalan yang juga mereka gunakan untuk melakukan patroli.

Meski pesimis akan didengar, namun warga dusun tetap berharap agar pemerintah setempat memperhatikan kehidupan mereka. Terutama, untuk akses jalan yang sangat vital untuk kehidupan sehari-hari. Warga Dusun Gun Tembawang mengatakan, selama ini, satu sen pun tidak pernah ada bantuan dari pemerintah setempat untuk mereka. Meski hati masih merah putih, ujar mereka, kemerdekaan tidak sampai ke Gun Tembawang. (4 Nov 2018 )


2. Intip Keramaian Tapal Batas Indonesia-Malaysia di Entikong

Gedung PLBN Entikong didesain dengan ornamen-ornamen khas Suku Dayak. (Achmad Sudarno/Liputan6.com)

Liputan6.com, Entikong - Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong, yang dulu menyedihkan, kini berubah megah dan membanggakan. Gedung PLBN Entikong didesain dengan ornamen-ornamen khas Suku Dayak.

Pos Entikong adalah salah satu perbatasan Indonesia dengan Malaysia yang berada di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat.

Wajah PLBN kini jauh lebik baik dibanding dengan negara tetangga, Malaysia. Di pos perbatasan ini sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas umum dan fasilitas pendukung lainya seperti gerai ATM.

Selain itu, ada bangunan utama PLBN, Pos Lintas Kendaraan Pemeriksaan, tempat pemeriksaan kargo, monumen, gerbang kedatangan dan keberangkatan dan bangunan lainnya.

Sebuah tugu garuda juga menjulang tepat di depan bangunan utama saat pelintas dari Malaysia hendak masuk ke area pengecapan dan pemeriksaan.

Kini pos perbatasan Entikong juga tak hanya menjadi kawasan perbatasan saja tetapi juga telah menjelma menjadi tempat wisata bagi kedua negara. Setiap yang melintas pasti akan mengabadikan momen di perbatasan ini terlebih dahulu.

"Gedung jauh lebih bagus dibanding dengan negara tetangga kita, Malaysia. Fasilitas PLBN Entikong sudah lengkap dan jalan menuju kesini juga bagus," ujar Kepala Pengelola PLBN Entikong, Viktorius Dunan saat melihat langsung fasilitas PLBN Entikong, Selasa (12/11/2019).

Dalam waktu dekat, fasilitas di kawasan PLBN juga akan dilengkapi dengan adanya pasar, rest area, masjid, terminal mini dan mess pegawai yang kini sedang dikerjakan.

"Emang masih ada yang kurang, belum tersedianya ruang tunggu bagi pelintas batas yang tidak menggunakan kendaraan. Kemudian toilet umum dan ingin ada pemagaran keliling," terangnya. 

Ramai Dikunjungi

Gedung PLBN Entikong didesain dengan ornamen-ornamen khas Suku Dayak. (Achmad Sudarno/Liputan6.com)

PLBN Entikong adalah salah satu pos perbatasan paling ramai karena dikunjungi 500-600 pelintas setiap harinya. Itu untuk kodisi normal. Kalau hari besar bisa mencapai kenaikan 100 persen, contoh mudik, natal, dan sebagainya.

"Umumnya yang melintas warga kampung terdekat pergi ke Malaysia untuk belanja sembako, bekerja, ada berobat juga. Berwisata juga ada," terang Dunan.

Warga dari Sanggau banyak membeli kebutuhan pokok, misalnya saja telor, mi instan, minyak goreng, gula, biskuit, hingga sabun cuci, pakaian, barang elektronik, dan peralatan dapur lainnya.

"Kalau warga Malaysia datang ke sini untuk bisnis, berwisata atau berkunjung ke rumah saudaranya," kata dia.

Dia berharap fasilitas PLBN Entikong mampu menggerakan roda perekonomian warga khususnya dari Kalimantan Barat. Sebab selain menjadi tempat istirahat para pelintas batas negara, di wilayah tersebut juga bisa menjadi pusat pagelaran berbagai acara budaya, sosial, ekonomi dan pariwisata lintas batas negara.(13 Nov 2019, 08:30 WIB)


Siri Kalimantan: Kerjasama M'sia/Indo.


Bersambung

No comments:

Post a Comment