Pantai Kuta di Bali, (indah tapi dikotorkan..)
Paradise' yang memuat cerita praktik gigolo di Bali diprotes warga Kuta.
CATATAN PERJALANAN siri 21.SAMBUNGAN.. Memperingati Tragedi Bom Bali, Pembantaian Muslimin di Tobelo-Galela dan Pesantren Walisongo oleh Al-marhum Ir. H. Muhammad Umar Alkatiri yang memberi kebenaran memaparkan tulisannya dalam dalam blog http://nahimunkar.com/memperingati-tragedi-bom-bali-pembantaian-muslim/ beberapa bulan sebelum beiau meninggal dunia.
Tragedi Pembantaian di Tobelo
Tobelo merupakan sebuah kota kecamatan di Maluku Utara. Tragedi pembantaian Tobelo merupakan rangkaian kasus Ambon Berdarah yang terjadi sejak 19 Januari 1999. Kasus Tobelo sendiri berlangung mulai 24 Desember 1999 hingga 7 Januari 2000. Menurut catatan Tim Investigasi Pos Keadilan Peduli Ummat, 688 orang tewas dan 1.500 dinyatakan hilang.
Tobelo
Tragedi pembantaian di Tobelo ini, bermula ketika Sinode GMIH (Gereja Masehi Injil di Halmahera) mengkoordinir pengungsian umat Kristen ke Tobelo, yang jumlahnya mencapai 30.000 orang, yang dilakukan secara bertahap, sejak pertengahan November hingga awal Desember 1999. Puncaknya, pada Jumat 24 Desember 1999 malam (menjelang Hari Natal 25 Desember 1999) dengan beberapa buah truk, telah diangkut ratusan warga Kristen dari Desa Leleoto, Desa Paso dan Desa Tobe ke Tobelo. Dengan alasan untuk pengamanan gereja. Warga Kristen yang diangkut tersebut menggunakan atribut lengkap (seolah-olah mau perang), seperti kain ikat kepala berwarna merah, tombak, parang dan panah.
Mengetahui gelagat yang kurang baik dari warga Kristen tersebut, umat Islam Tobelo mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Saat itu umat Islam sedang dalam suasana menjalankan ibadah shaum ramadhan. Akhirnya pada 26 Desember 1999, pecahlah pembantaian yang dikesankan adanya kerusuhan, konflk horizontal. Padahal, sebelumnya tidak ada konflik apa-apa. Tragedi ini konon dipicu oleh adanya persoalan sepele berupa pelemparan batu terhadap rumah milik Chris Maltimu seorang purnawirawan polisi. Rupanya pelemparan terhadap rumah Chris Maltimu itu dijadikan trigger untuk aksi pembantaian yang sudah dirancang sebelumnya.
Menurut Ode Kirani, warga muslim dari desa Togoliwa, kecamatan Tobelo, Halmahera, pada 27 Desember 1999, saat warga desa sedang menjalankan ibadah puasa, tanpa diduga sebelumnya ribuan masa kristen yang berasal dari desa tetangga (antara lain, Telaga Paca, Tobe, Tomaholu, Yaro, dan lain-lain) menyerang desa Togoliwa di saat subuh. Akibat serangan mendadak tersebut ribuan warga muslim di desa tersebut menemui ajal. Kebanyakan dari mereka terbunuh saat berlindung di masjid. (Ambon, Laskarjihad.or.id 16 03 2001).
Rabu, 29 Desember 1999, di Mesjid Al Ikhlas (Kompleks Pam) tempat diungsikanya para ibu dan anak-anak, terjadi pembantaian terhadap sekitar 400 (empat ratus) jiwa. Menurut penuturan saksi mata, ada korban yang sempat jatuh dicincang dan dijejerkan kepala mereka di ruas jalan. Ada juga beberapa wanita yang dibawa ke Desa Tobe (sekitar 9 KM ) dari Desa Togoliwa, kemudian dikembalikan dalam keadaan telanjang. Modus operasi yang dilakukan oleh kelompok merah mula-mula melakukan pemboman kemudian dilanjutkan dengan pembakaran, sehingga tidak ada satu pun yang lolos dari sasaran mereka.
Menurut sebuah sumber, total korban di Tobelo dan Galela mencapai 3000 jiwa, 2800 di antaranya Muslim. Namun demikian, angka yang diakui Max Marcus Tamaela yang kala itu menjabat sebagai Pangdam Pattimura adalah 771 jiwa. Meski angka itu masih jauh dari kenyataan, namun masih jauh lebih banyak dibanding dengan angka yang diakui Gus Dur yaitu ‘hanya’ lima orang saja.
Ketika pembantaian Tobelo terjadi, Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Bila menurut penglihatannya korban Tobelo-Galela hanya lima orang saja, kita harus maklum. Karena, pertama, Gus Dur itu pembela kaum minoritas. Kedua, penglihatannya memang terganggu. Kala itu, Menkopolkam dijabat oleh Wiranto, dan Panglima TNI dijabat oleh Widodo AS. Sayangnya, posisi mereka saat itu tidak bisa memperbaiki kualitas penglihatan Gus Dur terhadap kasus pembantaian umat Islam di sana. Padahal mereka juga beragama Islam.
Hajjah Aisyah Aminy, SH, yang kala itu menjabat sebagai anggota Komnas HAM, menyesalkan sikap aktivis LSM yang selama ini dikenal sebagai pejuang keadilan masyarakat, namun membisu ketika umat Islam yang jadi korban. Aisyah juga menyesalkan sikap media massa yang kurang antusias memberitakan peristiwa di Maluku itu. Tapi kalau yang mati adalah teman mereka sendiri, meski hanya satu orang seperti Munir, mereka heboh bukan main dengan membawa-bawa alasan pelanggaran HAM sampai ke hadapan Bush segala.
Bila kita mendasarkan pada angka yang diakui Tamaela, yaitu 771 jiwa, jumlah itu pun masih jauh lebih banyak dari korban Bom Bali Pertama dan Kedua. Apalagi bila ditambah dengan korban pembantaian yang dilakukan Tibo cs terhadap warga pesantren Walisongo, jumlah koran Bom Bali secara keseluruhan masih jauh lebih kecil. Namun perhatian dunia, kalangan LSM, kalangan pers, dan pemerintah Indonesia sendiri, kurang hirau bahkan cenderung mengabaikan korban Tobelo-Galela dan Poso (termasuk warga Pesantren Walisongo)
Pembantaian Di Pesantren Walisongo
Pembantaian terhadap warga Pesantren Walisongo, merupakan rangkaian dari kekejaman serial yang terjadi di Poso. Kasus Poso sendiri sudah terjadi sejak 25 Desember 1998, di saat-saat umat Islam sedang menjalankan ibadah Shaum Ramadhan 1419 H. Sedangkan pembantaian terhadap warga pesantren Walisongo, berlangsung pada hari Minggu tanggal 28 Mei 2000. Hidayatullah.com dalam salah satu laporannya menuliskan:
Puluhan warga Pesantren Walisongo itu dibariskan menghadap Sungai Poso. Mereka dihimpun dalam beberapa kelompok yang saling terikat. Ada yang tiga orang, lima, enam atau delapan orang. Para pemuda digabungkan dengan pemuda dalam satu kelompok. Tangan mereka semua terikat ke belakang dengan kabel, ijuk, atau tali rafiah yang satu dengan lainnya saling ditautkan.
Sebuah aba-aba memerintahkan agar mereka membungkuk. Secepat kilat pedang yang dipegang para algojo haus darah itu memenggal tengkuk mereka. Bersamaan dengan itu, terdengar teriakan takbir. Ada yang kepalanya langsung terlepas, ada pula yang setengah terlepas. Ada yang anggota badannya terpotong, ada pula badannya terbelah. Darah segarpun muncrat. Seketika itu pula tubuh-tubuh yang tidak berdosa itu berjatuhan ke sungai.
Bersamaan dengan terceburnya orang-orang yang dibantai itu, air sungai Poso yang sebelumnya bening berubah warna menjadi merah darah. Sesaat tubuh orang-orang yang dibantai itu menggelepar meregang nyawa sambil mengikuti aliran sungai. Tidak semuanya meninggal seketika, masih ada yang bertahan hidup dan berusaha menyelamatkan diri. Namun regu tembak siap menghabisi nyawa korban sebelum mendapatkan ranting, dahan, batang pisang, atau apapun untuk menyelamatkan diri.
Itulah salah satu babak dalam tragedi pembantaian ummat Islam di Poso, Sulawesi Tengah beberapa waktu lalu. Warga Pesantren Walisongo merupakan salah satu sasaran yang dibantai. Di komplek pesantren yang terletak di Desa Sintuwulemba, Kecamatan Lage, Poso ini tidak kurang 300-an orang yang tinggal. Mulai dari ustadz, santri, pembina, dan istri pengajar serta anak-anaknya.
Tidak satupun orang yang tersisa di komplek pesantren itu. Sebagian besar dibantai, sebagian lainnya lari ke hutan menyelamatkan diri. Bangunan yang ada dibakar dan diratakan dengan tanah. Pesantren Poso hanya tinggal puing-puing belaka.
Dari tragedi pembantaian ini, aparat menetapkan tiga tersangka utama Fabianus Tibo (saat itu berusia 60), Dominggus da Silva (saat itu berusia 39), dan Marinus Riwu (saat itu berusia 48). Ketiganya menjalani hukuman mati secara serentak pada tanggal 22 September 2006, Jumat dinihari pukul 01.45 WITA. Eksekusi mati dilaksanakan di Desa Poboya, Palu Selatan oleh tiga regu tembak Brimob Polda Sulawesi Tengah.
Sebelum dieksekusi mati, Tibo cs pernah mengungkapkan peranan 16 tokoh penting Poso dan keterlibatan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang berpusat di Tentena –kota kecil di tepian Danau Poso– secara langsung dalam kerusuhan Poso. Sayangnya, hingga kini mereka yang memegang jabatan di Majelis Sinode tidak pernah diperiksa polisi.
Sebuah lembaga penegakan syari’ah pada hari Rabu tanggal 14 Desember 2005, pernah mewawancarai Fabianus Tibo di Lembaga Pemasyarakatan Fetobo, dan mentranskrip pernyataan Tibo perihal keterlibatan orang-orang penting di belakang tragedi pembantaian Poso, sebagai berikut:
Supaya bapak-bapak bisa tahu bahwa inilah yang sebenarnya. Kenapa dari dulu semua pengacara kami tutup, tidak bisa kami mengungkapkan semuanya, kami tidak boleh bicara.
Sampai di kantor pengadilan pun tidak bisa kami berbicara, selalu ditekan terus. Kenapa? Karena mereka takut, karena ada yang kami akan ungkapkan semuanya itu.
Jadi, saya ingin ungkapkan, supaya bapak-bapak tahu, kenapa saya harus berada di Poso.
Karena Yanis Simangunsong, mungkin bapak-bapak sudah tahu itu nama 16 orang, Yanis Simangunsong yang datang ke Beteleme, waktu itu belum Kabupaten, masih Kecamatan Lepo. Jadi, Yanis datang ke rumah saya dia katakan, “Om, Gereja dengan Suster, Pastur, dengan anak sekolah di sana orang Islam akan bunuh semua.”
Lalu saya katakan, “Bahasamu itu kamu bisa bertanggungjawab, kalau tidak benar saya lapor polisi.” Dia katakan, “Ya, kalau om percaya atau tidak ya terserah. Tetapi saya yang katakan itu benar.”
Apa yang terjadi? Karena dia provokasi seluruh orang yang ada –sekarang sudah kabupaten ya– di Kabupaten Morowali, mulai dari Beteleme Kolongale sampai Wuku (?). Dimana di situ ada umat Kristen, di situlah Yanis Simangunsong provokasi, sehingga di sana hampir tejadi di pasar Beteleme waktu itu, karena dengan provokasinya, sehingga apa, Islam yang ada di pasar Beteleme ketakutan yang lain lari.
SELAIN YANIS SIMANGUNSONG, beberapa nama yang termasuk ke dalam 16 tokoh penting yang berperanan penting terhadap terjadinya pembantaian di Poso, sebagaimana disebutkan Tibo adalah: L Tungkanan, Eric Rombot, Mama Wanti, Luther Maganti, Drs. J. Santo, J. Kambotji, Drs. Sawer Pelima, Pendeta Renaldy Damanik, Paulus Tungkanan, Angki Tungkanan, Lempa Deli, Yahya Patiro (mantan Sekab Poso). Mantan Bupati Poso dua periode (1974-1984) Letkol Purn Drs. R.P.M.H Koeswandhi, Sth yang kini berdomisili di Jakarta, diduga ikut bermain api dan memanaskan situasi.
Tibo cs juga pernah menyebut beberapa nama yang disebutnya dengan panggilan “jenderal” seperti jenderal H, jenderal R dan jenderal T. Jenderal H menurut pengakuan Tibo cs berperan sebagai aktor intelektual di balik pertikaian berdarah di Poso. Sebagaimana dikatakan oleh Kaditserse Polda Sulteng (ketika itu) Superintendent Andi Ahmad Abdi, sesuai pemeriksaan terhadap Tibo dkk, ia membenarkan nama “H” disebut-sebut sebagai salah seorang konseptor penyerangan kantong-kantong permukiman muslim di lima kecamatan dalam wilayah Kabupaten Poso, termasuk di Kota Poso sendiri (lihat Antara 9 Agustus 2000, juga Kompas 10 Agustus 2000).
Dukungan Untuk Tibo cs dan Tekanan Vatikan
Sebelum akhirnya dieksekusi, Tibo cs mendapat dukungan luas dari dalam dan luar negeri. Semula, pelaksanaan hukuman mati atas Tibo cs direncanakan berlangsung Sabtu dinihari, tanggal 12 Agustus 2006 pukul 00.15 waktu setempat. Namun karena adanya surat tekanan Vatikan itu, eksekusi mati ditunda hingga 22 September 2006. Sebagaimana diakui Wakil Presiden Muhamad Jusuf Kalla, bahwa pada 12 Agustus 2006 ada surat dari Paus Benediktus XVI dan surat dari sejumlah uskup yang meminta Tibo cs tidak dieksekusi.
Faktanya, menjelang eksekusi mati Tibo cs memang banyak bermunculan berbagai suara yang berusaha menghalang-halangi dilaksanakannya ekesekusi mati bagi Tibo cs yang secara sadis dan biadab telah membantai komunitas Muslim Poso, khususnya warga Pesantren Walisongo Desa Sintuwulemba, Kecamatan Lage. Mereka memposisikan Tibo cs seolah-olah sebagai korban kesesatan hukum, korban kesesatan peradilan, sehingga dengan lantang mereka menyuarakan penolakan eksekusi mati atas Tibo dkk. Mereka sama sekali tidak pernah menyinggung para korban yang telah dibantai secara sadis, terencana, dan biadab.
Aloys Budi Purnomo, Rohaniwan dan Pemimpin Redaksi Majalah INSPIRASI yang berpusat di Semarang, mengungkapkan isi hatinya berupa opini, bahwa “…Kasus yang menjerat Tibo cs memang penuh dengan kontroversi ketidakadilan. Mereka menjadi korban peradilan yang sesat. Mereka menjadi tumbal ketidakadilan dan proses hukum yang inskonstitusional…” (Kompas, Sabtu, 23 September 2006).
Tokoh intelektual umat Katolik Indonesia Frans Magnis Suseno saat mengunjungi Tibo dkk di Lembaga Permasyarakatan Kelas II A Palu (pertengahan April 2006) mengatakan, pemerintah Indonesia tidak boleh gegabah mengeksekusi Tibo dkk karena saat ini banyak pertimbangan yang muncul yang menunjukkan adanya kemungkinan bahwa Tibo dkk tidak bersalah. Frans juga mengatakan, aparat hukum tidak dapat melakukan eksekusi hanya karena semua prosedur hukum telah dijalani oleh Tibo dkk.
Gus Dur salah satu tokoh sepilis (sekulersime, pluralisme agama, dan liberalisme), bersuara sama dengan Theo Sambuaga (tokoh Golkar) dan Pendeta Nico Gara dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon. Mereka antara lain mengatakan, Tibo cs merupakan saksi mahkota, bila dieksekusi, maka mata rantainya putus. Theo Sambuaga menambahkan, jika Tibo sudah dieksekusi, sedangkan novum itu betul bahwa mereka bukan dalang kerusuhan Poso, akibatnya akan sangat fatal dari segi hukum dan penegakan hak asasi manusia (HAM). Oleh karena menurut Akbar Tandjung, sebaiknya eksekusi terhadap Tibo dan dua kawannya ditunda demi kepentingan mengungkap aktor intelektual yang sebenarnya dalam peristiwa kerusuhan Poso. Aktor intelektual yang dimaksud adalah sejumlah 16 nama yang pernah dinyatakan secara sepihak oleh Tibo sebagai aktor utama.
Mereka sama sekali tidak pernah berada di sisi korban yang telah dianiaya sedemikian rupa. Pernahkah mereka menyantuni para janda korban pembantaian Tibo dkk? Sama sekali tidak! Ini menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang mendukung kekejaman, mendukung kebiadaban, mendukung perbuatan barbar, mendukung upaya-upaya yang berorientasi disintegratif.
Cobalah perhatikan, mereka yang dulu menolak hukuman mati terhadap Tibo cs dengan dalih “kematian merupakan hak Tuhan” dan berbagai dalih lainnya, sudah bisa dipastikan tidak akan bersuara apa-apa ketika rencana eksekusi mati terhadap pelaku Bom Bali direalisasikan. Justru, mereka cenderung mendorong pemerintah secepatnya melaksanakan eksekusi tersebut. Bahkan ada yang secara emosional berpendapat, “bila perlu termasuk keluarganya sekalian dihukum mati.” Standar ganda seperti itu memang perilaku khas mereka, orang-orang yang sok demokratis, orang-orang yang sok humanis, dan sok moralis. Hipokrit.
Kasus Corby dan Bali Nine
Australia juga menganut standar ganda, misalnya dalam kasus Schapelle Leigh Corby, gadis warga negara Australia yang ditangkap di Bandara Ngurah Rai Bali pada 8 Oktober 2004 karena di dalam tasnya terdapat 4,2 kg mariyuana.
Schapelle Corby
Ketika memasuki tahapan persidangan, pemerintah Australia meminta agar kepada Corby tidak dijatuhi hukuman mati. Beberapa hari sebelum sidang Corby, tampak lilitan pita warna hijau muda di pohon-pohon pinus sepanjang jalan di depan gedung Pengadilan Negeri Denpasar, sebagai dukungan moral kepada Corby.
The Balinine
Di tahun 2005 (tepatnya tanggal 17 April), sembilan orang penyelundup heroin seberat 8,3 kilogram ditangkap di Denpasar, Bali. Tiga di antaranya warga Australia. Mereka menjadikan Bali sebagai tempat transit sebelum bertolak ke Australia. Kasus ini dikenal dengan sebutan The Balinine.
Stephen Smith
Senin 11 Agustus 2008 lalu, Stephen Smith (Menteri Luar Negeri Australia) menjumpai Menteri Luar Negeri Hasan Wirayudha di Jakarta. Salah satu tujuannya adalah melobi pemerintah Indonesia untuk memberikan pengampunan terhadap tiga terpidana mati warga negara Australia yang tersangkut kasus The Bali Nine.
Pemerintah Australia tidak setuju hukuman mati diberlakukan terhadap diri warganya, meski jelas terbukti menyelundupkan heroin. Namun sikap itu belum tentu tertuju kepada selain warga negaranya. Pada satu sisi mereka berargumentasi menolak hukuman mati (atas warganya), namun mereka pada sisi lain justru mendorong dilaksanakannya hukuman mati untuk Amrozi cs (pelaku Bom Bali).
Sebelum bertolak ke Jakarta, Stephen Smith sehari sebelumnya (10 Agt 2008) diwawancarai Sydney Morning Herald. Ketika itu ia mengatakan, “… ketika warga Australia di luar negeri dihukum karena melakukan kejahatan kemudian dipidana mati, maka kami akan melakukan upaya representasi atas nama warga negera Australia. Namun, ketika hukuman tersebut dijatuhkan kepada non warga Australia, maka kami akan melakukan penilaian secara kasuistik.”
Kebohongan Corby
Pada tahun 2004-2005, pada saat kasus Corby mulai ditangani aparat keamanan dan hukum Indonesia, media cetak dan elektronika Australia melalui pemberitaannya berupaya sedemikian rupa membentuk opini bahwa Corby tidak bersalah. Cara-cara mereka sama persis dengan para pendukung Tibo cs ketika mereka memberikan pembelaan agar Tibo cs tidak dihukum mati.
Akibat pemberitaan media cetak dan elektronik Australia yang membela Corby, maka KBRI Canberra dan kantor-kantor perwakilan RI lainnya menjadi sasaran kekesalan warga Australia. Beberapa bentuk kekesalan dari simpatisan Corby ketika itu diekspresikan berupa mengirimkan paket berisi “serbuk putih” yang sempat menghebohkan aparat keamanan dan diplomat RI di KBRI Canberra. Selain itu, terjadi berbagai bentuk vandalisme terhadap properti milik KJRI Sydney. Bahkan, Konsulat RI di Perth, Australia Barat, menerima surat bertuliskan tangan yang berisi ancaman: “Jika Schapelle Corby tidak segera dibebaskan, anda semua akan menerima setiap peluru ini menembus otak.”
Saat itu opini publik Australia memang masih amat sangat berpihak kepada Corby. Namun beberapa tahun kemudian, 22 Juni 2008, stasiun TV Channel Nine di Australia mulai membuka tabir kebohongan Corby. Ratapan memelas Corby saat memasuki tahapan proses persidangan, yang selama ini menjadi sumber dukungan masyarakat Australia, ternyata merupakan rekayasa semata.
Ron Bakir
Channel Nine selama tiga setengah tahun membuat film dokumenter berjudul Schapelle Corby: The Hidden Truth, dengan durasi 120 menit. Ternyata, menurut film dokumenter itu, ucapan memelas Corby yang berhasil menarik simpati publik Australia selama bertahun-tahun itu, merupakan sesuatu yang direkayasa sedemikian rupa oleh Corby ketika ia dikunjungi Ron Bakir, pendukung setianya saat itu. Bahkan melalui kamera tersembunyi, tim peliput Channel Nine berhasil merekam sebuah adegan ketika Corby sedang berlatih mengucapkan kata-kata memelas itu: “Help me… Help me Australia!”
Juli 2008, misteri kepemilikan 4,2 kg mariyuana yang ditemukan petugas Indonesia di dalam sarung tas papan selancar Schapelle Corby pada tahun 2004 lalu itu, mulai terkuak jelas. Ternyata, pemiliknya adalah Michael Corby, ayah Schapelle Leigh Corby sendiri.
Allan Treambath
Sepupu ayah Corby, Alan Trembath, mengungkapkan bahwa Michael Corby pernah menawarkan dirinya bisa mendapat imbalan sebesar 80 ribu dolar Australia jika bersedia menyelundupkan mariyuana ke Bali dengan kapal pesiar. Trembath juga mengungkapkan, keterlibatan Michael Corby dalam urusan perdagangan dan penyelundupan mariyuana sudah berlangsung sejak tahun 1980-an. Oleh karenanya, Trembath punya keyakinan kuat tentang keterlibatan Schapelle Corby dalam kasus penyelundupan mariyuana ke Bali di tahun 2004, karena sepanjang hidupnya Schapelle Corby sudah akrab dengan bisnis mariyuana yag dijalankan ayahnya.
Jika keluarga Corby sudah memulai bisnis haram itu sejak tahun 1980-an dan baru tertangkap di tahun 2004, berarti sudah sekitar dua dasawarsa mereka berkecimpung di bisnis haram ini. Bisa dibayangkan, berapa banyak generasi muda kita yang telah menjadi korban keluarga Corby melalui bisnis mariyuananya. Jumlahnya boleh jadi jauh lebih banyak dari korban Bom Bali.
Kemungkinan besar keluarga Corby hanyalah salah satu saja dari pelaku bisnis haram asal Australia. Tentu masuk akal bila ada yang menduga masih banyak “Corby-corby” lain yang hingga kini belum tertangkap. Pertanyaannya: “Berapa banyak korban mariyuana yang dihasilkan oleh mereka sepanjang dua atau tiga dasawarsa ini?” Tentu jumlahnya jauh lebih banyak dari korban Bom Bali.
Bila ada satu saja warga Australia terancam hukuman mati, pemerintah dan masyarakatnya langsung tampil memberikan dukungan dan pembelaan. Tapi bila ada ratusan pemuda kita yang mati secara fisik dan “mati” secara psikis akibat narkoba yang diselundupkan warga Australia, pemerintah dan masyarakat kita diam saja. Malahan makhluk sejenis “Corby” ini cenderung dimanjakan karena diposisikan sebagai turis yang menghasilkan devisa. Selain korban narkoba, masih ada korban lain yaitu korban kebuasan nafsu pengidap paedhophilia. Berapa banyak tunas bangsa kita menjadi korban pengidap paedophilia di Bali, di Yogyakarta, dan kota-kota wisata lainnya? Pastinya, jauh lebih banyak dari korban Bom Bali. (haji/tede/mua/nahimunkar.com)
Sumber: nahimunkar.com edisi October 19, 2008 10:27 pm.
Soalnya bagaimana hukum bom Bali dalam pandangan Islam? Ringkasnya, mari kita lihat Marhttp://halaqah.net/v10/index.php?topic=7531.0i
... anggota FPI menggerebek lokasi yang dinilai sebagai tempat maksiat ... Perlukah mereka di Bali?
[box title=Soalan]
- Salam..ustaz..sy nk bertanye sket..apa pendapat ustaz tentang pengeboman di tempat2 awam ataupun di pusat2 huburan untuk memperjuangkan Islam..seperti yang telah berlaku di bali,indonesia..boleh ke klu ikut syarak..
- soalan kedua saya..boleh ke kita menghalang orang kafir buat maksiat.apa hukumnya..
sekian..sy menanti jawapan dr ustaz.mudah2an persoalan sy selama ini akan terjawab.insyarallah[/box]
[box title=Jawapan:]
1. Ada dua keadaan dimana bolih menyerang tempat2 awam musuh2 Islam.
Pertama :
Apabila musuh2 Islam ada melakukan serangan ditempat2 awam dalam negeri orang2 Islam seperti apa yg berlaku di Palestin, Iraq dan seumpamanya dimana tentera2 kuffar mengebom pasar2 & rumah2 kediaman orang2 Islam.
Kedua :
Apabila orang2 kafir yang masuk ke negeri orang2 Islam membina, melakukan perkara mungkar yang merosakkan akhlak orang2 Islam dalam keadaan tidak menghurmati orang2 Islam.
2.Untuk pengetahuan, orang kafir tidak bolih melakukan perkara maksiat didalam negeri orang Islam melainkan dalam rumah mereka sendiri. Jika mereka engkar dengan mengadakan perkara maksiat ditempat2 awam atau ditempat2 persendirian tetapi dibenarkan orang2 Islam turut serta maka wajiblah orang2 Islam menghentikannnya.[/box]
http://forum.digitalmukmin.org/viewtopic.php?f=24&t=1353
"Al-haqqu bila nizom yaghlibuhul-baatil binnizom"
Maksudnya: "Sesuatu kebenaran yang tidak sistematik akan dikalahkan oleh kebatilan yang sistematik dan terancang."
Http://cahayarabbani.blogspot.comHttp://islamicmoviecollection.blogspot.comassiddiq@ymail.com Demikian sekadar penjelasan dalam catatan perjalanan ini.. Bersambung.. Insya Allah.
Ibnu Hasyim
alamat: ibnuhasyim@gmail.com
Jan 2012
Bali, Ind.
Lihat sebelum ini..
E-Buku IH-47: Medan-Aceh, S'baya, Bali & T/Leste