Huu, betapa canggihnya pemanjat kelapa ini... CATATAN PERJALANAN: Kalimantan siri 7
PERJALANAN dengan bas dari Pontianak ke Putussibau biasa sahaja, seperti jalan-jalan kampung di Malaysia. Kadang-kadang bertemu juga jalan tar yang putus, disambung dengan jalan tanah merah. Bertolak dari kira-kira jam 3 petang, dan besok paginya jam 8 baru sampai, setelah berhenti solat di jalanan.
Jalan melintasi juga kampung-kampung Dayak dan Iban dengan rumah panjangnya. Melintasi kebiruan gunung, kehijauan rimba, sungai dan paya, yang bagiku menambah indahnya apa yang disebut ke'semulajadi'an alam ciptaaan yang Maha Pincipta. Maha Suci Allah. Maha Suci Allah. Maha Suci Allah!
Lintasan keaslian pemandangan di pinggir jalan jalan, menambah serinya perjalanan..
Aku sempat berkenalan dengan dua orang anak muda di bas itu. Rupanya kemas, bersih mempunyai sejemput janggut. Mudah tersenyum dan bercakap teratur, gaya orang terpelajar. Aku perkenalkan diri.
Mereka menyambut balas, dan kata salah seorang darinya. "Kami datang dari Jakarta, ditugaskan untuk membantu seorang pastor kami di daerah pendalaman di Badau, berhampiran sempadan Malaysia (Sarawak)." Bererti mereka ini adalah mubaligh-mubaligh Kristian.
"Oh, bagus tu. Tentu tuan banyak maklumat tentang daerah sana yang boleh kita kongsi bersama.." jawabku. "Terutama tentang masyarakat Dayak Iban di sana!"
"Ya. sikit-sikit saya tahulah!" Jelasnya.
"Masyarakat Dayak Iban, contohnya di Dusun Sungai Utik Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.. Mereka amat bergantung hidup pada hutan. Memanfaatkan pohon untuk rumah, obat dan makanan. Anak-anak mereka sering bermain manfaatkan halaman depan rumah panjang mereka.
"Peraturan hutan (No. 41/1999), kawasan hutan milik masyarakat adat, dimasukan dalam Hutan Negara, sementara hak masyarakat adat diabaikan. Rumah panjang mereka yang sekitar 180 meter itu, terlihat ramai kerana dihuni oleh puluhan kepala keluarga, dari bayi hingga usia tua.
"Wilayah hukum adat Iban Menua Sungai Utik memiliki luas sekitar 9.5 ribu hektar dan lebih dari separuhnya, iaitu 6 ribu hektar merupakan hutan lindung adat. Sisanya adalah pemukiman, hutan produksi dan hutan cadangan." Jelas kawan kita mubaligh Kristian bermazhab Katolik itu lagi.
"Apa agama asal orang Dayak?" Aku tanya lagi.
"Masyarakat Dayak menganut agama leluhur yang diberi nama oleh
Tjilik Riwut sebagai agama
Kaharingan. Sekarang, agama ini kian lama kian ditinggalkan!" Jawabnya. "Oleh itu kita kena selamatkan mereka. Bagi kami, kami ajukan agama penyelamat, agama Kristian untuk mereka.."
Untuk lanjutnya, bila ada masa, aku cari dalam Wikipedia. Antara yang ku temui sebagai tambahan maklumat, ialah...
Satu: Sejak abad ke-1 Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan penetemuan peninggalan agama Hindu di
Amuntai, Kalimantan Selatan, dan selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha.
Dua: Semenjak abad ke-4 masyarakat Kalimantan memasuki era
sejarah yang ditandai dengan penemuan prasasti peninggalan dari
Kerajaan Kutai beragama Hindu di Kalimantan Timur. Penemuan arca-arca Buddha merupakan peninggalan Kerajaan Sribangun (di
Kota Bangun, Kutai Kartanegara) dan
Kerajaan Wijayapura. Ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi dengan budaya
India. Ini menandakan kemunculan masyarakat multietnis pertama kali di Kalimantan.
Tiga: Menyebarnya agama Islam sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat kerajaan-kerajaan Hindu bertukar menjadi pemeluk-pemeluk Islam menandakan kemusnahan agama Hindu dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul
hukum adat Melayu/Banjar yang dipengaruhi oleh sebagian
hukum agama Islam (seperti budaya makanan, budaya berpakaian, budaya bersuci).
Empat: Namun umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap memegang teguh pada hukum adat/kepercayaan Kaharingan. Sebahagian besar mereka yang sebelumnya beragama Kaharingan kini dikatakan memilih
Kristian. Namun kurang dari 10% yang masih mempertahankan agama Kaharingan.
Lima: Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu Bali) sehingga mendapat sebutan agama Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebahagian kecil masyarakat Dayak kini mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi Tionghoa).
Memang mulanya muncul kerana berlakunya perkawinan antara sukunya dengan etnis
Tionghoa beragama
Buddha. Kemudian semakin meluas disebarkan oleh para
Biksu di kalangan masyarakat Dayak, misalnya terdapat pada masyarakat Dayak yang tinggal di kecamatan
Halong di Kalimantan Selatan.
Enam: Di Kalimantan Barat, agama Kristian didakwa sebagai agama orang Dayak. Tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi lain, sebab orang Dayak juga banyak memeluk agama selain Kristen. Contohnya, ada orang Dayak beragama Kaharingan masuk Islam, namun tetap menyebut dirinya sebagai suku Dayak.
Di wilayah perkampungan Dayak masih beragama Kaharingan berlaku hukum adat Dayak, namun tidak semua. Kebanyakan kota-kota di pesisir Kalimantan dan pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat Melayu/Banjar, seperti suku-suku Melayu-Senganan, Kedayan, Banjar, Bakumpai, Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah Dayak sangat lama berada dalam pengaruh Kristian pun, ada yang tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan.
Tujuh: Di masa kolonial, orang bumiputera Kristian dan orang Dayak Kristian di kota disamakan kedudukan dengan orang Eropah dan tunduk kepada hukum golongan Eropah. Kebelakangan ini, penyebaran agama Nasrani (Kristian) mampu menjangkau daerah Dayak jauh di pedalaman, sehingga dianut dan didakwa sebagai agama orang Dayak.
Lapan: Melihat sejarah awal pulau Borneo orang-orang dari Sriwijaya dan orang Melayu yang mula hijrah ke Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui Muslim Hanafi menetap di Sambas sejak tahun 1407, kerana pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Kiu kieng (Palembang) mahupun ke Majapahit. Banyak penjabat Dinasti Ming adalah orang Hui Muslim yang memiliki pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab.
Dilaporkan, pedagang-pedagang Tionghoa masa Dinasti Ming berkunjung ke Banjarmasin awal abad ke-16 sangat khawatir mengenai aksi 'potong kepala', yang dilakukan orang Biaju saat mereka sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan penjelajah Eropah yang tidak menetap, telah datang di Kalimantan pada abad ke-14 dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropah.
Sembilan: Usaha penyebaran agama Nasrani selalu gagal, kerana pada masa itu masyarakat Dayak amat memegang teguh kepercayaan leluhur (Kaharingan) dan merasa curiga kepada orang asing. Sering juga orang-orang asing dijumpai terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat sensitif terhadap orang asing kerana takut terhadap serangan lanun dan kerajaan asing luar pulau yang hendak menjajah mereka.
Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC Belanda, serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan Makassar sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun 1787, Belanda memperoleh sebahagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan Banten.
Sepuluh: Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristian mulai beraksi secara bebas di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan negara Kesultanan Banjar. Pada tanggal 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin dan mulai menyebarkan agama Kristen. Dikatakan juga pemerintah lokal Hindia Belanda cuba merintangi usahausaha misionaris tersebut.
Kira-kira 8 pagi bas kami sampai di Putussibau. Sempat aku jalan-jalan dan rihat-rihat dipekan kecil itu, sementara menunggu untuk naik bas lain pula menuju ke Badau kira-kira jam 10.30 sebentar lagi.
Bersambung, insya Allah.
Ibnu Hasyim
alamat: ibnuhasyim@gmail.com
26 Feb 2012
Pontianak, Ind.
Lihat sebelum ini..
E-Buku IH-51: Perjalanan Ke Kalimantan