"PUNGGUNG bergoyang Wiwin, aduhai, membuat penonton terbelalak... Lagu Wakuncar Camelia Malik yang dinyanyikannya berhasil mendorong beberapa lelaki naik pentas.
Seorang pemuda mempersembahkan sekuntum mawar plastik kepada perempuan 16 tahun itu. Penonton pun bertempik sorak.. "
Cerita seorang lelaki di bawah umur 40 kepadaku semasa kami bersembang-sembang semeja dengan taukeh kedai orang Iban sahabat yang baru ku kenali itu. Sahabatku meninggalkan meja itu sementara kerana ada urusan kedainya sebentar. Meninggalkan aku nyembang dengannya.
Namun lelaki itu terus bercerita menghimbau kenangan lamanya dengan ramah. Mengisahkan pekan Lubuk Antu 7 tahun yang lalu, dengan bangganya. "Aduh! masih terbayang peristiwa malam itu..." katanya.
Sambungnya, "Bersama Yeti, adiknya, Wiwin sungguh menghangatkan Lubok Antu, distrik terpencil di wilayah tengah rimbunan hutan Sri Aman, Serawak, Malaysia Timur. Seratusan penonton menyaksikan panggung fun fair alias 'pasar malam' itu."
Menurutnya, poster yang ditebar seminggu sebelumnya menyebut kakak-beradik ini sebagai penyanyi kondang dari Pontianak, Kalimantan Barat. 'Jangan bilang siapa-siapa kalau kami dari Badau (Kapuas Hulu, Kalimantan Barat),' bisik Fauzan, pemilik grup dangdut itu, di luar majlisnya.
Rupanya, ini pertama kali dalam sejarah, kelompok muzik dangdut mentas di Lubok Antu. Tidak seorang pun anggota muzik ini punya pasport, apalagi izin kerja. Namun, bagi Fauzan dan warga Badau lainnya, Lubok Antu sudah seperti kampung keduanya.
"Sebahagian besar keperluan harian mereka beli di pasar Lubok Antu, dari perabot rumah tangga sampai minyak tanah. Bayar ringgit boleh, rupiah juga bisa. Kehidupan warga Badau memang sangat bergantung pada Lubok Antu. Jarak kedua kampung itu hanya 10 kilometer. Sedangkan Putussibau, ibu kota Kapuas Hulu, jauhnya 175 kilometer. Itu pun harus ditempuh dua hari waktu itu, kerana sebahagian besar jalan tanah dan batu putus habis pada musim hujan.
"Penyeludupan kelas eceran pun jadi marak meriah masa itu. Banyak mobil angkutan penumpang gelap, kerana yang resmi memang tiada. Yang beroperasi melintasi sempadan kedua negara itu selalu pulang dengan mengangkut dua atau tiga karung beras dan gula. 'Kepala kami Indonesia, tapi perut Malaysia,' kata pemilik angkutan yang setiap hari melintasi kedua negara.
"Setiap penumpang dipungut biaya 5 ringgit Malaysia (sekitar Rp 13.250) untuk pergi ke Lubok Antu. Belakangan ini, sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, penjagaan sempadan diperketat. Walau begitu, ada empat jalan tembus yang bisa dilalui truk, plus puluhan jalan tikus seukuran mobil di sepanjang 40 kilometer garis batas Kecamatan Badau. Jalanan inilah yang menjadi jalur penyeludupan." Jelas lelaki di hadapanku lagi.
Perbatasan, jaraknya 780 kilometer di timur laut Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat itu. Dari Kuching, ibu kota Serawak, jaraknya sekitar 250 kilometer. Berdasarkan kesepakatan kedua negara, jalur Badau-Lubok Antu akan menjadi gerbang kedua di wilayah Kalimantan Barat, setelah Entikong.
Rupanya lelaki di depanku itu masih ghairah meneruskan cerita pengalamannya.
"Teringat lagi malam itu, ketika Yeti menyanyikan lagu 'Cucak Rowo', seorang lelaki berlari memanjat panggung dan menyambar mikrofon ikut berdendang. Beberapa kali lidahnya terpeleset melafalkan lirik lagu berbahasa Jawa itu. Aku kenal dia, Soon Chuat, pemilik toko perkakas rumah tangga di situ.
"Setelah itu, Yeti membawakan lima lagu lagi, acara dinyatakan jeda. Waktu luang itu diisi penyanyi Iban. Mereka kembali duduk dan menikmati cemilan. Sebahagian penonton, yang membawa anak-anak, memilih pulang. Sebahagian lagi pindah ke lapak judi. Biasanya, pertunjukan di Lubok Antu hanya berisi lagu-lagu Iban." Jelasnya.
Tidak aneh! Kerana kawasan Pegunungan Kapuas Hulu itu memang tanah adat suku Dayak Iban. Jumlah mereka mendominasi, 80 persen, penduduk di Badau mahupun Lubok Antu. Kekerabatan dan kawin-mawin di antara mereka masih terjalin hingga sekarang.
Pemerintah lokal kedua negara memang tidak terlalu meributkan 'perbauran' ini. Polis Malaysia, yang biasanya paling ambil peduli pada surat identiti setiap orang asing berwajah Melayu, tidak hirau jika orang Iban yang melintas.
"Menjelang tengah malam, Wiwin dan Yeti berduet menyanyikan lagu Selamat Malam Evie Tamala. Beberapa penonton mulai bubar, paham kalau itu lagu terakhir. Kedua biduan itu mendapat bayaran masing-masing Rp 125 ribu. Biasanya, kalau manggung di Badau, mereka bisa dapat tambahan beberapa ribu rupiah dari penonton yang nyawer. Tapi, di Lubok Antu, mereka mendapat beberapa boneka dan puluhan kuntum bunga plastik." Begitu, kisahnya lagi..
Kisah budaya penghuni Lubuk Antu-Badau di perbatasan Malaysia-Indonesia atau Serawak-Kalimantan pada 2005, tujuh tahun lalu.